Chapter 18 Bisma di keroyok

1261 Kata
Pak kris termenung di tempatnya setelah memberi soal untuk dikerjakan. Bisma telah kembali ke kursi setelah menjawab soal dengan setengah hati. Pak Kris merasa heran karena saat di depan kelas kemampuan Bisma sama saja. Tidak ada peningkatan. Ting ting ting. Lonceng berbunyi waktunya murid beristirahat. “Baiklah, Anak-anak. Sebelum keluar kumpulkan tugas kalian di atas meja.” “Baik, Pak.” Satu per satu murid meninggalkan kelas, begitupun dengan Bisma dan Rizuka. Cuaca sedang panas-panasnya, walau begitu lapangan basket tetap ramai oleh anak laki-laki yang sedang bermain. “Kantin, yuk. Haus nih,” ajak Duwi pada kedua sahabatnya. Zui sedang gelisah karena belum berterima kasih pada Bisma. Ayah dan Bundanya selalu mengajarkan, agar Zui jadi gadis yang mengerti tata krama. Selalu ucapkan terima kasih pada setiap orang yang telah membantu. Walau orang itu membantu dalam hal sekecil apapun. “Tapi, Wi.” “Udah deh, ayo. Udah laper nih, mau nyobain bakso kuah setan buatan Bu Ruhi,” ucap Nana bersemangat. Bisma tidak kunjung keluar membuat Rizuka setuju untuk ikut dengan Gengnya. “Baiklah, yuk.” Sepanjang jalan menuju kantin mereka saling diam karena memikirkan hal yang sama. Duwi dan Nana juga merasa tidak enak pada Bisma dan ingin mengucapkan terima kasih. “Bisma berubah, ya.” Nana mengawali pembicaraan saat tiba di kantin. Mereka memilih duduk di meja paling ujung karena menjauh dari keramaian. “Bu, pesan yang biasa untuk tiga orang, minumnya es jeruk aja,” ucap Duwi pada Bu kantin. “Iya, bentar ibu siapkan.” Duwi dan Zui fokus dengan pembicaraan yang di utarakan Nana. “Berubah gimana?” tanya Duwi. Gadis itu sangat cekatan membuka kripik pisang buatan ibu kantin yang sudah dikemas di dalam plastik kecil dan di jual seribuan. “Lo pada nggak perhatiin? Bisma jarang keluar kelas belakangan ini. Mungkin karena itu Gengnya datang tadi pagi," ucap Nana pelan. Duwi dan Rizuka saling pandang. Mereka lalu kembali menikmati kripik yang tersaji. “Kok lo tahu, Na?” tanya Duwi santai. “Ya tahu aja, emang nggak boleh?” ucapnya sewot. Makanan merekapun datang, tiga mangkok bakso seperti biasa dan jus jeruk yang mengugah selera. Rizuka menggapai mangkoknya dan meracik makanannya dengan saos dan kecap, tidak lupa jeruk nipis sebagai penyempurna. “Gue mikir sih, apa selama ini kita jahat sama Bisma. Lihat dia ngebelain kita tadi, gua jadi merasa hutang budi tahu nggak." Zui berhenti sejenak setelah mendengar ucapan Nana, Duwi yang ada di sampingnya mengangguk setuju. “Iya, sebaiknya kita minta maaf dan berterima kasih.” Wajah cantik Zui berubah, gadis itu merenggut. Dia tidak suka mendengar usul Duwi. “Kalau berterimakasih, gue pun setuju. Ya itu pantas. Kalau minta maaf, gua nggak setuju lah.” Duwi dan Nana melihat perubahan emosi Zui. “Dia aja nggak minta maaf sama gue, walau dulu itu jelas kesalahannya dia.” “Iya, sih. Ya udah makan dulu, soal Bisma kita pikirkan nanti,” Mereka hampir lupa, Rizuka masih belum memaafkan Bisma atas apa yang telah di lakukan lelaki itu. Nana menyenggol kaki Duwi di bawah meja, mereka saling memberi kode untuk tidak membahas soal Bisma di depan Zui. “Gua setuju sama Zui. Lagi pula, soal tadi mungkin hanya kebetulan saja, biasanya Bisma emang ngeselin kan.” Rizuka tidak menimpali ucapan Nana. Mereka jadi canggung satu sama lain karena pembicaraan tadi. Zui tidak berselera memakan baksonya. Gadis itu hanya memainkan sendok dan garpunya. Perhatian Zui berubah saat kantin berubah riuh. “Ada yang berantem di lapangan!” ucap seorang anak laki-laki yang berlari ngos-ngosan. "Berisik, lo. Berantem aja pada heboh!" timpal siswa yang kesal karena acara makannya terjeda karena lelaki itu. "Kalian denger dulu, ini tuh bukan berantem biasa." Seisi kantin saling berbisik, satu per satu meninggalkan kantin karena penasaran, sedang Zui dan Gengnya memilih tetap tinggal. “Apaan sih, gitu doang juga,” ucap Nana menyeruput minumannya. Zui masih santai dan menatap ke sekeliling. “Bisma berantem di lapangan, woi!” seru seseorang dari luar. Rizuka dan Gengnya terbelalak. Tanpa pikir panjang mereka langsung meninggalkan meja dan bergegas keluar. “Bu, nanti kami bayar, ya,” teriak Duwi pada Bu Kantin. "Aduh, jangan-jangan gara-gara kita lagi," ucap Nana cemas. Zui mengabaikan perasaan bersalah yang tiba-tiba hadir. Lapangan kini ramai dan Bisma serta ke empat Gengnya berada di tengah dengan baju yang kotor setelah berguling-guling. “Permisi, beri jalan dong,” ucap Nana. Gadis itu penasaran melihat apa yang terjadi. Bisma menghajar Riki tanpa ampun. Bug, bug. Wajah Riki babak belur, begitupun dengan Bisma yang telah di keroyok terlebih dahulu. Napas Bisma tersenggal, lelah menghadapi empat orang sekaligus. “Sadar, Bis. Lo bukan siapa-siapa tanpa kita,” ucap Riki geram. Perkelahian berlangsung sengit. Ryan, Tomi dan Andra sudah terkapar menghadapi kemarahan Bisma. “Gua nggak peduli, lo mau ambil pun Band itu silahkan kalau lo mampu!” Rizuka kaget melihat darah menetes di seragam yang di pakai Bisma. “Lo, berlebihan tahu nggak. Gua cuman mengumumkan jika lo nggak bisa manggung, kenapa lo jadi mau keluar dari Band dan seolah ngusir kita!” "Gua nggak suka berteman dengan orang yang hanya mementingkan keuntungan bagi dirinya sendiri. Lo mau gua vakum, kan. Ya udah, gua kabulkan." "Bis, nggak perlu seperti ini. Kita bisa ngeband bareng lagi. Okey, gua akui gua salah. Kita akan nunggu sampai lo siap dan bokap lo pulih." Biisma menatapnya lekat, terlambat untuk mengalah. Ucapan Riki tidak bermakna lagi. Bisma melempar Riki setelah mencengkram kerah baju pemuda itu. Perkelahian tadi membuat mereka babak belur. Riki dendam karena tidak terima. Dia dan Gengnya otomatis di keluarkan dari GrandZi. "Bis, lo jangan egois." Bisma baru sadar jika dirinya menjadi tontonan saat membalikan badan untuk pergi. Semua orang menatapnya termasuk Zui yang terlihat shock. Bisma malu dan segera berlalu dari sana. “Apa karena lo anak Pak Walikota," seru Riki. Langkah Bisma terhenti, Rizuka yang telah mengetahui hal itu tidak terlalu kaget seperti teman-temannya. “Bisma benar, anaknya Pak Walikota?” “Eh, kok kita baru tahu?” “Ada yang ngeh nggak sih?” Bisik-bisik terdengar membuat Bisma risih. Riki tersenyum puas melihat apa yang baru saja dia lakukan. “Jangan terlalu sombong, Bis. Jangan karena kuasa Bokap lo, lo jadi semena-mena ke kita.” Bisma mengepalkan tangan, tubuh pemuda itu berbalik bersiap menghajar Riki. Lawan Bisma itu terpejam, dia bergidik. Saat dia membuka mata kepalan tangan Bisma menggantung di udara. Zui dengan cepat menahannya. Bisma menoleh menatapnya. “Jangan terpancing, dia menjadikan itu sebagai kelemahan lo.” Bisma tertegun sejenak. “Dan, lo. Setelah lo dan Geng lo melawan cewek-cewek. Lo mau berantem kayak anak kecil bawa-bawa nama orangtua, ha!” Andra dan yang lain menatap Zui yang di kenal pendiam. Rizuka melihat name tag Riki di bajunya. Ingatan membawa Zui pada teman Ayahnya di Rumah Sakit. “Jadi lo Riki, pantes lo tahu Bisma anak Pak Walikota, Bokap lo kerja di sana juga kan?” Riki gemetar dan malu, pemuda itu menatap siswa dan siswi yang fokus kepadanya. “Gua yakin kalian pun sama,” tunjuk Zui pada Andra, Tomi dan Ryan. “Kalian nggak akan bertingkah dan lawan dia jika orangtua kalian hanya orang biasa.” Tidak ada kata, bahkan Bisma pun tidak tahu mau bicara apa. "Harusnya kalian tidak saling mempermalukan, apa yang kalian dapat setelah melakukan ini? Mau mereka rekam kelakuan kalian dan membeberkannya di sosmed!" ucapan Zui membuat Geng Bisma tertunduk. Mereka sadar telah salah membawa nama orangtua atau pekerjaan mereka. “Ikut gue, sebelum Pak Guru datang!” Rizuka menarik tangan Bisma keluar dari kerumunan. Nana dan Duwi melongo melihat Bisma pasrah di seret oleh Rizuka. "Duh, sahabat lo, Na. Cari masalah aja!" ucap Duwi meremas kepalanya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN