Bab 8 Sebuah Percakapan

1086 Kata
Sienna berjalan dengan penuh semangat menuju kantor suaminya, membawa kotak makan siang yang ia siapkan khusus untuk Ardha. Ia berharap kunjungan ini bisa menjadi kejutan manis, mengingat mereka jarang menghabiskan waktu bersama belakangan ini. Rasa rindunya membuncah, terbayang dalam pikirannya bagaimana senyum suaminya saat melihat kejutan kecil ini. Namun, saat ia mendekati ruangan Ardha, langkahnya terhenti. Terdengar suara tawa lembut dan percakapan yang terasa terlalu intim. Hatinya berdegup, penasaran namun juga merasa ada sesuatu yang tak beres. Sienna memutuskan untuk mendengarkan lebih dekat, berharap ini hanya salah paham. Ia berdiri di balik pintu, mendengarkan suara Ardha dan sekretarisnya, Renita, yang sedang berbincang dengan nada mesra. “Mas Ardha,” terdengar suara Renita menggoda. “Terima kasih sudah menghabiskan waktu bersamaku akhir-akhir ini. Aku benar-benar merasa jadi wanita paling beruntung.” Sienna merasakan tubuhnya menegang. “Apa-apaan ini?” bisiknya dalam hati. “Ah, sudah jangan lebay, baby,” balas Ardha sambil tertawa ringan, menggunakan panggilan mesra yang dulu ia gunakan untuk Sienna. “Pokoknya aku akan usahakan yang terbaik buat kita.” Sienna merasa dadanya sesak. Air mata sudah hampir jatuh, namun ia menggenggam erat kotak makan di tangannya, berusaha menenangkan diri. Tak ingin membuat keributan, Sienna memilih mundur perlahan, tapi tanpa sengaja kakinya menyentuh pintu, menimbulkan bunyi kecil. Ardha dan Renita langsung terdiam. Ardha membuka pintu dan terkejut melihat Sienna berdiri di sana dengan wajah pucat, matanya merah menahan air mata. “Sienna?” Ardha tampak panik, matanya melebar. Sienna mencoba tersenyum tipis, menahan emosinya yang bercampur antara marah dan kecewa. “Aku hanya… ingin mengantarkan makan siang untukmu. Kupikir kamu mungkin sibuk dan tidak sempat makan,” ujarnya dengan suara bergetar. Renita menatap Sienna dengan senyum tipis yang nyaris menantang, seolah senang dengan keadaan ini. Ardha tersenyum canggung, terlihat salah tingkah. “Ah… iya, terima kasih. Tapi lain kali kabari dulu ya kalau mau datang. Aku sedang… sibuk rapat.” Sienna mengangguk pelan, menatap Ardha dalam-dalam, mencoba mencari jawaban di wajahnya. “Tentu. Maaf mengganggu.” Dengan hati yang hancur, Sienna menyerahkan kotak makan itu, berbalik, dan berjalan menjauh. Di balik senyumnya yang ia paksakan, hatinya pecah berantakan. Pertemuannya dengan Ardha yang ia harapkan menjadi awal yang hangat, kini berubah menjadi luka yang ia sendiri tak tahu kapan bisa sembuh. Sienna menatap kotak makan yang ia bawa dari rumah, membuka perlahan sambil menahan perasaannya yang bercampur aduk. Di depannya, Ardha duduk dengan wajah tegang, berusaha bersikap biasa. Ia sadar bahwa Sienna mungkin mendengar sesuatu yang tak seharusnya, tapi ia tetap menjaga ekspresi datarnya. Ardha mencoba membuka percakapan, "Jadi, bagaimana kabar orangtua di Lombok?" Sienna tersenyum tipis, menyembunyikan rasa sakit yang ia rasakan. "Baik, mereka sehat. Mereka sempat menanyakan kabarmu juga." “Oh, begitu,” jawab Ardha, sambil menunduk sedikit canggung. "Mungkin nanti kita bisa pergi ke sana bersama, ya? Aku tahu sudah lama tidak berkunjung.” Sienna mengangguk, merasa terjebak dalam percakapan yang terasa begitu hampa, meskipun mereka sedang duduk berhadapan. Ia memaksakan diri tersenyum, menahan sesak di dadanya. “Mereka pasti senang jika kamu berkunjung. Mereka sering membicarakan kamu,” tambahnya dengan nada datar, meski di dalam hatinya ia merasakan perih yang sulit ia ungkapkan. Ardha menyuap makanannya dengan canggung, mencoba mencari topik pembicaraan lainnya untuk mengalihkan suasana. "Sepertinya kamu membawa makanan favoritku. Terima kasih, Sienna.” Sienna hanya tersenyum kecil dan mengangguk. Di dalam benaknya, berbagai pikiran berputar; ia berusaha memahami situasi ini tanpa menunjukkan kekecewaannya. Baginya, kesempatan makan siang ini seperti saat-saat terakhir untuk mempertahankan apa yang masih tersisa dalam hubungan mereka, walau ia tak bisa lagi mengabaikan kebenaran yang mulai terungkap. Setelah beberapa saat dalam keheningan, Sienna menghela napas panjang, berusaha menguatkan dirinya. "Mas.... aku tahu kamu sibuk. Tapi aku berharap, apa pun yang terjadi, kamu bisa lebih terbuka padaku," katanya lembut, menyiratkan harapan terakhir yang mungkin bisa menyelamatkan pernikahan mereka. Ardha mengangguk tanpa banyak bicara, masih sibuk dengan makanan di depannya, seakan kata-kata Sienna hanya angin lalu. Sienna menyadari bahwa dia tak akan mendapat jawaban yang ia harapkan hari itu. Setelah selesai, ia mengemas kembali kotak makan dengan senyum yang dipaksakan, lalu bangkit dari kursinya, bersiap untuk pergi. “Terima kasih sudah meluangkan waktu makan siang bersama. Aku harap kamu bisa pulang lebih awal nanti malam,” ujarnya lembut sebelum melangkah keluar, meninggalkan Ardha yang hanya bisa menatap punggungnya dalam keheningan. Ada rasa bersalah dalam diri Ardha bagaimana pun dia pernah sangat mencintai wanita lembut itu."Hh, Iya sayang, nanti aku akan pulang jam 5 sore, aku janji."Ardha mengulum senyumnya. Sienna kembali ke rumah menggunakan taksi. Dia meremas dressnya sambil menatap kaca jendela mobil taksi online tersebut sambil berderai airmata, saat membayangkan apa yang dilakukan suaminya di ruangan tadi bersama Renita. "Tak kusangka dia begitu , "gumam Sienna. Sore itu, Ardha tiba di rumah lebih awal dari biasanya, berusaha memberikan kesan perhatian pada Sienna, walau hatinya tak sepenuhnya berada di sana. Setelah membersihkan diri, ia masuk ke kamar dan mendapati Sienna tidak ada di sana. Ia sempat merasa cemas, namun sedikit lega ketika melihatnya di ruang ganti, sibuk merapikan pakaian mereka dengan tekun. Saat makan malam, Sienna berusaha menciptakan suasana yang nyaman, menyajikan hidangan dengan penuh perhatian. Ia ingin memperbaiki hubungan mereka, meskipun ia bisa merasakan jarak di antara mereka yang terus membesar. Ardha berusaha bersikap hangat, tetapi pikirannya tak pernah sepenuhnya terlepas dari Renita. Malam itu, meski kebersamaan mereka seolah kembali hangat, Ardha tetap merasa tak berdaya karena hatinya terbelah. Ia melakukan semua itu demi menjaga kesan di mata Sienna, agar tidak timbul kecurigaan, namun saat Sienna terlelap, bayangan Renita muncul kembali. Dengan hati-hati, Ardha mengambil ponselnya dan melakukan video call dengan Renita, yang langsung merengek penuh kemanjaan karena merasa kehilangan. “Mas Ardha, aku rindu,” ucap Renita dengan nada yang manja, matanya menatap Ardha dengan ekspresi penuh harap. Ardha tersenyum lembut, menenangkan wanita yang begitu mendominasi pikirannya. "Tenang, sayang. Aku di sini hanya sementara, agar Sienna tidak curiga," bisiknya, berusaha meredakan kekhawatiran Renita. "Mas, aku ingin kita bisa bersama sepanjang waktu. Aku tidak tahan seperti ini," ucap Renita dengan nada kecewa. Ardha menatapnya dengan penuh pengertian. "Percayalah, semuanya akan berakhir dengan baik. Aku hanya butuh waktu sedikit lagi, ya?" jawabnya sambil menatap layar, berusaha meyakinkan Renita bahwa hanya dirinya yang ada di hatinya. Mereka berdua terlibat dalam percakapan yang penuh keintiman, seakan tak ada yang menghalangi cinta mereka. Ardha sesekali melirik ke arah Sienna yang terlelap, memastikan bahwa istrinya tak menyadari percakapan rahasia itu. Malam itu terasa begitu panjang bagi Ardha, yang terjebak antara perannya sebagai suami yang setia di hadapan Sienna dan kekasih yang tak sabar di hadapan Renita. "Apa yang harus aku lakukan sekarang ?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN