Imperial Collage Business School
South Kensington Campus, Exhibition Rd, London SW7 2AZ.
February 2015
______________
Suasana di kampus pagi ini sama seperti sebelum-sebelumnya. Rata-rata mahasiswa di kampus memakai jas, riasan mahal, tas mewah, mobil sport mewah. Berbicara seputar riset dan bisnis, kolega, produk terbaru, produk kolaborasi, rencana mengajukan bisnis dengan menggandeng brand kampus yang terkenal, proyek-proyek pengembangan perusahaan. Dan semua hal lainnya yang berhubungan dengan bisnis dan perusahaan.
Yah, seperti itulah kegiatan dan pembahasan yang mendominasi kampus mewah ini karena seluruh mahasiswa di sekolah bisnis ini adalah anak-anak dari pebisnis dunia. Bahkan menurut catatan dari kampus, dua puluh persen dari mahasiswa di kampus ini adalah CEO muda dan yang paling menonjol dari dua puluh persen orang itu adalah Alexander Oliver.
Pria yang tengah duduk di dalam ruang belajar khusus yang hanya bisa di gunakan oleh beberapa murid yang memang memiliki akses khusus untuk bisa masuk kesana. Ruangan yang di d******i warna putih. Komputer canggih kelas dunia, bermerek. Berbagai macam buku seputar ilmu bisnis berjejer rapih di antara rak-rak buku yang bersandar di dinding.
Ruangan ini layaknya sebuah kantor, namun semua orang di dalam ruangan adalah CEO dan memang mereka orang-orang muda cerdas yang tengah membangun perusahaan.
Di samping Alex, duduk seorang gadis yang sejak tadi tidak berhenti tersenyum sambil berdecak kagum menatap bagaimana lihainya pria di sampingnya memainkan jari-jemarinya di atas keyboard. Sesekali mata pria itu mengecil menatap grafik di layar monitor kemudian terdengar decakan kesal lalu desisan kecil saat pria itu menemukan ketidak senangannya pada tabel dan atau apa pun yang sedang dia kerjakan di depan layar monitornya.
"Kau lihat grafik ini?" tunjuk Alex pada layar monitor tanpa menjauhkan pandangannya dari sana.
"Hem ...," Letty bergumam, namun bukan pada layar monitor di depan konstentrasi gadis itu, tapi pada wajah adonis yang sedang tampak tegang itu.
"Jadi, 29% dari kaum wanita yang terdiri dari gadis-gadis muda lebih menyukai berlian dari pada permata. Permata itu memang mahal tapi berlian adalah penguasa pasar jika berhubungan dengan perhiasan. Sementara 53% di d******i kalangan wanita dewasa yang lebih memilih berlian sebagai investasi dan bisnis mereka. Ah ...."
Pria itu mendorong tangannya yang mengepal ke udara sebagai bentuk protesnya. Beberapa waktu lalu dia dan timnya melakukan riset pasar. Sebenarnya hal ini sering di lakukannya di kantor. Dia sering mendapat laporan seperti ini namun, karena ini juga adalah bentuk tugas di kampusnya maka, pria itu kembali menyuruh timnya untuk melakukan riset pasar mengenai produk unggulan mereka, sesuai dengan keahliannya sebagai orang yang mengendalikan bisnis berlian terbesar di Inggris.
Sebenarnya Alex sudah tak perlu lagi berkuliah di sekolah bisnis ini. Dia sudah resmi menjadi CEO sejak setahun yang lalu dan namanya sudah sangat di kenal oleh dunia sebagai satu-satunya pewaris perusahaan yang bergerak di bidang perhiasan termahal yaitu berlian. Namun, Alexander Oliver ingin membuktikan pada ayahnya jika dia bisa memimpin perusahaan itu dengan kecerdasan yang dia miliki agar kelak orang-orang tidak menyebutnya pewaris tanpa keahlian. Alih-alih menjadi CEO yang di bangga-banggakan, Alex memang kerap kali mendapat perlakuan semena-mena dari ayahnya. Bahkan dia sadar beberapa relasi dari ayahnya sempat menanyakan latar belakang pendidikan pria itu saat setahun yang lalu Marthin memperkenalkan Alex kepada para investor dan dewan direktur.
Walau sepertinya semua orang mengabaikan jika Alex telah mempelajari seluk beluk perusahaan sejak dia berumur lima tahun. Segala macam buku bersangkut paut dengan latar belakang perusahaan keluarga dan ilmu seputar dunia bisnis, sampai membaca banyak buku dari pelaku bisnis terkenal dunia sudah benar-benar tersemat dalam pikiran pria itu. Tapi, Alex tidak bisa mengabaikan pandangan publik jika seorang CEO harus memiliki latar belakang pendidikan yang baik untuk bisa naik jabatan dan memperkenalkan diri pada para investor walau sebenarnya pemegang saham terbanyak di perusahaan adalah ayahnya sendiri.
"Jadi, berlian memanglah perhiasan paling di gemari di semua kalangan masyarakat. Lantas, mengapa Fredrick Van Der Lyn itu bisa menduduki posisi pertama sebagai orang paling kaya di dunia jika dia hanya mengelolah perusahan perhiasan biasa?"
Letty akhirnya bergeming saat mendengar nama ayahnya keluar dari bibir pria yang sekarang resmi menjadi kekasihnya itu. Letty menarik dirinya, menatap dengan posisi tersinggung pada pria yang lagi-lagi terlalu memusingkan kehidupan seorang Fredrick Van Der Lyn.
"Alex, apakah kau ingat, kau sempat mengatakan jika ayahmu memiliki obsesi yang sia-sia?"
Alex memutar wajahnya. Setengah alisnya terangkat menatap tanya gadis di sampingnya. Dia paham betul maksud perkataan gadis itu.
"Apakah sekarang aku terlihat seperti sedang terobsesi padanya?"
Letty memalingkan wajah. Walau bagaimana pun, Fredrick tetaplah ayahnya. Dia paling tidak ingin mendengar ada orang lain yang mengusik keluarganya. Bukankah demi semua itu Letty harus rela menjalani kepalsuan ini? Tapi ... ketika salah satu dari mereka adalah orang yang juga orang yang penting untuk Letty, bagaimana dia harus menyikapi semua ini? Dia sudah terlanjur jatuh cinta pada pria yang ternyata juga sedang menyelidiki siapa Fredrick Van Der Lyn sebenarnya — pun, juga membenci ayah Letty.
"Ya, Alex." Letty berusuara tanpa melihat wajah Alex. Dia tidak sanggup melakukannya. "Tidak bisakah kau melupakan pria itu dan fokus saja pada bisnismu?"
Alex menarik napas. Dia menutup mata lalu menganggukkan kepala. Alex mulai berpikir jika yang dikatakan Letty itu benar. Lagi pula gadis di sampingnya tidak tahu apa pun soal perseteruan antara ayahnya, Marthin dengan Fredrick. Alex juga masih perlu menyelidiki mengapa hingga sekarang ayahnya masih meneruskan obsesinya untuk menyelidiki bisnis milik orang paling kaya nomor satu di dunia itu.
"Kau benar," ucap Alex. Dia meraih sebagian rambut Letty yang menghalangi sisi wajahnya, membawa rambut halus pirang itu ke belakang telinga agar pria itu bisa dengan leluasa memandangi paras cantik di sampingnya. Letty memalingkan wajahnya untuk menyapa manik coklat di sampingnya. Gadis itu menarik senyum simpul lalu membawa tangannya meraih satu sisi tangan pria di depannya.
"Jangan terlibat urusan tidak penting. Bukankah kau memiliki sebuah tekad?" tanya Letty. Alex mengangguk sambil perlahan mulai menarik senyum di wajahnya. Letty mempererat kedua tangannya yang sedang membungkus satu sisi tangan Alex sementara pria di depannya sibuk membelai pipi Letty sambil memuja gadis itu dalam hatinya.
"Fokuslah pada tekadmu. Itu lebih baik dari pada mencari tahu kelemahan orang lain," ucap Letty.
Alex mengangguk lagi. Pria itu benar-benar kagum pada gadis yang tengah menatapnya sambil memamerkan senyum yang dia pikir tidak akan pernah di dapatnya dari gadis itu. Mengingat betapa ketus, sarkastik dan cueknya gadis itu sebelumnya. Alex tidak menyangka jika ternyata Letty seorang gadis yang lembut, penuh perhatian dan memiliki pemikiran visioner dimana Letty banyak memberi Alex masukan baik itu untuk keperluan bisnis dan bahkan untuk pribadinya.
"Ehem!" Seseorang menginterupsi dengan suara berat yang sangat terdengar jelas di ruangan ini. Letty menaikkan matanya sementara Alex membalikkan badannya. Keduanya langsung menandang sinis gadis dengan balutan setelan jas kasual berwarna abu-abu, sangat ketat melekat di tubuhnya. Dua kancing kameja di dalam jasnya sengaja tidak di kunci, membuat dua gundukkan di dadanya yang berukuran besar menyembul ke permukaan. Ketukan sepatuh hak tinggi miliknya mengetuk dan menggema di ruangan ini, terlebih ketika dia berjalan bak rol model mendekat meja kerja milik Alexander Oliver.
"Hai, Alex." Gadis itu menyapa. Menaruh dua tangannya di sisi depan bagian meja kemudian sedikit menundukkan badannya. Terlihat jelas sekali jika dia sengaja untuk lebih memamerkan buah dadanya di depan Alex.
"Cih!" Letty mendecih sambil menggelengkan kepala. Menatap kebawah namun tidak menghilangkan senyum sinis di wajahnya. Sedang gadis di depan Letty terlalu tidak perduli dengan Letty. Bahkan gadis itu tak perlu menganggap arti kehadiran gadis yang tengah duduk di samping Alex.
"Hai Monna," sapa Alex. Ekor mata Letty mencari-cari wajah Alex hendak melihat ekspresi pria itu sekarang. Dan geramnya gadis itu saat melihat senyum merekah di wajah Alex sambil menatap gadis berpenampilan feminim seksi di depan mereka.
"Kau sibuk belakangan ini sampai tidak pernah membalas pesan dariku." Gadis bernama Mona itu menarik kursi di depan meja kerja Alex, cara duduknya itu membuat Letty ingin sekali melempar fas bunga di depannya. Lagi pula mengapa seorang gadis harus menyeka bokongnya di depan sepasang kekasih jika hanya untuk duduk di kursi? Bukankah itu sangat murahan? Memamerkan ukuran b****g pada lawan jenis?
'Bitches!' Batin Letty tak mau tinggal diam.
"Ah ...." Alex menggelengkan kepala lalu memutar wajah pada Letty. Perlahan, tangan Alex mulai mencari tangan gadis di sampingnya. Dia tersenyum setelah telapak tangannya meraih tangan kecil itu lalu mengaitkan jemarinya di antara jari-jari panjang milik Letty.
"Aku terlalu sibuk mengurusi pacarku," ucap Alex lagi. Kali ini dia mengangkat tangannya yang telah terbungkus sepenuhnya dengan tangan Letty. Pria itu mendekatkan tangan mereka ke bibirnya lalu mengecup punggung tangan Letty. Gadis Murphy itu tersenyum, atau ... lebih tepatnya dia tersipu. Bagaimana tidak, Alex tidak segan-segan memperlihatkan adegan romantis di depan wanita yang sedang berusaha menggodanya. Letty merasa menang tanpa melakukan perlawanan.
"Cih!" Giliran Monna yang mendecih kesal. Gadis itu memutar bola mata lalu menggelengkan kepala. "Menggelikan," ucapnya dengan nada mencibir.
Tapi, Letty dan Alex terlalu tidak ambil pusing dengan gadis di depan mereka dan memilih untuk meneruskan saling memuja lewat tatapan mata dan senyuman.
"Alex, kau tidak lupa dengan proyek kolaborasi perusahaan kita, kan?" Monna kembali mencoba menarik perhatian Alex dan itu berhasil. Alex kembali membalikan kepala menatap lurus kedepan.
"Thiana akan mengurus semuanya. Lagi pula aku sedang cuti," ucap Alex.
Monna terlihat semakin kesal. Dia lalu memutar mata menatap sinis gadis di samping Alex.
"Aku tidak percaya ini, Alexander Oliver. Seleramu benar-benar kampungan."
Sudut atas bibir Monna terangkat membentuk senyum sinis dan mengejek namun Letty tak sekalipun merasa inferior sebab dia tahu bagaimana kehidupan gadis di depannya. Sempat kecewa karena Letty bisa melihat dengan jelas jika pria Oliver di sampingnya pernah terlibat one night stand dengan gadis eksotis di depannya namun, sekali lagi dia ingin mempertegas jika yang mereka lakukan itu sebatas dua orang mabuk yang di penuhi hasrat yang hanya ingin melampiaskan napsu.
"Aku juga tidak percaya jika aku benar-benar menyukainya," ucap Alex tiba-tiba dan sontak membuat Letty mengerutkan kening dan menatapnya sinis. Namun, senyuman Alex membuat Letty membatalkan niatnya untuk memprotes ucapan pria itu barusan.
"Dia menyerap semua perasaanku. Menjerat hatiku dan membuatku terperangkap hingga aku tidak bisa menemukan jalan lain untuk keluar dan akhirnya pikiranku hanya ingin berputar pada dunianya, dan pada dirinya."
Letty benar-benar merasa jika dirinya adalah gadis paling bahagia di dunia. Seberapa pun gadis itu tahu jika Alex seorang pemain wanita dan sudah pasti bibirnya sudah terlatih mengeluarkan kalimat-kalimat manis yang sanggup menjerat para gadis namun, saat Letty melempar tatapan pada Monna, Letty kembali memamerkan senyum kemenangannya. Raut wajah Monna yang sarat menampakkan ketidak sengannya, rasa iri yang ujung-ujungnya membuatnya inferior lalu akhirnya gadis itu berdiri dari duduknya dengan kasar.
"Kalian menggelikkan!" cibirnya lagi sebelum akhirnya lututnya memutar dengan sempurna.
Letty terkekeh sinis saat melihat bagaimana Monna melangkah dengan menghentakkan kakinya sedikit kuat sambil dua sisi tangannya mengepal. Bahkan Letty bisa mendengar dengan jelas bagaimana batin Monna yang menggerutu dan mengumpati mereka di dalam hatinya.
"Dia pemilik The Garden Land," ucap Alex. Letty memanyunkan bibir sambil mengangkat setengah bahunya tampak tak peduli dengan asal-usul gadis tadi.
"Ohya," Alex bergeming dari pandangannya yang masih asik menikmati wajah Letty. Dia teringat sesuatu. "Apa kau punya acara akhir pekan?"
"Mmm ...." Letty mengulum bibir sambil mengerutkan kening. Dia harus mengingat betul hari-hari khusus dimana dia harus mengantarakan paket untuk di gagalkan. Terlebih, crew-nya hampir lengkap dan sedikit waktu lagi mereka harus menyerang salah satu pilar sindikat.
"Aku belum tahu, memangnya kenapa?"
Alex merengut. Pria itu merasa tak puas dengan jawaban yang baru saja di berikan Letty. Dia berharap gadis itu bisa sedikit meluangkan waktunya di malam hari sebab. Selama sebulan lebih Letty hampir tak pernah telihat di malam hari. Setiap kali dia membunyikan bel rumah, Letty tak pernah menjawab dan saat Alex bertemu dengan Letty di kampus, gadis itu selalu punya banyak alasan dan nyatanya Alex harus terus mempercayainya. Kali ini pun Alex hanya berharap Letty bersedia meluangkan waktu untuknya.
"Baiklah, aku akan meluangkan waktuku."
Jangan lupa jika Letty seorang yang peka, sangat peka karena dia bisa membaca pikiran orang lain. Dia sangat sadar jika sekarang Alex tengah kecewa padanya. Lihat saja, saat Letty mengatakan hal itu, senyum di wajah Alex langsung merekah.
"Really?" tanya Alex. Letty tersenyum sambil menganggukkan kepala.
"Apa kau bersedia ikut denganku?" lanjut Alex bertanya.
"Kemana?"
"Paris."
"Paris?!" Ulang Letty dengan sedikit menaikkan nada bicaranya. Beruntung hanya ada dua orang di ruangan ini yang tampak terlalu tegang dengan layar monitor hingga mereka mengabaikan suara yang barus saja melengking itu.
Letty menyumbat mulutnya sambil memandang sekeliling dengan wajah menyesal. Alex malah menatap Letty dengan gemas. Astaga, pria itu suka sekali melihat wajah Letty yang memerah.
"Wait ... kenapa Paris?" tanya Letty.
"Marthin menyuruhku menghadiri jewerly exhibition yang akan di selenggarakan di sana. Aku akan harus berdiri mewakili perusahaanku. Aku ingin kau menemaniku."
Letty menurunkan tatapannya. Gadis itu perlu berpikir sebelum mengambil keputusan. Dia bisa menerima ajakan ini asalkan dia harus berdiskusi dengan Chester sebab, akan berbahaya jika tiba-tiba anak buah Letty meminta untuk bertemu dalam keadaan darurat sementara Letty harus menemani Alex di Paris.
"Oke, baiklah." Letty akhirnya bersuara. Namun dalam hati, dia merasa was-was. Sebab akhir-akhir ini Black Glow sedang banyak melakukan transaksi. Terlebih, Letty harus secepat mengkin memasukkan timnya kedalam Black Glow untuk berbaur dengan para profesional itu.
"Berapa lama kita akan kesana?" tanya Letty lagi.
"Dua hari. Tenanglah ...." Alex membawa tangannya meraih kedua tangan gadis di depannya. "Kita pasti bisa ke kampus hari senin. Lagi pula jadwal kita tidak terlalu padat di hari senin."
Letty tersenyum. Dia berusaha sedapat mungkin membebaskan pikirannya dari dunia gelap malam yang terlalu banyak menyita masa mudanya. Lagi pula, ada Chester, ada Scarlett dan ada Jhony. Letty hanya perlu membuat alasan yang terdengar logis dan tidak membuat orang tua angkatnya curiga.
"Oke, oke. Kalau begitu selesaikan riset kelompok secepat mungkin. Aku tidak ingin membahas soal tugas kampus saat di Paris," ucap Letty.
Alex tersenyum kemudian dia memajukan wajahnya. Pria itu tak tahan melihat bibir merah muda yang menganggur dan menggodanya. Alex memanggut bibir gadis di depannya dengan perlahan. Keduanya tersenyum di depan bibir masing-masing.
_____________________________