Vila Cendana. Pukul 09.00 Pagi
Samarinda, Kalimantan Timur
Setelah 3 hari di kota Aceh, kepulanganku dari kota serambi Mekah itu di lanjutkan ke kota Samarinda. Ada hal penting yang harus aku urus disini.
Sebuah rencana besar perbincangan mengenai bisnis penyiaran perusahaan Pak Lana dan D'Media Corp.
Mobilku tiba di sebuah kediaman besar yang tak asing bagiku. Rumah besar dan mewah milik Pak Amran. Seorang pria paruh baya yang menjadi ayah kandung mendiang Devika.
Aku keluar dari mobilku saat supir pribadiku membuka pintunya. Aku segera memasuki rumah Pak Amran yang disambut hangat oleh asisten rumah tangganya.
"Asalamualaikum Pak Fikri. Selamat datang."
"Wa'alaikumussalam. Dimana Pak Amran?"
"Ada diruang kerjanya Pak. Beliau sudah menunggu Bapak."
"Oke. Terima kasih."
Aku meninggalkan dia dan segera menuju ruang kerja milik Pak Amran di lantai 2. Samar-samar aku mendengar suara ocehan putri kecil yang merupakan cucu pertama Pak Amran bernama Raisya diruang keluarga.
Kedua mataku juga menatap keponakanku yang tenyata ada disini juga bersama Raisya. Keponakanku yang bernama Raihan. Mereka berdua berusia 5 tahun dan sedang bermain Game di ponsel masing-masing.
Aku mengabaikannya dan segera menaiki anak tangga satu per satu menuju ruang kerja Pak Amran yang lagi-lagi di sambut oleh beliau dengan pelukan hangat.
"Asalamualaikum Pak Amran."
"Wa'alaikumussalam. Alhamdulillah putraku tiba dengan selamat. Bagaimana perjalananmu dari kota Aceh nak? Lancar-lancar aja?"
Aku tersenyum tipis. Seorang pria paruh baya yang sudah aku anggap seperti Ayahku sendiri. Pak Amran pun duduk di kursi besarnya dan aku duduk di hadapan beliau.
Pintu terketuk pelan. Salah satu asistenku masuk dengan sopan dan membawa berkas proposal milik Pak Lana dan menyerahkannya padaku. Aku berterima kasih padanya lalu dia pun pergi.
"Jadi bagaimana dengan kerja sama itu?"
Aku menyodorkan berkas proposal itu kearahnya. "Ini.. Bapak baca saja. Disana tertulis bahwa keuntungan saham yang kita peroleh 50%. Jika Bapak setuju, saya akan menghubungi Pak Lana untuk memberinya kabar dan keputusan."
Pak Amran terlihat serius. Satu per satu halaman ia baca dengan seksama. Guratan di dahinya menukik tajam. Pak Amran beralih menatapku.
"Hubungi Pak Lana. Katakan padanya D'MEDIA corp menyutujuinya. Ini bukan hanya sekedar penghasilannya yang lumayan besar. Tapi sisi baiknya siaran-siaran yang mereka inginkan sangat bermanfaat untuk kita semua."
Aku mengangguk. "Ah tentu saja Pak. Saya akan menghubungi beliau."
Lalu kami kembali berbincang hal-hal ringan. Tanpa Pak Amran sadari, kedua mataku menatap sebuah bingkai foto kecil yang terpasang di dinding ruang kerjanya.
Sebuah foto Devika yang sedang tersenyum manis. Tiba-tiba aku dilanda rasa kerinduan yang begitu dalam. Cinta pertamaku yang kini pergi menghadap Sang Pencipta.
"Aku merindukanmu Dev. Selamanya aku akan merindukanmu."
***
Samarinda, Pukul 10.00 pagi.
Setelah dari rumah Pak Amran, aku pulang ke rumahku sendiri. Kedatanganku disambut hangat oleh Bunda.
"Asalamualaikum."
"Wa'alaikumussalam. Masya Allah Fikri."
Bunda menatapku penuh haru dan rindu yang membuncah. Aku hanya tersenyum tipis dan tak lupa mencium punggung tangan beliau.
"Bunda itu kangen banget sama kamu! Akhirnya kamu pulang juga."
Aku terkekeh geli dan memeluk bunda dengan erat. Aku juga merindukan wanita terhebatku ini.
"Oh jadi pria tampan ini tidak di peluk juga?"
Aku menoleh kearah Ayah. Ayah Azka yang kini terlihat bersedekap dan menatap sinis kearahku. Aku hanya tertawa dan beralih memeluknya juga.
"Dasar bocah ini. Lama gak pulang malah lupa sama Ayah. Kalau kamu lupa ketampanan mu itu bisa hilang. Contoh Ayahmu ini. Sudah tua renta tapi tetap saja tampan."
"Om Fikri! Om Fikri!"
Suara anak laki-laki terdengar nyaring. Dia baru saja tiba dari luar. Ah aku lupa. Bukankah keponakan itu dari rumah Pak Amran juga?
"Om! Om! Om! Coba lihat rambut baruku!"
Aku mengerutkan dahiku. Raihan menyugar rambutnya kebelakang. Rambutnya terlihat sedikit berminyak lalu ia mengeluarkan sebuah cream hair style rambut dari saku celananya.
"Kata Papi aku harus tampan mengalahkan ketampanan kakek! Lihat! Aku baru saja membeli sebuah cream rambut. Rambutku keren kan?"
Aku terkekeh geli. Dasar memang keluargaku ini. Satu turunan sama saja. Sok ketampanan. Dengan gemas aku menggendong keponakanku ini.
"Ayo Fik. Saatnya jam makan siang. Kamu harus makan. Ayah dan Bunda tunggu kamu diruang makan ya." ucap Bunda sambil berlalu meninggalkanku.
"Iya Bun. Sebentar. Aku ingin melepas rindu dengan Raihan."
"Asalamualaikum."
Suara seorang wanita terdengar. Aku menoleh dan ternyata itu kakak ipar ku bernama Aiza. Mami dari Raihan. Seketika raut wajahku yang tadinya senang perlahan-lahan memudar menjadi muram.
Kami sama-sama terdiam dan saling memandang satu sama lain. Aku menurunkan Raihan dalam gendonganku. Lalu aku meninggalkan tanpa sepatah katapun menuju kamar. Melihat Aiza benar-benar moodku semakin hancur.
Aiza. Wanita itu. Wanita yang sudah membuat Devika mendonorkan korneanya untuk kakak lelakiku yang bernama Arvino.
Dulu Arvino pernah mengalami kecelakaan setelah dia bermasalah dengan Aiza. Ntah masalah apa yang terjadi diantara mereka, dalam perjalanan mendatangi Aiza, kakakku kecelakaan. Tak lama kemudian Devika meninggal. Lalu wanita cinta pertamaku itu mendonorkan kornea nya pada kakakku.
Semudah itu Devika melakukannya hanya untuk Arvino.
****
Samarinda, Pukul 13.00 Siang.
Dalam suasana akrab. Semua keluarga besarku berkumpul. Makan siang sedang berlangsung saat ini. Sejak tadi suara ocehan Raihan menjadi pelengkap tawa canda keluarga kami.
"Nak, kamu disini sampai beberapa hari?"
Pernyataan Bunda membuatku menoleh kearah beliau. Aku mengiris daging ayam menjadi ukuran kecil lalu aku menyuapkannya kedalam mulutku.
"Hanya 2 hari Bun. Ada apa?"
"Ah pas banget!"
"Ada apa?"
"Besok siang Bunda ada acara nikahan di hotel. Temani bunda ya Fik."
"Kenapa tidak sama Ayah saja?" tanyaku heran.
"Ayah ini tampan. Bundamu bisa cemburu kalau Ayah ikut lalu di kagumi sama teman-temannya." timpal Ayah tiba-tiba.
Ya Allah. Ayahku itu. Aku menggeleng cepat. "Tapi Bun. Fikri mau istirahat."
"Sebentar saja Fik. Janji deh. Sekalian, Bunda mau kenalin kamu sana putrinya teman Bunda. Cantik loh. Dia dokter kandungan."
Aku hanya menatap miris hidupku yang selalu di kenalkan oleh berbagai macam tipe wanita oleh Bunda.
"Em. Aku-"
"Tidak ada penolakan! Ini perintah!" sela Bunda yang keinginannya tak bisa terbantahkan. "Kamu juga gitu. Sudah dewasa. Bujangan tampan. Masa iya gak bawa calon pendamping hidup didepan Bunda? Jangan terbawa suasana masalalu terus Fik. Bunda tahu kesedihanmu. Tapi ayolah, coba untuk move on dan mencari kebahagian baru."
"Nah Ayah setuju." sela Ayah lagi. "Setidaknya saat pernikahanmu nanti wajah Ayah akan tetap tampan dan menawan di pelaminan."
Allahuakbar Ayah..
"Itu tidak mudah Ayah. Bunda."
Aku menenggak air putih kedalam tenggorokanku yang mendadak kering. Kalau boleh jujur saat ini hatiku tiba-tiba mencelos.
"Tidak mudah bagaimana? Kamu aja yang gak mau usaha nak." ucap Bunda merasa gemas denganku.
"Apakah kepergianmu ke kota Aceh tidak menemukan seorang wanita? Ya mungkin seorang wanita yang menarik perhatianmu Fik? Kali aja ada."
Tiba-tiba suara Arvino terdengar. Kakaku itu akhirnya angkat bicara sejak tadi. Aku meraih tisu dan membersihkan sisa makanan di sekitar bibirku lalu berdiri sambil menghedikan bahu.
"Ntahlah. Sudah ya. Ayah, Bunda. Fikri duluan kekamar mau istrirahat."
Dengan santai aku menuju kamarku. Aku memilih merebahkan tubuhku yang begitu lelah setelah mengalami jet lag beberapa jam yang lalu.
Aku menatap langit-langit kamarku. Mendengar nama kota Aceh tadi seketika aku teringat wanita itu. Wanita bercadar yang tidak aku ketahui namanya. Seorang wanita yang sedikit aneh karena tidak mengerti sebuah smartphone canggih saat aku menolongnya mencoba menghubungi Ayahnya.
Aku terkekeh geli dan menggelengkan kepalaku. Masya Allah. Dia memang lucu dan gaptek.
Aku benarkan?
****
Author ; iya Fik. Iya. Gitu-gitu Solehah loh. Move on gih
Wkwkwkwkw