Seperti yang sudah diduga, Rayan tak berani menampakkan batang hidungnya di hadapan Dhena. Dua hari dua malam dia bahkan mematikan handphonenya. Rayan tahu istrinya sedang sangat marah dan meminta pertanggung jawabannya.
Setelah memilik cukup alasan untuk bela diri, akhirnya Rayan berani menemui istrinya dua hari setelah kejadian terciduknya Dhena dan Rafly oleh mamanya.
Brak!
Sebuah pukulan keras mendarat pada meja makan. Beberapa benda yang ada di atasnya ikut bergoyang. Satu gelas terguling, untung saja semua isinya sudah tandas masuk dalam kerongkongan Dhena.
"Sekadar menguji? Maksudnya apa, Rayan?" bentak Dhena seraya berdiri dan berkacak pinggang. Kedua matanya geram menatap suaminya yang duduk di kursi makan. Rokok yang terselip di bibir Rayan hampir terlepas. Ia terkejut dengan reaksi spontan istrinya.
"Lebih tepatnya, menguji sejauh mana Rafly bisa menghormati kita." Rayan menjawab dan meralat ucapan Dhena dengan sangat tenang. Dia juga mematikan bara rokoknya dalam asbak.
"Oh my God! Jadi selama ini, aku dan Rafly kamu jadikan kelinci percobaan, Rayan?" Dhena mencondongkan badan dengan rona wajahnya yang memerah menahan murka.
Berbanding terbalik dengan rona wajah suaminya yang terlihat tampak tenang dan santai. Rayan bahkan menyunggingkan senyuman tipisnya.
"Terus kesetiaanku selama ini kamu pikir belum cukup, Rayan?" Dhena makin terbakar emosinya dan
Brak! Pukulan keras di meja makan kembali mendarat.
"Terus muanya kamu apa?" Lengkingan tanya Dhena menyusul kemudian.
"Yang bilang menguji kamu itu siapa? Uda hanya menguji keponakanku sendiri dan ternyata dia memang lancung ke ujian itu, Dhen." Rayan beralibi.
"Menguji Rafly sama artinya dengan mengujiku, Rayan! Bukankah dia melakukannya denganku? Dan itu atas keinginanmu kan?" Suara Dhena kian menggelegar
"Ya, dan ternyata kamu juga tergoda. Mana janjimu yang bilang akan tetap setia sampai akhir menutup mata, Dhen?" Rayan membela diri seraya melebarkan kedua tangannya dan matanya yang teduh membalas hangat tatapan istrinya yang sedang menyala.
"Dasar kamu itu suami tak tahu diri, ya!" Dhena mendelikkan biji matanya seraya menarik panjang. "Rayan! Jangankan gue atau Rafly yang hanya manusia biasa. Nabi Adam dan Siti Hawa sekalipun bisa tergoda. Padahal mereka berada surga di tempat yang kesuciannya sangat terjaga. Kamu tahu mengapa?" tanya Dhena geram.
Rayan hanya terdiam dengan senyum tipis masih tetap tersungging di bibirnya. Sama sekali tak terganggu atau terpancing oleh Dhena yang sangat ingin ribut dan kalau perlu berduel dengan dirinya.
"Itu karena setan dan iblis diberi keleluasaan untuk menggoda manusia dengan berbagai cara," lanjut Dhena sambil melangkah kasar mendekati Rayan.
"Aku dan Rafly, kamu paksa tinggal serumah berdua selama hampir satu tahun. Setingkat Nabi saja bisa tergoda, apalagi selevel aku atau Rafly!" Dhena menepuk-nepuk dadanya tepat di depan wajah suaminya.
Rayan berdiri dengan wajah yang tetap tenang dan senyum tipis yang tepat tersungging.
"Dhena, jangan teriak-teriak. Malu kalau sampai didengar tetangga," pintanya seraya memegangi tangan Dhena dengan lembut.
Dhena menarik napas panjang, mengontrol emosi dan degup jantungnya yang bergemuruh meronta-ronta.
"Sekarang aku baru sadar, mengapa sebulan terakhir Rafly selalu berpakaian seronok, terkadang hanya pakai celana dalam duduk di sofa lantai atas. Dulu mana pernah dia berbuat demikian. Memakai celana pendek saja tak berani." Dhena menurunkan intonasi suaranya.
"Rupanya kamu yang menyuruh dia untuk jadi iblis penggoda," lanjut Dhena dengan suara yang sedikit di tahan. Namun dia juga tak berusaha melepaskan kedua tangannya dari genggaman suaminya.
"No!" potong Rayan dengan suara sedikit meninggi, "Uda tidak pernah mengajarkan sikap kurang pada Rafly. Selama ini Uda selalu memintanya untuk tetap bersikap sopan dan hormat sama kamu, Dhen." Suara Rayan kembali tenang.
Sudah leboh dari lima tahun Rayan mengenal istrinya secara pribadi. Dia bahkan sudah sangat tahu dan paham bagaimana cara meredakan kemarahan sekaligus meluluhkan hati istrinya yang sedang meledak-ledak sekalipun.
"Pantas saja kamu tak datang ke acaranya Rafly. rupanya sedang menyusun strategi untuk menjebakku. Kamu dan si Rafly ternyata bersekongkol!" Dhena memajukan wajah hingga keningnya beradu.
"Yang mau menjebak siapa, Sayang? yang sekongkol siapa? semua terjadi diluar kehendak kita kan? Tak terduga dan Uda pun sangat terkejut saat ditelepon Uni Rosdiah perihal insiden itu."
"Terus kenapa kamu tidak datang saat kejadian itu? dan setelah semuanya terjadi kamu menyalahkan aku dan Rafly." Dhena makin menekankan keningnya hingga kepala Rayan sedikit terdorong.
"Dhen, Uda gak menyalahkan. Hanya menyesalkan mengapa insiden memalukan itu harus terjadi saat ada Uni di rumah. Bukankah kalian memiliki banyak waktu. Mengapa harus malam itu kalian bermesraan? Mengapa kalian tak menyadari adanya risiko dan bahaya yang mengintai?"
"Karena Rafly yang memaksa dan itu sesuai dengan rancanganmu, Rayan. Rafly pun menyampaikan pada mama dia lakukan semua atas perintah dan izinmu!"
"Tidak malam itu, Dhen."
"Alah! Bukankah sudah terbukti, setelah insiden itu kamu menghilang!"
"Bukan menghilang, Dhen."
"Apa? kabur? Lepas tanggung jawab? Jadi itu cara bertanggung jawab suami yang menyuruh istrinya selingkuh? Mana jaminan keamanannya yang pernah kamu janjikan, Rayan?"
"Dhen, Uda sengaja menghindar untuk meredam kemarahan semua orang. Uda tak tahu bagaimana jadinya jika malam itu kita semua bertemu. Pasti akan terjadi keributan yang sangat besar hingga akhirnya semua tetangga mendengar."
"Apa urusannya dengan tetangga?"
"Dhen, mereka akan bertanya-tanya ada apa antar kamu dan Rafly. Uda bukan tak tanggung jawab, tapi untuk menyelamatkan muka kalian. Cukup kita berempat saja yang terlanjur tahu. Uda jamin tak akan ada yang tahu selain kita." Rayan menarik tubuh Dhena dalam pelukannya.
"Kamu tega, Yan. Memojokkan aku dalam situasi yang serba salah. Apa salah aku sama kamu? hiks hiks hiks." Dhena melanjutkan tangisnya dalam pelukan Rayan.
"Apa yang kamu inginkan pasti aku turuti, hiks hiks hiks tapi apa ba... ba..balasanmu? Kenapa gak bunuh aja aku sekalian, Yan. Hiks hiks hiks."
Senjata andalan para wanita pun seketika pecah. Dhena menangis pilu dalam pelukan suami yang paling dicintainya namun tega melukai hatinya.
"Sabar, Sayang." Rayan mengelus punggung istrinya. "Semua bisa kita bicarakan. Uda tak pernah menyalahkan kamu. Cinta dan sayang Uda sama kamu tak akan pernah berubah dan tak mungkin ada batasnya."
"Aku capek Rayan! Aku sudah gak kuat lagi sama kamu." Dhena mengangkat wajah menatap mata Rayan dengan sanga lekat. "Aku minta cerai, Rayan!" lanjutnya dengan suara lemah.
"Cerai bukan perkara gampang, Sayang. Coba kamu pikirkan, alasan apa yang harus suamimu ini sampaikan pada Papa dan Mama? Perceraian harus jelas sebabnya dan bisa diterima oleh semua pihak." Rayan terus memeluk istrinya dan mengelus rambut hitamnya dengan penuh kasih sayang.
"Kita sudah tidak cocok, Rayan." Dhena kembali mengangkat wajahnya.
"Ketidakcocokan bisa bicarakan untuk mendapat jalan keluarnya. Tapi, apakah suamimu ini harus mengatakan kalau kita bercerai karena kamu selingkuh dengan keponakanku sendiri? lalu apa nanti kata mereka?" balas Rayan panjang lebar namun sangat lembut mengandung doktrinasi hitam yang sedikit intimidasi mental istrinya.
Beberapa saat mereka saling berpelukan. Seperti yang biasa terjadi, Dhena menumpahkan segala kekesalan dan air matanya dalam pelukan Rayan.
"Terus sekarang kamu maunya apa, Yan? Aku harus bagaimana?" tanya Dhena setelah sesak di dadanya mulai berkurang.
"Tata ulang kembali rumah tangga kita. Jadikan semua sebagai pelajaran. Begitulah rumah tangga, riak dan gelombang akan selalu datang menghadang. Jangankan kita yang baru lima tahun, mereka yang sudah puluhan tahun pun masih akan menemui segala masalahnya." Rayan menciumi kening dan pipi istrinya. Dia pun membasuh air mata yang membasahi wajah wanita yang sangat dicintainya.
"Uda sangat cinta dan sayang sama Dhena. Dan uda berjanji mulai hari ini akan memperbaiki segala kesalahan dan kekurangan Uda. kita sama-sama memperbaiki. Dhena juga jangan terlalu dekat dengan murid-murid lelakimu."
"Yan, apakah kamu sanggup berbuat adil?"
"Akan Uda usahakan dan memang itu sedang uda jalani. Mulai malam ini, Uda akan menemanimu setiap tiga hari sekali. Kamu setuju?" Rayan memegangi kedua pipi Dhena dan menciuminya dengan mesra.
Dhena terdiam beberapa saat. Rayan telah berhasil memadamkan segala amarah dan kebencian dalam diri Dhena.
"Uda berjanji akan tetap menerimamu apa adanya. Walau belum bisa memberikan keturunan, Uda ikhlas, rela. Jangan sampai tergoda oleh lelaki lain. Percayalah, mereka hanya akan mepermainkanmu. Belum tentu mereka mampu memberikan kepuasan dan cinta yang sebesar Uda." Rayan tersenyum dan istrinya pun membalas dengan mesra.
Cinta memang selalu susah dimengerti. Berjuta insan menangis dan meratap bahkan mati karenanya, namun berjuta pula orang yang terus mengejar, mendamba dan bertahan hidup karena cinta.
Cinta datang dengan membawa sejuta keindahan. Dia pun terkadang menorehkan sejuta luka namun selalu akan membawa penawarnya.
Cinta Dhena untuk Rayan tak pernah berubah. Konflik dan perselisihan yang terjadi selalu dapat mereka atasi dengan cinta. Semua marah dan salah paham akan segera sirna ketika keduanya sudah bersama-sama mengayuh sampan biduk asmara membara, mengarungi lautan kenikmatan surga dunia.
Dhena teramat menikmatinya dan hanya dengan Rayan dia sanggup melakukan itu. Sayang seribu sayang, sang suami tampaknya tidak sejalan dengan yang dipikirkan istrinya. Dia hanya pandai merayu dan berjanji namun tak cakap menepatinya.
Tak sedikit yang mengatakan jika Dhena sudah terkena guna-guna suami dan madunya.
^^^