Episode 10. Afrah (Terjebak Di Lift )

848 Kata
Restoran Keluarga Delicious by Fikri. Pukul 17.15 sore. Jakarta Utara. Aku melangkahkan kakiku setelah keluar dari ruangan seorang pria beriris biru itu. Ya ampun. Berbulan-bulan aku bekerja disini sekarang aku baru tahu bahwa pria itu adalah atasanku? Ya Allah. Dunia ini memang sempit sekali. Tapi aku tidak bisa mengelak mengapa aku jarang bertemu beliau. Tentu saja karena beliau adalah seorang atasan yang super duper sibuk sehingga baru saja terlihat didepan mataku. "Mbak!" Aku menoleh kebelakang. Panggilan pria beriris itu membuatku menghentikan langkahku. Lalu pria itu menunjuk kebawah lantai menggunakan dagunya. "Sepatumu Mbak." Astaghfirullah. Hampir saja aku lupa. Rasanya sungguh malu sekali. Bisa-bisanya aku melupakan flatshoes yang aku pakai karena sempat melepaskannya didepan ruangan atasanku itu. Aku tak banyak berkata. Dengan sungkan aku hanya menundukkan wajahku. Dia sedikit memberiku jarak. Aku pun mengenakan flatshoesku lalu menunduk sopan. "Lain kali kalau masuk keruangan saya tidak perlu melepaskan sepatumu." Aku mengangguk. Tak berani menatapnya. Dia terlalu tampan dan aku takut pandanganku sebagai bukan mahramnya akan berdosa. "Maaf Pak. Em terima kasih. Asalamualaikum." "Wa'alaikumussalam." Lalu dia pergi meninggalkanku. Aku hanya menatap punggung lebarnya yang terbalut jas formal mahal di tubuhnya. Dengan cepat aku pergi dari sana. Rasanya aku ingin menepuk jidatku saking malunya. Ntah kenapa berada didekatnya auranya begitu menegangkan sekaligus grogi. Atau mungkin memang pembawaan atasanku itu yang kaku pada bawahannya? "Mau ikut masuk?" Aku menatap atasanku itu ketika sejak tadi aku menundukkan wajahku.  "Masuk kemana Pak?" "Lift ini." ucapnya sambil menunjuk kearah pintu besi disampingnya. "Apakah aman?" Lalu dia tertawa geli. Aku mengerutkan dahiku. Memangnya kenapa? Apakah ada yang lucu? Aku kan cuma bertanya. "Kenapa kamu berpikir seperti itu Mbak?" "Saya pernah melihat di televisi. Ada orang terjebak di sana berjam-jam kekurangan oksigen lalu pingsan. Saya takut kehabisan oksigen disana." Dan dia tertawa lagi sambil berkacak pinggang. Ya Allah dia itu kenapa sih? Apakah pernyataanku selucu itu? "Insya Allah tidak. Percayalah. Lift ini sudah berfungsi semenjak gedung restoran ini dibangun." Ya aku tahu itu. Kebetulan gedung ini memiliki tiga tingkat. Lantai satu terdapat restoran keluarga. Tempat aku bekerja sebagai kasir. Lantai dua tempat khusus kedai es cream. Lalu lantai 3 ini tempat ruang kerja atasanku itu sekaligus ruang meeting para tim karyawan. "Em, saya tidak memiliki banyak waktu Mbak. Saya harus segera pulang ke apartemen." Aku berpikir sejenak. Baiklah. Lebih baik aku memasuki pintu besi ini. Setidaknya kakiku tidak lelah menuruni anak tangga. Aku memasuki pintu besi itu. Kemudian pintunya tertutup dengan rapat. Aku melihat atasanku itu menekan tombol-tombol yang ada di dinding besi yang tidak aku mengerti. Ini pertama kalinya aku memasuki tempat ini. Aku memperhatikan disekitarku. Tidak ada celah udara. Hanya kamera kecil di bagian sudut atas tempat besi ini. Untuk apa kamera kecil itu? Apakah seorang tukang foto menyangkutkan kameranya diatas sana untuk berselfie dari atas lalu dia lupa membawanya kembali? Ya ampun. Ada-ada saja. "Oh iya. Nama kamu siapa?" tanya atasanku tanpa menoleh kearahku. Aku menundukkan wajahku "Saya Afrah Amirah." "Oke. Saya Fikri." Jadi namanya Fikri? Masya Allah. Aku baru tahu atasanku namanya Fikri. Ya memang aku sudah lama bekerja disini. Bagiku bukanlah hal penting mencari tahu siapa nama pemilik restoran ini meskipun sebelumnya aku salah paham dan mengira dia bukan pemilik restoran ini. Setelah itu hanya keheningan yang terjadi diantara kami sampai akhirnya suara gemuruh perutku yang lapar berbunyi. Ya Allah. Rasanya aku ingin menangis saat ini juga. Aku benar-benar malu. Bahkan sampai-sampai Pak Fikri pun berdeham. "Sudah makan?" "Maaf Pak. Belum." "Makan saja dengan makanan yang ada didapur. Minta sama koki." "Maaf Pak. Tidak bisa." "Kenapa?" "Semua yang ada disini milik restoran. Saya tidak ingin mengambilnya walaupun hanya hanya sebesar biji kacang." "Lalu?" "Jika saya memakanya tanpa izin. Saya akan berdosa. Itu bukan hak saya. Apalagi tanpa izin dari pemilik restoran ini." Ting! Suara pintu besi ini terbuka. Akhirnya aku bernapas lega. Alhamdulillah. Tidak terjadi hal apapun apalagi insiden kehabisan oksigen. "Lalu?" "Maka semua itu akan menjadi haram dan tidak berkah buat saya." Dan juga firman-Nya Ta'ala: وَلَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُم بَيْنَكُم بِالْبَاطِلِ "Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil..." [Al-Baqarah: 188] "Alhamdulillah. Kamu salah satu karyawan saya yang jujur. Terima kasih. Aku mengizinkannya hari ini agar kamu bisa makan dan halal bagimu. Minta buatkan koki saja. Katakan padanya aku mengizinkannya." Pak Fikri sudah melenggang pergi. Aku tidak menjawabnya. Aku hanya diam. Tapi dia tidak tahu kalau kepergiannya membuat jantungku berdegup kencang. Seorang pria tampan yang baik. Aku suka matanya. Beriris biru. Lalu dia memujiku. Ya Allah. Debaran hati ini? Apakah aku akan salah bila merasa tersipu malu dengan dia? Suara pintu besi tertutup terdengar. Aku membulatkan kedua mataku terkejut. "Ya Allah! Astaghfirullah..." Dengan cepat aku mencegahnya untuk keluar dari pintu tempat besi ini. Tapi sayangnya sudah tertutup dengan cepat. Aku panik. Aku berusaha membuka paksa. Tapi tidak bisa. Aku tergesa-gesa hanya untuk menekan banyaknya tombol di dinding besi ini. Ya Allah, aku harus apa? Apakah jika aku menekan tombol ini akan rusak? Apakah bisa konslet? Apakah bisa meledak? Bagaimana jika aku harus mengganti rugi? **** Tenang. Tenang. Nanti insya Allah di jelaskan kok kenapa awal mulanya Afrah gaptek kebangetan. Cctv aja dikira kamera tukang foto yang tertinggal 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN