25 . Fikri ( Hari Pernikahan )

895 Kata
Jakarta, Jumat, 1 Febuari 2019 Dalam perjalanan menuju rumah Afrah, saat ini didalam mobilku sudah ada Ayah dan Bunda dibagian belakang. Disampingku, ada asisten pribadi Ayah yang mengemudikan mobil pribadi milik kami. Sementara aku, duduk di sampingnya. Aku mengecek jam di pergelangan tanganku. Pukul 08.00 pagi. Satu jam lagi insya Allah aku akan menyandang status seorang suami untuk Reva Sintia. Ah salah, maksudku Afrah Amirah. Si puzzle yang membuatku tertarik untuk segera bermain dengannya. Di belakangku ada 3 mobil keluarga besarku. 2 mobil diantaranya dari keluarga besar Kakek dan Nenek dari Amerika sementara 1 mobil lagi milik Kak Arvino dan istrinya. Bagiku sekarang, selain hari ini adalah hari pernikahan yang membuatku gugup, hatiku juga merasa sesak hanya untuk bertemu dengan Kak Arvino dan istrinya. Istrinya itu penyebab kakakku pernah mengalami kebutaan dan ya, kalian pasti tahu hanya karena melihat kedua mata Kak Arvino sekarang secara tidak langsung mengingatkanku pada almarhum Devika. Bagaimana aku sanggup bila kornea Devika saat ini terpasang di kedua mata kakakku sendiri? Waktu terus berjalan. Alhamdulillah akhirnya aku tiba di kediaman Afrah. Suasana begitu ramai. Suara-suara lantunan shalawat menggunakan rebana terdengar di kedua telingaku. Aku keluar dari mobil dengan perasaan gugup. Ayah dan Bunda berada di kanan kiriku. Sementara di belakangku sudah ada para keluarga yang membawa kotak-kotak berisi hantaran. Beberapa fotografer pun mulai menyorotkan kamera kearahku. Keluarga Afrah, para anggota pengajian yang memakai pakaian gamis putih beserta peci putih pun mulai menyambut kedatangan kami. Aku semakin gugup saja. Ternyata begini rasanya menjadi calon suami yang akan mengadakan akad nikah untuk meminang calon istrinya. Tapi sayang.. bukan bersama Devika. Tapi Afrah. Aku berusaha menghalau rasa grogi. Deg-degan dan gugup pada diriku. Aku memancarkan raut wajah senyum didepan kamera fotografer sambil memasuki rumah Afrah. Kami semua pun akhirnya memasuki rumah Afrah. Suasana dekorasi bertemakan putih yang cantik. Ayah membawaku untuk duduk bersila didepan sebuah meja kecil. Beberapa kerabat dekatku hadir. Salah satunya ada Daniel. Lantunan shalawat dan rebana masih terdengar. Kedua tanganku terasa dingin. Saat ini Afrah sudah menunggu di kamarnya. Waktu terus berjalan. Shalawat rebana pun selesai. Berbagai macam prosesi sebelum akad nikah pun di langsungkan. Salah satunya membaca lantunan ayat suci Alquran. Sampai akhirnya, Pak penghulu sudah siap duduk didepanku. Salah satu pengeras suara sudah aku pegang menggunakan tangan kiriku dan tangan kananku berjabat dengan erat tangan Pak penghulu. "Bisa kita mulai sekarang?" tanya Pak Penghulu dengan beberapa orang yang ada didekatnya. "Bisa Pak. Mari.." Pak penghulu mengangguk. "Bismillahirrahmanirrahim. saudara Muhammad Fikri Azka bin Muhammad Azka, saya nikahkan engkau dengan ananda Afrah Amirah binti Muhammad Syarif Hidayatullah dengan mas kawin uang sebesar  Rp. 1.133.250 dibayar tunai." "Saya terima nikah dan kawinnya Afrah Amirah binti Muhammad Syarif Hidayatullah dengan mas kawin tersebut dibayar tunai." "Bagaimana saksi, sah?" "SAH!" "SAH!" "SAH!" "Alhamdulillah.." "Barakallah..." Aku mengucapkan kata syukur. Semua kegugupanku akhirnya perlahan-lahan sirna. Aku melihat kedua mata Bunda yang berkaca-kaca. Aku juga melihat semua raut wajah para tamu undangan, kerabat dan keluarga besarku bahagia. Kilatan blitz dan beberapa ponsel yang di pegang tamu mengarah kepadaku. Lalu semuanya teralihkan begitu melihat ke satu sisi yang ada di belakangku. Akupun ikut menoleh kebelakang. Seketika aku terkesima melihat istriku keluar dari kamar yang di gandeng oleh seorang ibu yang kini menjadi Ibu mertuaku. Masya Allah. Afrah cantik. Ntah kenapa hatiku terasa bahagia tanpa bisa ditepis meskipun aku tahu dia penuh misteri dan teka-teki. Tapi sebisa mungkin aku menghalau rasa bahagia ini. Aku tahu, pernikahan ini apakah bisa berlanjut dengan bahagia atau tidak suatu saat begitu semuanya terungkap. Afrah sudah duduk disebelahku. Aku pun berpindah posisi duduk menghadapnya. Aku meraih sebuah kotak kecil yang terpasang cincin pernikahan disana. Aku memegang tangan Afrah yang terlihat gemetar kecil. Tanpa diduga Afrah menariknya kembali. "Ada apa?" bisikku. Afrah terlihat diam. Bahkan menyembunyikannya dalam bentuk kepalan tangan. "Afrah.. kamu kenapa?" Afrah tetap diam. Aku berusaha meraih tangannya. Tapi lagi-lagi Afrah menolak halus. Semua orang bertanya-tanya ada apa demikian? "Afrah kamu baik-baik saja kan nak?" Suara Bunda terdengar cemas. Afrah menudukkan wajahnya karena tak berani melihat kearah Bunda. Aku memegang lengannya. Aku mendekatkan wajahku dan berbisik kearahnya. "Afrah, katakan padaku. Kamu kenapa?" "Afrah.." Akhirnya Afrah mendongakan wajahnya secara perlahan kepadaku. Aku melihat kedua matanya yang dipenuhi air mata. "Afrah hanya malu." Dan semua orang pun geleng-geleng dengan senyuman geli. Aku bernapas lega. Aku pikir mengapa Afrah begitu denganku. Aku sempat mengira Afrah akan menolak diriku. Dengan penuh kelembutan aku menggenggam punggung tangannya sejenak. Aku mengelusnya dengan pelan. Aku tahu dia gugup. Ini pertama kalinya aku berkontak fisik dengannya. Tangannya dingin. Kulit tangannya sangat halus. Sampai akhirnya aku memberanikan diri menyematkan cincin pernikahan ini pada jari manisnya. Sekarang giliran Afrah yang melakukannya. Hanya untuk memegang tanganku saja Afrah gemetar. Beberapa orang yang melihatnya ada yang terkekeh geli. Kini, cincin itu sudah terpasang di kedua jari manis kami. Tanpa ragu aku mencium keningnya dengan lembut. Bahkan setelah itu aku menyentuh area sudut matanya. Ada air mata bahagia disana. Aku tersenyum tipis kepada Afrah. Tanpa diduga Afrah kembali menundukkan wajahnya. Lagi-lagi dia malu. Itu yang aku rasakan. Sekarang sesi foto berlanjut. Kedua tanganku merengkuh pinggul Afrah dengan lembut agar kami saling dekat untuk di foto. Tubuh Afrah terasa sangat kaku. Istriku itu tidak banyak berkata, selain hanya diam dan gugup. Serta raut wajahnya yang malu. Dan kedua matanya, aku suka melihatnya. Aku bersyukur, setelah ini tidak ada lagi penghalang apapun hanya untuk menatap wajahnya setiap waktu. Istri halalku. Afrah Amirah. *** Bayi besar akhirnya lepas bujang

Baca dengan App

Unduh dengan memindai kode QR untuk membaca banyak cerita gratis dan buku yang diperbarui setiap hari

Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN