Baik Faqih, Bu Murni dan Shanum menatap ke arah Carla dengan tatapan kaget. Carla membalas tatapan mereka dengan tatapan datar.
“Mbak Murni, Faqih, buka pintunya! dasar anak kurang adab ! dapat nemu di mana menantu modelan kayak gitu ! sama orang tua enggak ada sopan-santunnya. Sudah kere kebanyakan gaya !” fokus mereka kembali teralihkan pada teriakan Bulik Lastri yang masih berada di balik pintu yang saat ini sudah tertutup rapat akibat ulah Carla.
Tangan Bu Murni terulur, hendak membuka pintu, tapi dengan cepat Carla menahannya.
“Jangan di buka, bu. Biarkan saja !” Carla yang sudah kepalang emosi, menatap tajam pada Bu Murni yang akhirnya mengurungkan keinginannya membukakan pintu untuk adik iparnya.
“Nona !” Faqih yang mendengar bentakan Carla berbalik menatap Carla dengan tatapan tajam. Sehingga melupakan panggilan yang seharusnya saat mereka bersama orang lain.
“Maaf, bukan maksud aku bentak Ibu,” ucap Carla cepat, begitu menyadari jika dia sudah kurang ajar pada Ibu Mertuanya.
Dokk … dokkk !
“Buka pintunya.” Di luar, Bulik Lastri masih kekeuh bertahan menggedor pintu. Dia tidak pernah diremehkan seperti ini. Jadi, apa yang dilakukan Carla hari ini sangat membuatnya marah. Rasanya tidaka akan puas, sebelum bibirnya mencaci-maki menantu Kakak Iparnya itu.
Kembali ke dalam rumah, dengan Carla yang juga kekeuh tidak akan membiarkan siapapun membukakan pintu untuk manusia seperti Bulik Lastri.
“Apa aku salah ? kenapa kalian hanya diam saja menghadapi orang seperti itu ? takut apa ?” tanya Carla pada keluarga barunya tersebut dengan tatapan tajam. Apalagi pada Faqih yang sebagai anak laki-laki harusnya bertindak tegas. Tapi, Carla tidak paham sepenuhnya, kalau Faqih tidak bisa bertindak semaunya, yang akan berimbas pada Ibu dan juga adiknya. Apa yang dilakukan Carla saat ini juga akan memancing kemarahan keluarga besar bapaknya. Karena Bulik Lastri itu pandai bersilat lidah. Ditambah dia adalah anak bungsu, sehingga nenek sangat menyayanginya. Apapun yang dilakukan oleh Bulik Lastri selalu mendapatkan pembenaran di mata Nenek.
“Baiklah, kalau aku salah. Silahkan buka pintunya dan terus saja seperti ini,” ucap Carla lalu segera beranjak pergi meninggalkan Suami, Ibu Mertua serta adik iparnya yang hanya diam mematung, tapi wajah Shanum terlihat senang pada apa yang dilakukan oleh Carla. Rasanya sangat puasa sekali melihat kemarahan Bulik Lastri diperlakukan seperti itu. Selama ini, Faqih hanya marah sekedar saja, karena Ibunya selalu melarang jika sampai Faqih bertindak kasar pada Bulik maupun Neneknya. Karena itu juga lah yang membuat Faqih merasa malas jika harus berlama di Desa. Tapi, untuk saat ini, dia akan tinggal lama karena Istrinya ada di sini.
Setelah Carla beranjak, gantian Faqih yang menatap ke arah Ibunya. Tapi tidak menatap tajam.
“Jangan di buka pintunya. Biarkan saja bu. Kali ini, tolong Ibu dengarkan Faqih,” ucap Faqih lalu beranjak pergi meninggalkan Ibu dan adiknya. Yang pada akhirnya, Shanum juga beranjak pergi meninggalkan Ibunya. Sedangkan di luar, Bulik Lastri yang masih terus menggedor pintu dengan kemarahan yang ingin dilampiaskan pada menantu kakak iparnya. Atau perlu, pada semua penghuni rumah ini.
Bu murni merasa bimbang, tapi pada akhirnya memilih menulikan telinganya dan beranjak menuju ke dapur untuk mengunci pintu dapur. Berjaga-jaga, jika tiba-tiba Bulik Lastri masuk lewat situ. Kali ini, Bu Murni akan mendengarkan keinginan Faqih, yang selama ini dituntutnya untuk selalu mengalah pada keluarga Almarhum Suaminya itu.
Karena tidak kunjung di bukakan pintunya, akhirnya Bulik Lastri beranjak menjauh dari rumah kakak Iparnya itu, dengan mulut penuh omelan. Dia mendekat ke arah sepeda motornya yang terparkir tidak jauh dari situ. Terlihat Ibu-Ibu yang melihat ke arah Bulik Lastri dengan tatapan bertanya. Siap mendengarkan gosip renyah yang makin sedap ditambah bumbu.
“Ada masalah apa sama kakak iparmu ? kok dari tadi kamu ini marah-marah kayak mau bakar rumah saja ?” tanya seseibu yang bertubuh tambun pada Bulik Lastri dengan wajah kepo yang sangat menyebalkan.
“Oh Bu Wiwin, biasalah, kakak iparku yang kere itu selalu saja membuat kesal,” jawab Bulik Lastri pada Ibu tambun yang bernama Wiwin dengan raut wajah kesal. Tapi, sepertinya Ibu-Ibu ini akan membuat Mood baiknya kembali setelah bergosip, demikian batin Bulik Lastri.
“Kalian tahu enggak, kalau menantunya kakak iparku itu perempuan enggak bener. Dia itu terbiasa kerja di tempat enggak bener, makanya sikapnya sangat kurang ajar sekali. Mosok, dia bentak aku, dan banting pintu. Padahal, aku datang ke rumah itu kan, karena disuruh Ibu buat panggil Mbak Murni. Eh mantunya, enggak terima. Apa enggak kurang ajar seperti itu !” Bulik Lastri mulai bercerita, dengan ditambahi bumbu penyedap agar para Ibu-Ibu terpengaruh, dan ikut membenci Carla.
“Idih … aku juga heran lo, tiba-tiba saja Faqih pulang bawa perempuan kayak begitu. Ya… walau wajahnya Bule dan emang cantik. Tapi, kelihatan kayak perempuan enggak bener ya. Atau, jangan-jangan Faqih nemu itu perempuan di tempat hiburan ?” Ibu-Ibu dengan alis cetar ikut nimbrung dengan tatapan tidak suka ke arah rumah Bu Murni. Sudah lama dia tidak suka pada Bu Murni, yang lebih sering diundang untuk masak pada jahatan daripada dirinya. Karena hal itulah, memantik rasa tidak sukanya.
“Hehe … iya begitulah Bu Narti. Faqih itu ndableg kayak Almarhum bapaknya. Cari Istri ndak bener, jadinya tetap saja kere. Yang sialnya lagi, Faqih malah dapat perempuan ndak bener dan juga enggak punya adab. Kasihan sekali Mas ku di alam sana. Ngelihat kelakuan menantunya itu.” Bulik Lastri terus saja membalas tiap ucapan dari para Ibu. Tidak peduli, jika saat ini mereka masih berada di halan rumah Bu Murni. Menggosipkan si tuan rumah tanpa rasa malu dan juga rasa sungkan. Demikianlah jika urat malu sudah hilang, semua terasa benar.
“Oalah, kok ya kasihan sekali ya Bu Murni itu. Bukannya senang dapat menantu baru, malah jadinya apes, karena mantunya yang kayak begitu. Amit-amit deh punya mantu kayak begitu.” Mereka terus saja asyik bergosip. Tentu saja, gosip yang sangat renyah.
Carla yang mendengar hal itu dari dalam rumah, segera beranjak mengambil ember dan mengisinya dengan air. Tanpa sepengetahuan Ibu Mertuanya, dia membawa ember tersebut keluar dan berjalan ke arah para Ibu-Ibu yang terlihat waspada. Apalagi ada pisau juga di tangan kiri Carla, selain ember di tangan kanannya.
Carla mau ngapain pada kumpulan penggosip ?