44. A Mission to Know Who's the Enemies

2148 Kata
[Letty POV] __________ Kelas terakhirku berakhir dengan setumpuk tugas yang harus dikumpulkan minggu depan. Oh sial, kupikir aku akan bersantai dengan Cade malam ini. "Hey, Miss Murphy ...." Lagi-lagi pria angkuh bernama Alexander Oliver menghampiriku. Aku sedang malas beradu mulut dengannya. Tidak bisakah dia menghilang dulu hari ini? Lagi pula kenapa dia tidak berhenti menanyai aku hal tidak penting. Aku mulai muak. "Hei, tugas kelompok. Oke?" Aku berdecak kesal saat dia mengingatkan aku jika sebelum Mrs. Cophra meninggalkan ruangan, dia memberi kami tugas kelompok dan sialnya Mr. Cophra menunjuk Alex sebab pemilihan kelompok berdasarkan teman sebangku. Sebenarnya aku akan lebih senang jika Callum yang berada satu tim denganku. Sepertinya pria itu tidak akan banyak bicara. Tidak seperti pria di hadapanku ini. "Ayo kita pergi," ucapku. Aku mengambil tasku.  Dia hanya menggidikkan bahu sambil kemudian mengikutiku dari belakang. Mrs. Cophra menugaskan kami untuk meneliti sejarah berdirinya kampus ini. Sebagai mata kuliah wajib mahasiswa baru kami harus lebih mengenal kampus ini, untuk itulah kami harus menuju Science Museum untuk melakukan observasi. "Oh ya, miss Murphy boleh aku bertanya?" Lelaki ini terus saja mengoceh. Mulutnya seperti Stacy yang tidak pernah berhenti mengeluarkan kata. Ohya,  sekarang aku punya teman perempuan namanya Stacy. Kemarin kami berkenalan dan entah mengapa kami menjadi sangat cocok. Mungkin karena Stacy banyak bicara dan aku terlalu senang menanggapinya jadi akhirnya aku punya teman di kampus ini selain Callum. "Ya silahkan," jawabku pasrah. Kami berjalan menyusuri koridor kampus bersiap berbelok ke kanan menuju museum. "Apa pekerjaan orang tuamu?" tanya Alex. Dia berjalan sambil memandangi aku. Ck! Dia mulai membuatku risih dengan tatapan matanya. "Pertanyaan klase," ucapku acuh. "Oh ayolah ... kita belum mengenal satu sama lain. Beberapa kali aku mencoba mengunjungimu tapi sepertinya kau jarang berada di apartemenmu," ucapnya. Kulihat keseriusan di wajahnya yang menandakan bahwa dia sedang tidak berbohong. Dia benar. Aku jarang berada di apartemen karena seminggu belakangan ini hampir tiap malam Fredrick menyuruhku mengirimkan paket. "Ayahku seorang dokter dan ibuku dosen," ucapku. Aku sampai berpikir dulu. Tapi akhirnya aku ingat jika Jhony dan Scarlett berprofesi sebagai dokter dan dosen. "Seriously?" ucapnya heran. "Apa aku terlihat berbohong?" ucapku ketus dengan wajah masam. Dia mengulum bibir kemudian menggidikan bahu. Entah apa yang ada dalam pikirannya. "Kau tahu, kupikir ayahmu seorang pengusaha. Yah ... maksudku, kau tahu, kampus ini dipenuhi anak-anak pengusaha," "Dan sayangnya aku bukan anak pengusaha tapi pihak kampus menerimaku dengan senang hati." Aku menyela ucapannya yang terlampau angkuh. "Oh ayolah ... santai saja, aku hanya bercanda," ucapnya sambil menyikut lenganku. "Oh ya, apa kau punya rencana akhir pekan?" Dia bertanya lagi. Alex berjalan mendahului aku kemudian memutar tubuhnya sehingga kami berjalan sambil berhadapan. Aku pura-pura membuang muka, jujur saja aku tidak kuat melihat mata pria b******k ini. "Aku sibuk," jawabku ketus. "Oh ya?" tanya dia lagi. Aku melirik kecil dan kulihat dia sedang memanyunkan bibir sambil mengerutkan dahi. "Kau akan menghabiskan akhir pekanmu dimana?" Aku memutar bola mata sambil melayangkan tangan ke udara. "Oh ya Tuhan ... apa aku harus memberitahumu segala sesuatu yang akan aku lakukan?" "Tentu," ucapnya. Dia tersenyum memamerkan dua lesung pipinya. "Kalau begitu aku akan mengunjungimu di apartemenmu. Pastikan kau berada di sana." Lagi katanya kemudian dia memutar tubuhnya dan berjalan mendahuluiku. Dia menyapa setiap gadis yang kami lewati dengan senyuman genit dan kata-kata manisnya. "Cih ...." Entah mengapa tiba-tiba aku merasa kesal melihat pria ini memamerkan senyuman manisnya kepada setiap gadis. Oh, tunggu— Apa aku sedang cemburu? "Padanya?" kutunjuk punggung itu dengan tanganku. "Noway!" Aku menepuk pipiku dan berusaha melawan pikiranku sendiri. Oh ya Tuhan, aku semakin terlihat bodoh sekarang. Aku mempercepat langkahku dan melewati pria dengan level keangkuhan tertinggi di kampusku itu dengan sangat cepat. Aku tidak sabar ingin cepat sampai ke museum. **** Akhirnya kami sampai di Science museum. Aku mulai mencari tahu seluk beluk berdirinya kampus kami. Alex juga ada bersamaku. Oh, jangan lupakan dia. dia membuat waktu berjalan begitu lambat karena dia tidak pernah berhenti mengoceh. Beberapa Kali aku memarahinya karena omong kosong dan pertanyaan membosankan. "Bisakah kau mencatatkan sejarahnya sementara aku mengambil gambar?" ucapku. Aku memberinya tatapan tidak bersahabat, tapi dia hanya mengangguk seperti orang bodoh, entah apa dia mengerti atau tidak. "Bagaimana kalau setelah ini kita ke kedai kopi?" "Astaga ... Aku tidak bisa, kakakku sedang menungguku," ucapku. Tanpa sadar aku meninggikan nada bicaraku berharap itu dapat membungkam mulutnya, namun ternyata tidak. "Apa pria yang tadi itu kakakmu?" Lihatlah, dia terus saja bertanya. "Tentu saja," hardikku. Dia melihat Chester mengangantarku saat ke kampus tadi pagi dan itu membuat dia terus bertanya sepanjang pelajaran di kelas Mrs. Cophra. "Kupikir dia teman kencanmu, kalian tidak terlihat bersaudara dan sepertinya dia menatapmu dengan tatapan intim." "Berhentilah mengoceh seperti wanita dan berhentilah memusingkan urusanku. Lebih baik kau fokus pada tugas kelompok Mr. Olive," ucapku sambil mentapanya tegas. Dia terdiam dan untuk pertama kalinya aku melihat pria ini seperti kehabisan kata. Kuharap dia tidak akan berbicara setelah ini. Aku kembali mengambil gambar bersejarah di sekitarku sementara Alex, aku tidak tahu apa yang dia lakukan dan aku juga sudah tidak mau memusingkannya lagi. Terserah saja! Tiba-tiba ponselku berdering dan kulihat tertera nama dad di layar ponselku. Aku menekan tombol hijau di layar ponselku untuk menerima panggilan. "Hallo, Dad?" "Apa yang sedang kau lakukan, nak?" tanya dad. "Aku sedang mengunjungi museum untuk mengerjakan tugas kampus," jawabku. Ku gunakan earphone agar aku bisa terus mengobrol dengan dad sambil mengambil gambar. "Oh ya, aku hanya ingin memberitahumu bahwa nanti malam kau dan Chester akan ke Jepang." "APA?!" Tanpa sadar aku memekik sehingga membuat semua orang yang berada di dalam museum melirikku dengan tatapan sinis. Oh sial, buru-buru aku keluar dan mencari sudut yang kosong. "Sial," umpatku kesal. Aku melirik ke sekelilingku. Memastikan jika tidak ada orang yang bisa mendengar percakapan kami. "Halo, Letty?" panggil dad. "Ya Dad, well untuk apa kami harus ke Jepang?" ucapku sambil memasang mata awas, aku terus memperhatikan keadaan sekitar. "Dengar Letty, Chester akan menjelaskan secara rinci apa tujuan kalian, dan mengapa kalian harus ke Jepang malam ini. Intinya kau akan mengubah keputusan pimpinan mafia Jepang dan mengajaknya kembali bekerja sama denganku. Jika kau berhasil, maka kapal pesiar milikku akan menjadi milikmu sepenuhnya," tutur dad. Dia selalu mengiming-imingi aku dengan hadiah besar. Sebenarnya aku tidak butuh hadiah darinya. Aku juga ingin tahu siapa saja rekan bisnisnya dan organisasi mana yang berdiri di belakang empat pilar yang menurut Chester punya kekuatan yang sama dengan Black Glow. Jika Dad menyebut Jepang, ada kemungkinan malam ini aku akan masuk ke markas Yakuza. Chester sudah sedikit bercerita jika mereka memutuskan hubungan kerja sama dengan Black Glow setahun yang lalu. Black Glow kehilangan mitra terbaik karena ternyata selama ini Yakuza adalah pemesan terbanyak yang memesan barang haram di pabrik Black Glow. Sudah pasti penjualan barang haram di sinidikat berkurang. Aku senang, sepertinya gengster itu membuat keputusan terbaik mereka. Tapi, aku juga penasaran seperti apa Yakuza itu. Jadi, aku butuh identitas Fredrick untuk bisa kesana. Jika aku bisa membaca situasinya, mungkin aku bisa sedikit melakukan improvisasi. "Hallo Letty, apa kau masih disana?" Suara Dad menyadarkan aku dari khayalanku. "Y-ya Dad. Baiklah, sebentar lagi tugasku akan selesai aku akan segera menemui Cade. Nanti ku telepon lagi," ucapku. "Baiklah. Ingat satu hal Letty, jangan lakukan kekerasan. Gunakan instingmu dan gunakan kemampuanmu. Kau harus bisa secerdik ular," ucap dad kemudian dia langsung memutuskan sambungan teleponnya. Aku tersenyum kecut. "Secerdik ular, hah?" Baiklah ayahku tersayang, akan ku tunjukkan bagaimana seekor ular menjadi cerdik. "Akan kupastikan agar—" "Agar apa Miss Murphy?" Seseorang kembali mengagetkan aku dan membuat jantungku seperti berhenti. Aku memutar tubuhku perlahan kemudian mendapati Alex sedang menatapku dengan tatapan heran, jari telunjuk dan ibu jarinya mengelus lembut dagunya. Ku harap yang ku pikirkan tidaklah benar. "Sejak kapan kau disitu?" "Se-" Aku membunyikan jariku saat mataku menatap kedalaman matanya kemudian berhasil menguasai pikirannya. Satu hal yang mulai membuatku tertarik adalah aku semakin memahami jika aku punya kemampuan khusus. Kudapat itu saat di Miami, atau sebenarnya aku sudah memilikinya sejak lahir namun aku belum bisa menyadarinya sampai kejadian di Miami. Kali ini, untuk ketiga kalinya aku akan mencoba melakukannya pada pria di depanku. Aku mengambil semua jarak yang tersisa di antara kami sambil terus menatap matanya. Aku berada di depannya lalu kuraih wajahnya. Bayangan-bayangan terlihat buram lalu perlahan menjadi jelas. Tubuhku bergidik ngeri saat pemandangan di hadapanku menjadi sangat-sangat jelas. Kulihat seorang anak lelaki sedang berdiri dengan kedua tangannya terikat di kedua sisi. Seorang pria berdiri di depannya. Tangannya yang memegang cambuk terangkat dan mendarat tepat di tubuh anak lelaki itu. Dia tidak meronta dan tidak menyangkal. Dia menerima setiap pukulan dan cambukan itu seakan dia pantas mendapatkannya. Aku terus bergidik saat melihat anak lelaki itu menggigit bibirnya sendiri untuk menahan semua rasa sakit di tubuhnya. Oh sial, hatiku sakit melihatnya. Kemudian aku melihat seorang wanita sedang menangis di sudut lain ruangan sambil melihat ke arah anak lelaki yang tengah di cambukki itu. "Marthin, hentikan. Dia tidak bersalah Marthin. Kumohon," lirih wanita itu, namun lelaki bernama Marthin itu terus saja memukuli anak kecil itu. "Hentikan. Kumohon hentikan." Aku mengenali suara itu. Dia tengah berdiri sambil menatap nanar anak kecil yang tengah di pukuli oleh ayajo sendiri. "Hentikan dad, berhenti memukuliku!" teriaknya. Aku berbalik. Alex tepat berada di belakangku. Aku tidak mengerti. Aku tidak ingin melihat semua ini. Bukan ini tujuanku masuk kedalam pikirannya. Aku hanya ingin tahu apakah Alex sempat menguping pembicaraan antara aku dan dad. Sial, kenapa dia biarkan aku masuk terlalu jauh. Apa maksudnya semua ini? Kutarik napasku lalu kututup mataku. Aku berusaha mencari-cari dalam setiap kepingan memorinya hari ini. Lalu aku mulai melihatnya. "Dimana gadis itu?" Suaranya menggema di telingaku. Sepertinya dia mencari ku sejak aku menghilang dari sampingnya. Dia terus berjalan lalu mendapati aku tengah berdiri di luar sini. "Apa yang dia lakukan, seperti sedang cemas saja. Dasar gadis aneh!" Dia terus bergumam sambil mengambil langkah mendekati aku. "Oh, aku tidak sabar. Aku harus bisa menyusun rencana sebaik mungkin agar-" Aku lega saat tahu jika ternyata Alex tidak mendengar apa pun pembicaraanku di telepon. Sepertinya aku hanya terlalu takut dan membuatku mencurigainya. Aku mulai merasa bersalah sekarang. Kutarik napasku lagi lalu mulai berbicara di dalam pikiranku. 'Terima kasih sudah mengijinkan aku masuk. Aku akan menghapus ingatanmu akan masa lalumu. Lupakan yang kau lihat hari ini dan kembalilah ke duniamu. Kau seorang Alexander Oliver, dan teruslah jadi seperti itu. Kau akan ingat bahwa kau sedang mengerjakan tugas kelompokmu di museum bersama seorang gadis bernama Letty Murphy.' Aku mengambil langkah untuk menjahuinya kemudian membunyikan jariku sehingga Alex tersadar dari ilusi yang aku buat. Alex mengerjap. Dia tampak seperti orang linglung. Tentu saja, begitulah orang yang baru terkena delusi. Dia menatap ke sekeliling sebelum akhirnya manik matanya sampai padaku. "Miss Murphy?" panggilnya sambil mengerutkan kening. "Hentikan tatapan mesummu," ucapku dengan wajah masam yang di buat-buat. "A-apa yang terjadi. Aku tidak ingat." Alex masih terlihat bingung. Dia membawa tangannya perlahan untuk memijat dahinya. "Kau larut dengan khayalanmu. Sejak tadi kau menatapku dengan tatapan m***m. Apa kau sedang berfantasi liar sambil membayangkan aku?" godakku.  Aku sengaja melakukannya sebelum memutar lutut dan berbalik meninggalkan dia. "Oh yah, tubuhmu memang terlalu Indah untuk fantasi liarku." Aku lupa jika dia Alex-jerk-Oliver. Dia tidak akan kehabisan kata untuk menyahut ucapan orang lain. 'Dasar otak m***m. Tapi syukurlah kau percaya denganku.' Batinku. "Baiklah otak m***m. Tugas kita disini sudah selesai. Kirimkan catatan yang kau buat lewat email biar aku yang membuat laporannya. Aku masih ada urusan setelah ini. Kita bertemu besok di kampus," ucapku sambil memasukan kameraku ke dalam tas. "Apa kau bawa mobil?" tanya Alex. Aku mengangguk. "Ya. Aku bawa," ucapku. "Kau mau tanding lagi?" Aku menaikan setengah alisku penasaran. "Maksudmu?" "Yah, jika kau bisa sampai di lampu merah pertama kau boleh pulang ke apartemenmu, tapi jika kau kalah maka kau harus bersedia menemaniku malam ini. Kau setuju?" ucapnya. Dia tersenyum antusias seolah aku akan tertarik dengan ajakannya. Tapi aku tetap menggeleng. "Maaf aku tidak punya waktu," ucapku sambil memutar badanku. "Aku tahu kau pengendara yang buruk. Untuk itu kau tidak berani." "Terserah apa maumu Mr. Oliver," sahutku sambil terus melangkah. Aku tidak ingin meladeni tantangannya saat ini. Tapi jika kau tanya soal apakah aku akan setuju dengan ajakkan makan malam darinya? Well ... aku akan menyetujuinya tanpa harus beradu kecepatan di jalanan. Tapi, urusanku malam ini lebih penting dari sekedar ajakkan makan malam dari pria yang terlalu sering menggangguku. Jujur saja, aku memang punya rencana untuk mendekatinya. CEO The Redz Diamond, aku memang punya misi untuk menyusup kesana tapi, untuk saat ini aku akan memilih untuk makan malam dengan pimpinan Yakuza. "Bagaimana?" Alexander Oliver bukan pria yang gampang menyerah. Dia akan menuntut aku hingga aku mengatakan 'iya'. Aku tersenyum. Menghentikan langkahku. Kuputar tumitku menghadap Alex. Dia berseringai tepat di depan wajahku. "Bisa kau simpan tantanganmu di lain hari, Mr. Oliver?" ucapku. Alex malah terkekeh kecil lalu aku mendekatinya. Kuangkat tanganku untuk menyapu pelan dadanya. "Juga makan malam itu. Aku akan menagihnya di lain waktu," ucapku. Kuberi senyum tipis untuk mengakhiri pertemuan kami. 'Alexander Oliver, sekarang kau masuk kedalam jebakanku.' _____________ To be continue
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN