Bisma sedang membersihkan lukanya dengan air hangat saat Arga memasuki kamar. Hentakan di pintu membuat Bisma terlonjak kaget. Arga mendorong pintu dengan kuat.
"Apaan sih, Bang!" Bisma menatap Arga kesal.
"Katakan apa yang sedang terjadi? Kenapa Ayah marah hingga penyakit jantungnya kumat?"
Bisma memalingkan wajah, dia mencoba menghindari pertanyaan itu.
"Jawab!" bentak Arga.
Bisma terperangah di tempatnya, baru pertama kali Arga berteriak di depan Bisma selama kebersamaan mereka.
"Sekolah pasti telah mengirimkan kabar yang tidak-tidak pada Ayah, Bang."
Arga tidak mengerti dengan ucapan sang adik.
"Apa maksudmu? Kabar seperti apa?" tanya Arga penasaran.
Bisma meringis, dia coba menghindari pertanyaan dengan berpura-pura kesakitan.
"Ach, aku harus mencari Bibi untuk mengobati lukaku, kita bicara nanti." Bisma melangkah melalui Arga.
"Jangan coba-coba meninggalkan ruangan ini sebelum pembicaraan kita selesai," ucap Arga dengan tatapan fokus ke arah Bisma.
Pemuda itu menelan salivanya dengan susah payah, Bisma gugup. Takut melihat sikap Arga yang dingin.
"Apa kau mencoba menutupi sesuatu?"
Bisma berbalik dan menatap Arga dari jauh.
"Guru di sekolahku heboh karena aku mengisi soal ujian dengan cepat, padahal itu hanya kebetulan saja."
Arga mengerutkan kening, dia bingung di mana masalahnya.
"Lalu?"
"Bang, hal ini bukanlah masalah besar, entah apa yang guru itu katakan pada Ayah hingga beliau murkah."
Tanpa sepatah katapun, Arga berlalu dari sana. Bisma melihat kepergian Abangnya tanpa bisa menahan. Arga terus kepikiran, kenapa Ayahnya marah jika Bisma ternyata bisa menyelesaikan semuanya dengan cepat.
Pemuda itu kembali ke rumah sakit untuk menemui sang Mama.
"Bahkan kau tidak pedulu dengan lukaku, Bang. Ach!" Lelaki itu kesal dan menendang pintu kamarnya.
Brug.
Bibi yang bekerja disana terlonjak kaget. Sang Tuan Muda sedang tidak baik-baik saja.
**
Bisma semakin stress dan memilih keluar rumah untuk mencari ketenangan. Takut akan berhadapan lagi dengan Arga, Bisma memilih hang out , bayangan Ayahnya yang ambruk di depan mata terus terlintas. Tidak di pungkiri, Bisma merasa sangat bersalah.
Dengan mengendarai mobil kesayangannya, Bisma melaju membela keheningan malam. Kebetulan yang sangat luar biasa, setelah mengendara cukup lama, Bisma tidak sengaja melihat Rizuka.
Zui baru saja kembali dari mini market, gadis itu berjalan pulang dengan menenteng barang belanjaan dan memakan ice cream rasa vanilla kesukaannya. Jarak dari rumah Zui dan pusat perbelanjaan itu tidaklah jauh.
Bisma yang melihatnya tidak ingin membuang kesempatan.
"Nah itu dia! Biang masalah dalam hidup gua." Bisma menepikan mobilnya dan segera turun mengejar Zui. Gadis itu tidak menyadari kehadiran Bisma yang muncul dari arah belakang.
Langkah Bisma kian cepat dan ....
"Woi!" Bisma memegang bahu Zui hingga gadis itu menegang karena terkejut. Dengan perlahan dan kaku, Rizuka berbalik dan saling berhadapan dengan pemuda itu. Wajah gadis itu memucat, dengan bola mata melotot melihat orang yang berusaha di hindari seharian ini berdiri tepat dihadapannya.
Kantong belanjaan Rizuka terjatuh begitu saja, hingga snack dan sebagian cemilan yang telah di beli keluar berhamburan. Bisma menatapnya lekat membuat Zui replek dan mundur beberapa langkah.
"Kebetulan kita ketemu di sini. Gua mau ngomong sama lo," ucap Bisma.
Rizuka menggeleng dan berusaha kabur, kali ini Bisma sudah bersiap dan menahan tangan gadis itu. Jalan tampak sepi dan hanya ada mereka di sana.
"Lepas! Jangan ganggu gue." Rizuka meronta, gadis itu memukul tangan Bisma berulang kali. Cemas, takut pemuda itu akan berlaku kejam.
"Nggak akan, kali ini lo nggak akan bisa kemana-mana."
Rizuka gugup dan gemetar, gadis itu melihat ke kanan dan ke kiri, berharap seseorang datang untuk menolongnya.
"Lepas atau gue teriak!" Rizuka mengancam Bisma, Hal itu sedikit berhasil membuat pemuda itu gentar.
"Lepas! Gua teriak, nih!"
"Lo nggak lihat, tempat ini sepi, ha. Siapa yang mau nolongin, lo! Kuntilanak?"
Rizuka merenggut, ice cream yang ada di tangannya di sapukan ke baju kaos yang di pakai Bisma.
Pemuda itu terbelalak melihat apa yang baru saja dilakukan Zui.
"Gila lo, ya! Dasar cewek bar-bar!"
"Lo, juga sama kan! Nggak ada bedanya, jadi jangan sok ngatain orang."
Bisma lelah menahan diri, dia menarik tangan Zui erat.
"Lo lihat muka gua!" hentaknya.
Zui kini berada begitu dekat dengan Bisma, pandangan mereka saling terpaut. Wajah lelaki itu terlihat lebam.
"Lo udah buat gua dalam masalah, lihat apa yang telah lo lakuin ke gua."
Rizuka bingung di mana letak kesalahannya. Dia merasa tidak melakukan apa-apa.
"Emang gue lakuin apa? Perasaan gue nggak pernah melakukan hal yang lo tuduhkan."
Rizuka mendorong Bisma agar menjauh darinya, jantung Zui berdetak tak karuan.
"Gara-gara soal ujian itu, Bokap gua marah dan ngehajar gua. Sekarang Bokap gua masuk ke Rumah Sakit karena jantungnya kumat. Semua gara-gara, elu!"
Rizuka tercengang, sesaat dia memikirkan letak kesalahannya.
"Kok lu nyalahin gue? Emang salah gue dimana?" tanyanya menantang.
Napas Bisma memburu, kesal setiap kali menghadapi Zui.
"Soal ujian itu lo ngerjain sendirian, kan? Bukan gue yang bantuin. Dan gue cuman ngawasin, itupun nggak salah, Bis. Mau tidak mau guru juga lihat pada akhirnya, lo tu aneh, apa-apa nyalahin gue."
Rizuka menghentak tangannya hingga terlepas dari genggaman Bisma. Pemuda itu memikirkan ucapan Zui.
"Gara-gara lo gue telat pulang. Orangtua gue pasti nyariin," omelnya.
Rizuka berjongkok, memungut kembali belanjaannya dan menatap Bisma kesal. Setelah selesai dengan kantong belanjaan, Rizuka kembali menatap Bisma.
"Soal lo pinter atau nggak, bukan urusan gue. Gue pun mikir 100× saat diminta untuk duduk ngawasin lo."
Rizuka berlalu meninggalkan Bisma yang terperangah. Berdiri di pinggiran jalan dengan baju penuh noda. Lama melamun akhirnya dia sadar, jika Zui sudah jauh.
"Sial, kenapa dia selalu bisa menjawab setiap gua marah."
Bisma menendang ke sembarang arah, kerikil yang berada dijalanan tak luput menjadi tempat melampiaskan kekesalan. Melihat penampilannya kini, tidak mungkin baginya untuk melanjutkan perjalanan.
"Apa kata anak-anak saat mereka lihat baju, gua. Ngeselin banget tu cewek."
Bisma terpaksa mengendara pulang.
Rizuka berjalan cepat, menjauh dari tempat itu. Pertemuannya dengan Bisma membuat Rizuka trauma keluar sendiri saat malam hari.
"Aneh, tu orang. Gila aja, masa apa-apa nyalahin gue. Tapi, kenapa Bokapnya bisa kena serangan jantung. Bukannya kalau Bisma pintar itu jauh lebih baik, sungguh membingungkan." Rizuka memikirkan hal itu sepanjang jalan.
Watak Bisma membuatnya geleng kepala, tapi pola pikir Ayah Bisma makin membuatnya bingung.
Gadis itu tiba di rumah, setelah membuka pintu Rizuka melihat wajah cemas sang ibu.
"Zui, kamu dari mana aja?" Rihana mendekati putrinya.
"Maaf Bunda, tadi itu Zui bertemu teman sekolah. Jadi kita ngobrol bareng," ucapnya tanpa berbohong.
"Benarkah? Baiklah lain kali tolong kabari Bunda. Bunda dan Ayah hampir menyusul kamu loh tadi."
"Iya, Bunda. Maaf karena membuat Bunda cemas," ucap Rizuka menyesal.
Mahendra tiba-tiba keluar setelah berganti pakaian.
"Loh, Ayah mau kemana?" tanya Zui.
"Pak Walikota sedang di Rumah Sakit, Ayah dan teman-teman yang lain akan menjenguknya."
Rizuka teringat dengan Bisma.
"Zui boleh ikut, Yah," sahutnya.
Mahendra dan sang istri saling pandang.
"Zui, baru juga nyampe, masa mau pergi lagi."
"Nggak apa-apa, Bunda. Zui mau nemenin Ayah. Boleh, ya." Kali ini gadis itu memelas.
Orangtuanya menatap penuh curiga, pasalnya baru kali ini Zui meminta untuk ikut serta dengan urusan sang ayah.
"Zui, sebaiknya jangan." Rihana tidak setuju.
"Ya, Bunda. Zui janji nggak akan rese."
Mahendra menghela napas panjang.
"Baiklah, ayo kita pergi. Bunda juga," ucap Mahendra adil.
Senyum di wajah Zui terbit, membuat Rihana hanya bisa menggelengkan kepala.
"Yes, terimakasih ayah."