21. Fikri ( Kepingan Puzzle )

1137 Kata
Semilir angin malam setelah sholat magrib menerpa wajahku. Aku menarik napas dalam-dalam kemudian menghembuskannya secara perlahan. Angin malam yang berada di atas ketinggian lantai 9 apartemenku kali ini membuatku berharap dapat mengisi rongga dadaku yang sesak akibat kenyataan tak terduga. Aku menatap tiga lembar kertas yang sedang aku pegang saat ini. Satu lembar foto copy surat kelulusan kuliah Afrah. Lembar kedua berisi biodata Afrah dan lembar ketiga adalah biodata sahabatku di masalalu bernama Reva. Suara derap langkah kaki terdengar. Aku menoleh kebelakang ketika Daniel menghampiriku setelah aku menghubunginya tadi sore. "Ada perlu apa kamu menghubungiku Fik? Apakah ada hal penting mengenai pekerjaan? Bisnis baru atau-"  Daniel terdiam sesaat setelah aku memberikan tiga lembar kertas ditanganku itu tanpa basa-basi. Dengan seksama Daniel membacanya.  Kedua alis Daniel menukik tajam. Raut wajahnya terlihat berpikir keras. Daniel membaca lembar pertama. "Afrah Amirah. Lulusan universitas ternama di Samarinda angkatan tahun 2011. Jurusan Ilmu Komunikasi." Aku hanya diam. Lalu Daniel membaca lembar kedua. "Reva Sintia.  Tinggi 165cm. Golongan darah B. Lahir di Aceh, 1 Januari 1990." Kemudian Daniel membalik lembar ketiga. "Afrah Amirah. Tinggi 165cm. Golongan darah B. Lahir di Aceh, 1 Januari 1990." Kini tatapan Daniel beralih menatapku. "Apa yang sebenarnya terjadi Fik?" Aku membalikan badan dengan memunggungi Daniel. Salah satu tanganku terkepal di dalam celana jeans yang aku kenakan. Bahkan tanpa Daniel sadari, aku berusaha menahan amarah saat ini. "Semua sudah menjadi takdir Daniel. Aku terbelenggu oleh masalalu yang begitu kelam." "Ceritakan semuanya padaku. Terlalu banyak hal yang aku lewatkan setelah kita sama-sama lulus." ucap Daniel yang kini terdengar simpatik kepadaku. "Kakakku pernah kecelakaan. 9 tahun yang lalu dalam perjalanan ke kota Balikpapan menuju rumah calon istrinya." "Lalu?" "Saat itu mereka sedang bermasalah dalam hubungan mereka. Kecelakaan itu membuat kakakku mengalami  koma selama seminggu. Setelah sadar dari koma, kedua mata kakakku buta." Aku yakin saat ini Daniel syok mendengar semua penjelasanku malam ini. Biar bagaimanapun aku butuh Daniel untuk mendengarkan semua hal yang aku alami sejak dulu. "Apakah kamu ada disaat kejadian itu? Bagaimana nasib Om Azka dan Tante Ayu?" "Ayah dan bunda tentu saja terpukul." ucapku lirih. Aku menatap lurus ke depan. Menatap kemerlap lampu-lampu yang ada di gedung bertingkat tinggi. "Kejadian itu membuatku harus pulang ke Indonesia ketika aku sedang berada di Amerika hanya untuk belajar bisnis bersama Kakek disana setelah kita lulus kuliah." "Bagaimana kak Arvino bisa melihat kembali? Dan.. menikah dengan kakak iparmu?" "Karena almarhum Devika yang mendonorkan korneanya pada kedua mata kakakku." Lalu Daniel terbungkam lagi. Kedua mataku memanas hendak menangis. Bukan aku cengeng. Tapi kalau mengingat hal itu lagi secara tidak langsung hatiku seperti tersayat pisau. "Setelah mengetahui kak Arvino mengalami buta. Tanpa disadari siapapun, Devika mendaftarkan diri ke Bank Mata Indonesia untuk mendonorkan korneanya sebelum meninggal."  "Aku bahkan tidak percaya kenapa Devika bisa melakukan hal itu sementara dia sendiri tidak tahu kapan meninggal." "Mungkin Devika menyukai kakakmu itu Fik. Apa aku benar?" Seketika aku terdiam. Rahangku mengetat keras. Kedua mataku menatap tajam kearah depan seolah-olah disana ada bayangan Arvino yang membuatku cemburu saat dimasalalu. "Ya. Kamu benar Daniel. Devika menyukai kakakku. Bahkan wanita yang aku cintai itu pernah patah hati berulang kali karena kakakku tidak menaruh hati padanya." "Dengar.." Daniel berjalan kearahku hingga kami saling berdiri bersebelahan. "Tidak ada satupun keluarga yang mau menyumbangkan korneanya untuk korban yang mengalami kebutaan Fik. Kalaupun ada, itu bisa di hitung. Kamu harus paham. Karena itu, Devika rela melakukannya ketika saatnya tiba. Anggap saja dia ingin orang yang cintainya itu bisa melihat dunia lagi." "Itu salah satu alasan mengapa aku enggan untuk pulang kerumah Daniel. Aku tidak sanggup hanya ingin bertemu apalagi bertatapan dengan kakakku itu. Ada kornea Devika disana. Jangankan Arvino, melihat kakak iparku saja rasanya kesal. Karena dialah, kakakku itu rela mendatanginya di Balikpapan dan mengalami kecelakaan." "Tapi.. bagaimana kronologis kematian Devika? Apakah dia sakit?" "Tidak." Aku menggeleng cepat. "Dia kecelakaan. Mobilnya di tabrak secara beruntun oleh kontainer. Dan kamu tahu semua itu disebabkan siapa?" Aku menatap Daniel lagi. Kini, kamipun saling berhadapan. "Reva. Reva Sintia. Sahabatku sendiri yang mengemudikan mobil Devika sampai akhirnya kecelakaan itu terjadi." Dan Daniel syok. Wajahnya terkejut bahkan bibirnya terbungkam rapat. "Aku tidak menyangka kamu membenci kedua wanita sekaligus. Si sahabatmu Reva Sintia dan Kakak Iparmu." "Aku juga tidak menyangka kalau Reva bekerja di perusahaan Devika. Setelah lulus kami tidak pernah berkomunikasi lagi. Aku tidak mengerti kenapa dia melakukan hal itu. Dia seperti menjauhiku." "Bahkan..." Aku berpaling menatap ke lain. "Sekarang perusahaan yang aku tempati itu adalah milik Devika. Pak Amran mempercayaiku menjalankan perusahaannya. Ruangan yang aku tempati itu adalah ruangan Devika Daniel." Daniel memundurkan langkahnya dengan lemas. Sampai akhirnya dia terduduk di sofa yang ada dibelakangku. "Kemana Reva? Apakah dia masih hidup?" "Aku tidak tahu." ucapku dingin. "Aku tidak tahu dia masih hidup atau tidak. Setelah kecelakaan itu dia mengalami koma. Aku tidak mencari tahu lagi selama pindah ke kota ini. Tapi.." Aku membalikan badan dan menatap Daniel serius. "Kertas yang ada ditanganmu itu menjadi teka-tekiku selama ini." "Jadi kamu menyangka kalau.. Afrah Amirah itu Reva?" Aku mengangguk. "Kamu benar. Afrah.. karyawan yang bekerja di restoran yang aku miliki itu seperti kepingan puzzle yang terpisah." Tiba-tiba Daniel berdiri. "Fik. Maafkan aku bicara seperti ini. Sebaiknya kamu mencari tahu terlebih dahulu. Kamu bisa bertanya apapun sama dia kan? Jangan menyangka yang tidak-tidak." Aku menatap Daniel dengan sinis. "Kamu lupa kalau wanita yang kamu lihat waktu itu memakai cadar? Apakah aku pantas bertanya padanya lebih jauh sementara dia menjaga jarak kepada pria asing yang bukan mahramnya?" "Apa maksudmu Fik? Jangan bilang-" "Permainan puzzle itu seperti teka-teki Daniel. Kamu harus menyusunnya agar kamu tahu hasilnya seperti apa. Jadi... " Aku terdiam sebentar kemudian kembali memunggungi Daniel. "Jadi agar aku tidak kehilangan kepingan puzzle itu. Aku harus memiliki semuanya agar bisa menjadi milikku seutuhnya. Aku tidak ingin ada satu puzzle pun yang hilang." "Lebih baik kamu hentikan niatmu Fik. Kumohon mengertilah. Apakah kamu tidak kasihan padanya jika wanita itu tidak bersalah?" "Sayangnya aku tidak berniat menghentikan. Puzzle itu permainan yang menantang." Daniel seperti tidak terima. Tanpa diduga Daniel mendekatiku. "Sekarang aku tanya padamu. Jika puzzle itu sudah tersusun rapi. Kamu sudah mengetahui bagaimana bentuknya. Ukurannya. Gambarnya. Susunannya. Apa yang kamu lakukan? Apakah kamu akan menjaganya dengan baik atau sebaliknya?" Aku hanya menghedikan bahu tidak peduli. "Pilihannya ada dua." Jeda sesaat. Suasana terlihat tidak nyaman bagi Daniel. Tapi tidak denganku yang malah menganggap semua ini adalah teka-teki penuh misteri. "Aku akan menghancurnya kembali atau.." "Atau apa?" "Atau aku akan meninggalkannya begitu saja setelah semuanya selesai." "Fik. Hentikan semua ini. Aku-" "Bayi besar! Ayo. Sudah waktunya kita berangkat kerumah Afrah. Ayah sudah menunggu di lantai bawah nak." Tiba-tiba suara panggilan ibu terdengar dari bawah. Aku hanya tersenyum sinis dan menatap Daniel dengan santai. "Aku pergi dulu Daniel." "Tapi-" Dan aku melenggang pergi tanpa menghiraukan Daniel yang berusaha mencegahku. "Aku ingin bermain puzzle dulu. Dimulai dari sekarang. Jangan khawatirkan apapun." **** Siapkan hati kalian dari sekarang ya
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN