Alina memasuki SMA Angkasa. Sekolah yang berada di Jalan Kemenangan nomor satu ini memiliki bentuk gedung yang modern seperti bangunan ruko berlantai sepuluh atau seperti gedung universitas di ibukota.
Sekolah merupakan tempat yang digunakan untuk mendidik para siswa dan mempunyai jenjang yang beragam dan sudah diatur dengan baik. Misalnya untuk sistem pendidikan di Indonesia sendiri ada pendidikan wajib 9 tahun dimana setiap anak harus mendapatkan pendidikan maksimal sederajat dengan SMP. Selain itu ada juga pendidikan selanjutnya yaitu Sekolah Menengah Atas dan selanjutnya bisa melanjutkan ke perguruan tinggi menurut keahlian dan minat masing-masing.
Pendidikan sendiri mempunyai banyak hal yang bisa diperhatikan, dimana selain sistem ada juga gedung sekolah atau tempat mendapatkan pendidikan yang bisa dipunyai. Selain dengan mempunyai fasilitas yang terbaik, gedung sekolah modern yang mempunyai desain bagus juga akan membuat siswa dapat menjadi betah ketika berada di sekolah.
Dalam kesehariannya, sekolah ini berupaya menciptakan suatu lingkungan dimana pendidik menikmati peran mereka dalam membagikan pengalaman dan ilmunya dalam dalam membimbing para siswa.
Para siswa pun didorong dan diberi kesempatan untuk mengembangkan bakat dan kemampuannya sebaik mungkin. Ada berbagai life skills program yang ditawarkan. Seperti desain, bahasa, sinematografi, perhotelan, band, paduan suara, angklung, kelas seni, dan lainnya.
Selain itu, sekolah ini mempersiapkan siswa memiliki kemampuan dasar dalam bidang akademis, memiliki mental dan sikap yang baik, sehingga siap melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi atau saat terjun dalam kehidupan masyarakat.
Tadinya Alina ingin menghentikan langkahnya dan berbalik arah dan memutuskan untuk pulang saja. Ia merasa tak siap jika harus masuk ke sekolah dan mendengarkan segala rumor palsu tentangnya. Mereka membicarakan mengenai kematian keluarganya. Mereka juga beranggapan kalau gadis itu merupakan gadis pembawa sial.
Parahnya lagi, pembunuh keluarganya itu belum ditemukan oleh pihak kepolisian sampai detik itu juga. Alina merasa ia pasti akan dijauhi oleh para murid di sekolah tersebut.
Namun, langkah kakinya terhenti. Seorang gadis berpenampilan gaul dan modern itu memeluk Alina dari belakang.
"Aku kangen banget tau sama kamu," ucap gadis itu.
Seorang gadis memakai kaca mata dengan rambut pendek seleher berwarna cokelat menyambut kedatangan gadis yang sudah tidak pergi ke sekolah selama satu bulan itu.
"Alina... Aku kangen banget sama kamu!"
Gadis yang lebih pendek dari Alina itu langsung memeluknya dengan erat. Ia pandangi gadis tersebut dan mencoba mengingat siapa gerangan manusia aktif di hadapannya itu.
"Lin, kamu masih inget sama aku, kan? Aku Rossa, sahabat kamu, " ucap gadis itu dengan tegas seraya menunjuk dirinya sendiri.
"Hmmm... Iya aku ingat siapa kamu," ucap Alina setelah yakin dengan ingatannya akan gadis itu.
"Gimana kabar kamu, udah sehat kan, Lin?" tanya Rossa.
"Sudah, alhamdulillah." Gadis itu menganggukkan kepala mengiyakan.
"Kita semua kangen banget sama kamu, maaf ya aku enggak nengok waktu kamu di rumah sakit, karena Tante Maya melarang aku sama yang lainnya ke sana," ucap Rossa seraya menarik lengan Alina masuk ke dalam kelas XII IPA 1 itu.
"Iya, enggak apa-apa, aku ngerti, kok."
Seorang pria berlari dengan terburu-buru memasuki kelas Alina.
"Alina, syukurlah kamu udah masuk sekolah," ucap pria muda berkulit sawo matang dengan postur tinggi tegap.
Ia memeluk Alina secara tiba-tiba sampai membuat gadis itu tersentak. Gadis itu langsung mendorong d**a si pria agar melepas pelukannya. Pemuda itu jatuh dengan mendaratkan bokongnya ke lantai.
"Kamu masih ingat aku, kan?" tanyanya seraya mengaduh kesakitan. Pemuda itu bangkit berdiri dan mengusap bekas debu yang menempel di celana bagian belakangnya.
"Iya, aku inget, tapi jangan seperti ini, aku kan udah bilang enggak suka perlakuan kamu yang kayak gini," keluh Alina bersungut-sungut.
"Maafin aku, soalnya aku kangen banget sama kamu," ucap Aldo.
"Heh, anak IPS! Kamu ngapain masuk kelas IPA?" Rossa mendorong bahu sebelah kiri pemuda itu.
"Apaan, sih? Suka-suka aku dong, aku kan kangen sama Alina," sahut Aldo.
Tak berapa lama kemudian, terdengar suara bel berbunyi. Pada hari Senin pagi itu, semua murid SMA Angkasa harus mengikuti upacara secara tertib dengan atribut sekolah yang lengkap.
"Bel udah bunyi tuh, ayo ke lapangan kita mau upacara, kan!" ajak Rossa.
"Aku taruh tas dulu," sahut Alina lalu pergi bersama Rossa dan Aldo menuju ke lapangan sekolah.
Semua murid sudah berbaris rapi di lapangan untum mengikuti upacara. Semua mata tertuju pada Bapak Sumarno selaku kepala sekolah yang sedang berpidato mengenai acara kegiatan sekolah dan ucapan selamat kepada para siswa dari SMA Angkasa yang baru saja mendapatkan juara tiga lomba science tingkat nasional tersebut.
Selesai mengikuti upacara, semua murid kembali masuk ke kelas untuk mengikuti pelajaran. Alina mengingat kembali saat ia baru masuk ke sekolah itu. Ia sangat bersyukur berada di sekolah tersebut, karena tak ada perbedaan kasta yang ditunjukkan antara murid lama dan murid baru di sana. Apalagi kepala sekolah melarang keras tindakan semena-mena yang biasa senior lakukan pada adik kelas di beberapa sekolah.
Alina melirik ke arah Rossa kala sedang berdiri dengan tertib sesuai barisan saat sedang mendengarkan pidato dari kepala sekolah. Gadis itu mengingat pertemuan pertama kali dengan Rossa di sekolah tersebut.
*
Dua tahun yang lalu.
Rossa, gadis hitam manis berambut ikal berkaca mata agak tebal serta bibir tipis menghampiri Alina saat pertama kali berada dalam sekolah yang sama.
"Aku boleh jadi teman kamu, nggak?" tanya Rossa mengulurkan tangannya saat menyapa gadis yang suka menyendiri itu.
"Boleh." Alina membalas jabatan tangannya sambil menyunggingkan senyum yang hangat.
"Aku duduk sama kamu, ya?" pinta Rossa.
Alina mengangguk dalam menjawab. Dan setelah itu takdir selalu membawa mereka berada di kelas yang sama dan duduk berdampingan di meja yang sama. Hanya Rossa yang menjadi sahabat Alina karena gadis itu sangat tertutup.
Ada satu pemuda yang selalu menggoda Alina yang bernama Aldo. Pemuda tinggi sang kapten dari tim basket yang berkulit kuning langsat dengan rambut plontos itu sudah menyukai Alina semenjak duduk di kelas yang sama saat kelas XI.
Namun, Alina selalu menolak Aldo dengan dalih ayahnya selalu melarangnya untuk memiliki pacar saat masih sekolah. Lagipula, Aldo termasuk pemuda yang banyak disukai para murid perempuan sehingga membuat Alina merasa risih jika ada murid perempuan yang menganggapnya saingan.
*
"Lin, kok bengong aja, sih! Ayo, kita ke kantin!" ajak Rossa saat bel istirahat terdengar.
Alina menganggukkan kepalanya lalu bangkit mengikuti Rossa menuju kantin sekolah.
"Hai, aku boleh ikutan, ya?" pinta Aldo yang langsung duduk di meja kantin yang sama dengan Alina dan Rossa tanpa persetujuan lagi.
"Ih, si Aldo ya, seneng banget godain Alina."
Rossa duduk seraya membawa dua piring siomay untuk dirinya dan Alina.
"Biarin aja sih, kan aku kangen sama dia. Eh, mana minumnya nih?"
"Oh iya, aku lupa. Tolong beliin teh botol dong!" pinta Rossa.
Alina mengeluarkan selembar uang sepuluh ribu pada Aldo.
"Apaan nih?" tanya Aldo.
"Buat beli teh botol," sahut Alina.
"Udah sih tenang aja, aku yang traktir." Aldo lalu melangkahkan kakinya menuju kotak lemari pendingin berisi minuman teh, soda, dan air mineral dalam botol.
"Lin, besok malam kan ada jurit malam, kamu ikut enggak?" tanya Rossa.
"Dalam rangka apa ada jurit malam?"
"Serah jabatan pengurus OSIS yang lama ke pengurus baru, kita kan pengurus OSIS lama," ucap Rossa.
"Hmmm... nanti aku tanya dulu sama Tante aku."
Tak lama kemudian, Aldo datang membawa minuman teh dingin dalam kemasan botol.
*
"Kamu yakin mau ikut jurit malam, kamu kan baru sehat, Lin?" Tante Maya terlihat cemas saat melihat Alina yang sedang berkemas dibantu oleh Mbok Nah.
"Alina kan bendahara OSIS, Tante, jadi semua urusan pengeluaran yang di tangan aku, apalagi ini serah jabatan pula, enggak bisa diwakilkan. Aku enggak enak kalau nggak datang," jawab Alina.
"Udah semua kan dibawa? Roti, s**u kotak, obat alergi, baju ganti, selimut semua dibawa, kan?" tanya Tabte Maya dengan wajah masih terlihat cemas karena tak tega membiarkan keponakannya menginap di sekolah.
"Sudah, Tante..."
Tiba-tiba, ponsel Tante Maya berdering. Alina langsung menoleh dengan tatapan tajam.
"Matikan, Tante, aku mohon matikan!" seru Alina.
Tante Maya dan Mbok Nah saling bertatapan tak mengerti. Namun, sang tante teringat dengan Dokter Indra yang mengatakan kalau gadis itu mengalami trauma jika mendengar dering ponsel.
"Sebentar ya, Tante angkat telepon dulu."
"Matikan, Tante!" Alina langsung meraih ponsel itu lalu melemparnya ke luar ruangan kamarnya.
"Alina! Kamu apa-apaan, sih?"
Alina langsung masuk ke dalam kamar mandi yang ada di kamarnya.
"Nyonya, Non Alina kenapa ya?" tanya Mbok Nah.
"Dia itu takut kalau denger suara hape, saya sih tadinya nggak percaya. Tapi, kayaknya bener deh apa yang dibilang Dokter Indra."
"Lha, terus gimana ini kalau Non Alina ngedenger suara hape di sekolah nanti?"
"Saya coba kasih tau temennya deh si Rossa supaya jauhin Alina dari suara hape."
Setibanya mobil Aldo yang datang menjemput Alina bersama Rossa, Maya langsung menghampiri kedua sahabat Alina itu. Ia lantas menceritakan kondisi terkini soal ketakutan keponakannya pada dering ponsel.
"Masa sih, Tante, hehehe lucu banget ya," ucap Aldo.
Rossa menepuk bahu Aldo dengan lirikan tajam.
"Saya serius, Do, tolong jagain Alina ya," pinta Tante Maya.
"Iya, Tante. Tenang aja bakal saya jagain seumur hidup," sahut Aldo.
Setelah Alina tenang dan keluar dari kamar mandi, akhirnya ia berangkat ke sekolah sore itu bersama Aldo dan Rossa.
*
Semua anggota OSIS lama dan baru mengikuti jurit malam secara tertib, semuanya datang tanpa ada satupun yang berhalangan hadir. Setelah solat magrib berjamaah bagi yang menjalankan, acara api unggun pun dimulai. Didampingi dua orang pembina OSIS dan pembina PMR mereka melakukan acara serah terima jabatan.
Arloji bertali kanvas cokelat di tangan Alina menunjukkan pukul sembilan malam.
"Lin, anterin aku yuk bersihin muka," ajak Rossa.
"Ayuk, sekalian aku mau pipis," jawab Alina.
Keduanya melangkah menuju ke toilet di lantai satu. Mereka memasuki toilet bersama tiga anak perempuan lainnya. Saat Alina menyelesaikan hajatnya, terdengar sayup-sayup suara anak perempuan yang menangis.
"Kok, seperti ada yang menangis, tapi asalnya dari mana, ya?" gumamnya sambil menekan tombol flush pada kloset duduk di hadapannya.
Tiba-tiba terlihat kepala manusia dengan rambut hitam berantakan keluar dari dalam kloset. Sedikit demi sedikit memperlihatkan wajahnya. Wajahnya yang rata, tanpa mata, hidung, mulut dan segalanya makin menambah keseraman saat melihat kepala hantu itu keluar dari lubang kloset.
"Aaaaaaa....!" Alina berteriak sekuat tenaga lalu tak sadarkan diri kemudian.
Rossa yang mendengar teriakan Alina, berusaha membuka pintu toiletnya berkali-kali, akan tetapi sulit untuk terbuka.
"Alina, Alina!" teriak Rossa.
"Kamu kenapa, Sa?" tanya salah satu temannya tadi.
"Tolong panggilin siapapun buat dobrak pintu ini, tadi Alina teriak terus sekarang diam aja mana pintunya kekunci," ucap Rossa.
Anak perempuan itu lalu bergegas menemui rekan-rekannya untuk membantu mendobrak pintu toilet.
Suara tangisan itu terdengar lagi membuat bulu kuduk makin merinding ditambah tangisannya yang terasa menyedihkan dan menyayat hati.
"Alina, buka pintunya, Lin! Apa itu kamu?" tanya Rossa yang mendengar suara tangisan itu.
Tak ada jawaban yang terdengar dari dalam toilet. Rossa terus mengetuk pintu toilet tersebut seraya memanggil nama Alina.
*
To be continue...