Dua orang yang mendengar pembicaraan itu adalah Ardan, dan Aya. Aya menarik lengan Ardan, untuk ke teras rumah belakang.
"Apa?" Tanya Ardan yang tidak protes ditarik Aya.
"Sudah mendengar apa keinginan Nini Asma? Tunggu apa lagi, cepat lamar salah satu dari pacarmu!" ujar Aya dengan nada mengintimidasi.
"Kak Aya tahu, kriteria yang diminta Nini beda dengan tipe wanita yang aku suka, Kak Aya!" sahut Ardan.
"Jadi kamu tidak akan menikah selamanya? Sudah tahu kalau Nini Asma suka yang seperti Ami. Kenapa tidak coba dekati Ami saja. Nini Ami juga sama seperti Nini Asma, ingin punya cicit juga," usulan Aya sangat mengejutkan Ardan.
"Ya Tuhan ... ini pernikahan, Kak Aya, bukan jual beli barang!" Keluar juga protes dari mulut Ardan.
"Heh, di kelurga Ramadhan, menikah tanpa berlandaskan cinta itu sudah biasa, tapi semua bisa damai hingga menutup mata. Ami itu gadis baik, dia ...."
"Iya ... tidak usah diberitahu aku juga tahu Ami baik. Tapi aku sudah menganggapnya seperti adikku sendiri, Kak Aya." Ardan memberikan alasan penolakannya.
"Nah itu! Kai Aska juga dulu menganggap Nini Sifa adik. Nini Sila menganggap Kai Revan keponakan. Akhirnya ... kamu tahu sendiri bagaimana, Ardan! Ayolah, membuat bahagia orang itu berpahala," bujuk Aya.
"Kak Aya, menikah itu sekali untuk seumur hidup, bukan untuk coba-coba, atau main-main."
"Percaya sama Kakakmu ini, Ardan. Kamu tidak akan menyesal menikahi Ami." Aya kembali mendesak Ardan.
"Ck, Kak Aya. Kenapa tidak Bang Aay, dan Aan saja yang diminta menikahi Ami," ucap Ardan.
"Hey, ini bukan karena Ami tidak bisa dapat suami! Aku tahu, ada beberapa pria di kampung ini yang tertarik dengan Ami. Masalah ini lebih pada keinginan Nini Asma, ninimu!" seru Aya. Matanya melotot ke arah Ardan.
Ardan tertawa.
"Memang Ami mau nikah dengan aku?"
Aya tersenyum, pancing mulai mendekati sasarannya.
"Ami itu gadis penurut, dia tidak akan menolak kalau dijodohkan. Aku juga sudah bertanya, apa ada pria yang dia cinta, dia jawab tidak ada."
Ardan menatap ke depan. Ia meragu, karena Rahmi sudah seperti adiknya sendiri. Saat kecil Rahmi seringkali ia gendong. Ia peluk, ia cium.
'Ya Tuhan, bagaimana rasa itu berubah. Berubah bukan datang dari hati, tapi dari sebuah perjodohan.'
"Berat, Kak Aya," gumam Ardan sambil melayangkan tatapan jauh ke depan. Kepala Ardan menggeleng pelan.
"Apa yang membuat itu terasa berat, Ardan. Kamu tidak dipaksa menikah dengan gadis yang tidak dikenal. Kamu tahu bagaimana Ami dari kecil. Rasa sayangmu untuk Ami, pasti bisa berubah menjadi cinta yang berbeda." Aya masih berusaha membujuk sepupunya, agar keinginan Nini Ardan, dan Nini Ami bisa terkabulkan. Aya memiliki keyakinan, rumah tangga Ardan, dan Rahmi nantinya pasti akan bahagia.
"Ardan!"
Aya, dan Ardan menatap ke asal suara. Suara Asma yang memanggil. Entah darimana Asma tahu mereka ada di teras rumah belakang.
"Ya, Nini!" sahut Ardan.
"Ammamu menelpon dari tadi tidak dijawab."
"Sebentar!"
Ardan baru teringat, ponselnya tertinggal di rumah.
Tujuannya ke sini tadi untuk menjemput nininya. Malah berujung diskusi panjang dengan Aya.
"Pikirkan saja, Ardan."
"Iya, Kak Aya. Aku pulang dulu."
Aya, dan Ardan berjalan ke rumah depan.
"Kamu ini. Disuruh menjemput Nini malah asik di belakang. Biraca apa kalian berdua ini?" Tanya Asma ingin tahu.
"Bicara, Nini," ralat Ardan.
"Ya itu. Bicara apa?"
"Urusan anak muda, Nini," sahut Ardan.
"Nikah yang dipikirkan, jangan cuma mau rame-rame saja. Itu lihat Aya, kalian seumuran, Aya sudah punya anak dua!" Asma menunjuk Aya.
"Bang Aay seumuran juga belum menikah, Nini." Ardan mendebat ucapan nininya.
"Kamu ini! Itu, Ammamu telepon, karena ada wanita dari Jakarta yang mencarimu. Ayo cepat kita pulang!" Asma turun dari teras samping yang memang agak tinggi. Ardan, dan Aya membantu Asma, dengan memegangi tangan Asma.
"Iya, Nini."
"Aku pulang dulu, Kak Aya." Ardan mencium punggung tangan Aya, Aya mencium punggung tangan Asma.
"Hati-hati, pelan-pelan saja naik motornya, Ardan," pesan Aya.
"Iya, Assalamualaikum."
"Waalaikum salam."
"Assalamualaikum, Aya."
"Waalaikum salam."
Aya menatap Ardan, dan Asma. Aya sangat berharap, Ami bisa menikah dengan Ardan. Karena Aya sedikit cemas, melihat beberapa pria yang terlihat agresif mendekati Ami. Mereka berani berkunjung ke rumah, sedang Ami terlihat sangat tidak nyaman dengan keberadaan mereka di dekatnya.
'Ya Allah, berikan jodoh yang terbaik untuk Amiku tersayang, aamiin.'
Aya masuk ke dalam rumah, tujuannya datang, selain untuk menjenguk kedua nininya, juga untuk menjemput ibu mertuanya. Itu yang dilakukan hampir setiap hari, saat ia pulang dari pabrik keripik tempatnya bekerja.
*
Ardan tiba di rumah bersama Asma.
Sebuah mobil sedan merah metallic terparkir di halaman.
"Assalamualaikum." Ardan, dan Asma memberi salam.
"Waalaikum salam." Terdengar sahutan dari dalam rumah.
"Mas Ardan!"
Wanita yang datang bangkit dari duduk, lalu menarik bahu Ardan, kemudian cipika cipiki tanpa sungkan, seakan hal itu sudah biasa dilakukan. Asma, dan Vanda saling pandang.
"Silakan duduk, Resti." Ardan menunjuk sofa, Asma, dan Vanda masuk ke dalam. Tapi mereka duduk di ruang tengah, berusaha menguping pembicaraan.
"Aku dari semalam tiba, baru datang sekarang ke sini," ucap Resti.
"Oh, sendiri ke Banjarbaru?" Tanya Ardan.
"Iya." Kepala Resti mengangguk.
"Ada acara apa?" Tanya Ardan lagi.
"Aku sengaja ingin menemui Mas Ardan."
"Menemui aku, ada apa?" Kening Ardan berkerut, ditatap wajah wanita yang dulu pernah mengisi hatinya.
Mereka saling mencinta, namun Resti meninggalkannya, karena menemukan pria yang dianggap lebih dari Ardan segalanya. Resti menikah, belum genap dua tahun, Resti bercerai, dia janda tanpa anak. Beberapa waktu ini, Resti kembali intens menghubungi Ardan, apa lagi setelah tahu, Ardan berasal bukan dari keluarga yang hanya sekedar kaya, tapi benar-benar kaya. Kekayaan yang tidak pernah diperlihatkan Ardan secara mencolok dalam gaya hidupnya.
"Aku merindukanmu, Mas."
Mendengar ucapan Resti, Ardan menundukkan wajah. Ditarik nafas, lalu diangkat wajahnya.
"Hidup kita sudah berbeda. Kamu di Jakarta, dan aku di kampung ini. Tidak ada yang bisa menyatukan kita kembali, Resti."
"Kita punya cinta, Mas."
Ardan tersenyum pahit.
"Cinta saja tidak cukup, Resti. Lagipula, rasa cintaku padamu sudah sirna."
"Aku masih melihat binar cinta itu ada di matamu untukku, Mas."
"Kamu salah, Resti. Aku tidak lagi mencintaimu."
"Kalau Mas tidak lagi mencintaiku, kenapa Mas belum menikah sampai saat ini."
Ardan terdiam. Penghianatan Resti memang menimbulkan luka membekas di dalam hatinya, karena itu ia tidak lagi mengharapkan Resti. Bahkan merasa takut untuk menjalin hubungan kembali. Ardan takut para wanita itu tidak tulus mencintainya. Takut mereka mendekat, hanya karena tahu, ia keturunan dari pemilik salah satu perusahaan tambang terbesar di Indonesi.
"Assalamualaikum," ucapan salam dari luar membuat mereka menoleh.
"Waalaikum salam, Ami!" Ardan bangkit dari duduknya.
"Mengantar ini, tadi Nini Sifa lupa memberikan ini pada Nini Asma."
Rahmi masuk ke dalam rumah. Asma, dan Vanda ke luar dari dalam.
"Ami, sini, Sayang. Perkenalkan ini teman Bang Ardan dari Jakarta. Resti, perkenalkan ini Ami. Calon istri Ardan," ucap Asma dengan nada ringan, tapi cukup bagai mendengar petir, bagi yang ada di ruangan itu. Bukan cuma Resti yang terkejut, tapi juga Rahmi, Ardan, dan Vanda.