Tristan yang baru pulih dari keterkejutannya melihat ke arah Caramella. Kekhawatiran di mata pria itu yang disertai dengan kemesraan pada wajahnya menanyakan keadaannya.
"Apa kamu baik-baik saja?" Pria itu meraih tangan Caramella dan menutupinya dengan tangannya sendiri dan mengelus-elusnya.
Caramella mengangguk tanpa mengalihkan perhatiannya pada wanita yang ada di depan mobil. Ia keluar dari mobil dan mendekati wanita itu. Untung saat itu jalanan disekitar gedung apartemen sedang sepi. Tristan cepat-cepat memarkirkan mobilnya di pinggir jalan.
Sementara itu Caramela membawa wanita itu ke pinggir jalan juga. Sepertinya keduanya masih terkejut apa yang baru saja terjadi. Ia langsung memeluk wanita itu dan matanya berkaca-kaca menahan air matanya keluar.
"Ibu,"panggilnya.
Wanita yang dipanggil sebagai ibunya itu menangis bahagia dan langsung memeluk Caramella. Selama beberapa saat mereka saling berpelukan. Tristan yang baru saja memarkirkan mobilnya, berjalan mendekati mereka.
Wanita itu melepaskan pelukannya dan menangkup wajah Caramella, menatapnya sampai puas. Caramella kembali meneteskan air matanya dan ia bisa merasakan lagi kehangatan dan kenyamanan tangan ibunya. Rasa nyaman yang sudah lama tak dirasakannya lagi.
"Ibu sangat merindukanmu."
"Aku juga."
Caramella meraih tangan ibunya dan menciumnya. Suara dehaman menyadarkan mereka. Tristan telah berdiri di sampingnya.
"Oh iya ini Tristan, temanku dan Tristan, ini Ibuku, Susan Abbot."
Selama sejenak ibunya terpesona pada ketampanan teman pria putrinya dan hampir tak berkedip. Caramella mendesah pasrah, ibunya pun terpesona pada Tristan. Pria itu tersenyum dan meraih tangan ibunya, dikecupnya.
"Senang berjumpa dengan Anda, Mrs. Abbott. Sebenarnya aku bukan teman putri Anda, tapi calon suaminya."
Susan sangat terkejut dan Caramella melotot pada Tristan.
"Ca-calon suami?"
"Benar."
"Bukan. Dia hanya mengaku-ngaku saja. Sebenarnya dia juga adalah salah satu klienku."
"Tapi aku akan segera menjadi suaminya."
Susan nampak bingung dan memandang mereka secara bergantian. Ia tidak tahu mana yang berkata benar.
"Sebaiknya kita bicara di dalam saja,"saran Caramella.
"Aku akan membawa kopermu ke apartemenmu."
"Baiklah. Terima kasih."
Caramella mendorong ibunya masuk ke gedung apartemen dan membuka pintu kaca. Ia menekan tombol lift. Tak lama suara dentingan lift terdengar dan pintu lift terbuka. Susan masuk duluan ke lift.
"Kenapa kamu tidak cerita pada Ibu kalau kamu sudah punya calon suami?"tanyanya.
"Tristan bukan calon suamiku."
"Tapi dia bilang...."
Kata-kata Susan terpotong, karena pintu lift terbuka dan mereka keluar dari lift.
"Jangan dengarkan dia! Tristan orangnya agak aneh, jadi jangan pedulikan kata-katanya. Saat ini aku sedang mengurus perceraiannya dengan istrinya."
"Jadi dia pria beristri?"
"Saat ini iya."
Caramella mengeluarkan kunci apartemen dari dalam tas jinjingnya dan membuka pintu apartemennya. "Silahkan masuk!"
"Apartemenmu sangat bagus."
"Terima kasih."
"Duduklah di mana pun yang Ibu suka. Aku akan mandi dan berganti pakaian dulu."
Ibunya mengangguk dan duduk di sofa. Suara bel pintu berbunyi nyaring agak mengejutkan Susan. Ia berdiri dan membuka pintu. Tristan sudah berdiri di depan pintu dengan senyuman menawannya.
"Halo Mrs. Abbot, aku membawakan koper dan tas Caramella."
"I-ya. Masuklah!"
"Di manakah aku harus menyimpannya?"
"Ah di situ saja." Susan menunjuk depan pintu kamar Caramella.
"Apa Caramella sedang berada di kamarnya?"
"Iya. Dia sedang mandi.
Tristan mengangguk mengerti. "Oh baiklah. Aku pergi dulu."
Susan yang sejak dari tadi selalu menatap Tristan, memperhatikan pria itu keluar dari apartemen putrinya. Pintu menutup di belakang pria itu. Ia kembali duduk di sofa.
Lima belas menit kemudian, Caramella keluar kamar dan melihat kopernya sudah berada di depan kamarnya.
"Apa Tristan tadi ke sini?"
"Iya dan dia menanyakanmu."
"Apa yang Ibu katakan kepadanya?"
"Kalau kamu sedang ada di kamar dan mandi."
Caramella menuju dapur dan membuat minuman untuknya dan ibunya.
"Siapa sebenarnya pria itu? Dia pria yang sangat tampan."
"Dia memang tampan sampai-sampai Ibu terpesona kepadanya."
Susan tersipu malu.
"Tidak apa-apa jika Ibu merasa terpesona kepadanya."
"Bagaimana denganmu? Apa kamu jatuh cinta kepadanya?"
"Ibu ini bicara apa? Aku tidak jatuh cinta kepadanya. Dia hanya seorang klien dan dia tinggal di sebelahku."
Susan kembali terkejut. "Yang benar?"
"Iya. Aku juga terkejut kalau dia adalah tetanggaku. Dia baru saja pindah ke sini sejak pisah dari istrinya."
"Kenapa dia pisah?"tanya Susan penasaran.
"Dia tidak mencintai istrinya. Mereka menikah karena dijodohkan."
"Tapi sepertinya pria itu menyukaimu."
"Itu benar. Itu sebabnya dia mengaku-ngaku sebagai calon suamiku."
Caramella menuangkan capuccino ke cangkir dan satunya diberikan kepada ibunya.
"Apa Ibu mau ditambah es?"
"Tidak."
Mereka berdua kembali duduk di sofa.
"Jadi kenapa Ibu bisa ada di sini?"
Susan terdiam setelah meminum cappuccinonya dan meletakkannya di atas meja.
"Sebenarnya Ibu sudah ada di sini selama tiga hari."
"Eehh,"seru Caramella terkejut.
"Tapi kamu tidak ada sepertinya kamu sedang pergi jauh." Susan melihat ke arah koper putrinya.
"Aku baru saja pulang berlibur dari Cartagena selama satu Minggu."
"Jadi begitu."
"Kenapa Ibu sebelumnya tidak meneleponku kalau Ibu akan datang ke sini?"
"Itu masalahnya. Ponsel Ibu rusak dan Ibu lupa nomor teleponmu. Ibu lupa tidak menyimpannya di buku telepon."
"Jadi selama di sini, Ibu tinggal di mana?"
"Kebetulan Ibu memiliki seorang teman di sini, jadi aku menginap di apartemennya. Syukurlah akhirnya kamu pulang juga."
"Aku sangat terkejut tadi hampir saja Tristan menabrak Ibu."
"Itu salahku, karena Ibu melamun. Aku sedang menuju apartemenmu berharap kamu sudah pulang."
"Sekarang katakan apa Ibu sedang ada masalah sehingga jauh-jauh datang ke sini?"
"Tidak ada masalah apa-apa. Ibu hanya mengkhawatirkanmu."
Caramella menatap heran ibunya dan dahinya mengernyit.
"Kenapa?"
"Beberapa hari yang lalu Ibu baru saja mendapat berita yang membuatku khawatir padamu."
"Berita apa?"
Susan menatap cemas putrinya. "Apa kamu ingat dengan Mr. Langford?"
Kenangan masa lalunya yang suram memenuhi kepalanya bagaikan film yang diputar kembali. Kenangan masa lalu yang ingin ia lupakan untuk selamanya.
"Ingat. Aku tidak mungkin bisa melupakan pria itu. Pria yang hampir merusak masa kecilku dan masa depanku. Ada apa dengannya?"
Susan menelan ludahnya dengan susah payah, lalu berkata,"Mr. Langford melarikan diri dari penjara Meadow."
Caramella tercekat karena terkejut. "Apaaa?!"
"Telah terjadi kerusuhan besar-besaran di sana dan beberapa napi ada yang kabur. Ada yang sudah tertangkap ada juga yang belum termasuk Mr. Langford."
"Seharusnya dia tidak boleh keluar dari penjara itu."
"Ibu tahu. Itu sebabnya aku sangat mengkhawatirkanmu. Takut jika pria itu akan mendatangimu untuk menyakitimu kembali. Pria itu sangat terobsesi padamu."
Caramella mengerti kecemasan ibunya itu. Sebenarnya ia juga cemas dan takut, jika pria itu datang menemuinya.
"Aku rasa pria itu tidak akan bisa menemukanku. Kejadian itu sudah terjadi 24 tahun yang lalu dan pria itu tidak akan mengenali wajahku lagi."
"Kamu benar."
"Selain itu pria itu tidak tahu di mana kita tinggal sekarang."
"Semoga saja."
"Ibu jangan khawatir. Aku akan baik-baik saja."
Susan menganggukkan kepalanya, tapi hatinya tetap resah. Ia tidak akan tenang sebelum pria itu ditangkap lagi.
"Sebaiknya sekarang Ibu istirahat saja di kamar."
Susan mengangguk dan pergi ke kamar tamu yang ditunjukkan oleh Caramella. Ia kembali menyeruput cappuccino yang belum habis diminumnya sambil melamun. Ingatannya kembali melayang ke saat ia berumur tujuh tahun sebelum orang tuanya bercerai. Mengingat hal itu, Caramella merasa bibirnya melengkung membentuk senyuman pahit.
Mr. Langford guru geografinya sewaktu ia masih duduk di sekolah dasar. Pria itu guru baru di sekolahnya. Para murid sangat menyukainya, karena pria itu dikenal sebagai guru yang sangat baik dan ramah. Tidak membutuhkan waktu lama pria itu disukai oleh banyak murid dan guru-guru lainnya. Ia juga termasuk salah satu murid yang menyukai gurunya itu. Pria itu sudah menjadi guru favoritnya.
Caramella begitu percaya pada gurunya, karena pria itu selalu baik terhadapnya. Ia dan teman-temannya sering diundang oleh Mr. Langford ke rumahnya hanya sekedar untuk bermain, tapi pada suatu hari teman-temannya yang lain tidak bisa datang, karena kesibukan masing-masing hanya Caramellalah yang datang sendirian untuk pesta acara minum teh.
Awalnya Caramella juga tidak akan datang, tapi ia kasihan pada pria itu sudah mempersiapkan semuanya, tapi tidak ada tamu yang datang. Akhirnya Caramella pergi ke rumah pria itu. Rumah Mr. Langford sangat sepi dan membuatnya agak takut. Pria itu menyambut kedatangannya dan mempersilahkan masuk. Banyak makanan di sana. Caramella tertegun melihat begitu banyak makanan mungkin tidak akan habis dimakan untuk berdua saja.
"Maaf Mr. Langford, teman-teman yang lain tidak datang."
"Tidak apa-apa asal ada kamu saja yang datang itu sudah cukup,"ujarnya sambil tersenyum yang membuat Caramella sedikit takut dengan senyuman seringai gurunya itu, tapi ia berusaha untuk tidak menghiraukannya.
Saat itu Caramella tidak mencurigai apa pun dan pada saat ia izin untuk pulang itulah ia di culik dan disekap di ruang bawah tanah selama berhari-hari. Tangannya diikat dan mulutnya disumpal. Pada saat ia memiliki kesempatan, ia melarikan diri. Pria itu ditangkap dan terungkap pernah menculik beberapa anak dan membunuh mereka. Caramella kecil sangat ketakutan mendengar hal itu. Ia bersyukur masih bisa selamat, tapi kejadian itu membekas di hatinya dan terkadang ia mimpi buruk tentang penculikannya. Ia menunduk menatap karpet bermotif sambil menarik napas dalam-dalam.
Caramella beranjak dari sofa menuju dapur dan mencuci gelasnya. Ia memutuskan untuk beristirahat di kamarnya. Tiba-tiba bel pintu berbunyi lagi. Ia segera berjalan menuju pintu dan mendapati Tristan di sana sedang berdiri sambil tersenyum. Pria itu sudah berganti pakaian dan nampak lebih segar. Caramella tergoda ingin bertanya dengan sinis, tetapi ia menggigit lidahnya sendiri untuk menahan kata-kata sinisnya.
"Apa yang kamu lakukan di sini?"
Tristan tersenyum dengan begitu hangat sehingga Caramella merasa hatinya lumer.
"Aku ingin mengunjungimu. Boleh aku masuk?"
"Masuklah!"
"Apa aku menganggumu?"
"Iya. Tadi aku baru saja akan tidur."
"Kalau begitu aku tidak akan lama-lama di sini. Aku hanya ingin memberikan sesuatu padamu."
"Baiklah. Apa yang akan kamu berikan?"
Tristan memasukkan salah satu tangannya di saku celana, lalu mengeluarkan sebuah amplop kecil dan memberikannya pada Caramella.
"Itu adalah undangan pesta ulang tahun Ailana. Aku harap kamu mau datang."
"Terima kasih."
Tristan beranjak dari sofa. "Sebaiknya aku pergi supaya kamu bisa tidur, tadinya aku ingin tinggal di sini lebih lama. Di mana Ibumu?"
"Ada di kamarnya."
"Baiklah. Aku pergi. Nanti aku akan sangat merindukanmu."
"Kamu bisa datang ke sini setiap saat kalau kamu merindukanku."
Sensasi yang hangat dan nenyenangkan memenuhi hati Tristan mendengar ucapan itu.
"Tapi kita hanya bisa bertemu di pagi hari saat pergi bekerja saja dan malam hari itu pun kalau kamu tidak tidur, jadi apa kamu mau tinggal di apartemenku?"
Mulut Caramella ternganga dan membalas tatapan pria itu, seakan-akan mencari jawaban bagai sebuah pertanyaan penting.
"Apa?! Kau sudah gila."
Tristan tersenyum lebar. Ia meraih tangan Caramella. Setiap detik yang dihabiskannya bersama Caramella pada saat liburan membuatnya semakin ingin tinggal bersama wanita itu dan tidak akan pernah meninggalkan sisinya. Ia ingin bersama Caramella selama sisa hidupnya. Tristan membalikan tangannya dan dengan punggung tangannya membelai pipi, ke lekukan bahu dan setelah itu menggelincir ke lengan Caramella.
"Kita menikah saja." Tatapan Tristan terpaku pada wanita itu dan pelan-pelan menyapu wajahnya. Nada suaranya lembut dan membujuk.
Cara Tristan memandang dan suaranya yang agak serak itu menyebabkan bagian bawah perut Caramella berdesir.
"Tidak ada pernikahan."
Caramella menatap pria itu dengan kesal dan bersedekap dengan sikap tidak senang. Ia sudah bosan mendengar kata pernikahan. Tristan menangkup dagu wanita itu dengan jari, mengangkat wajah Caramella dan memegangnya sampai tidak dapat bergerak. "Pernikahan itu akan terjadi dan akan kupastikan kamu mau menikah denganku."
Caramella menatap mata Tristan yang tenang dan menenangkan itu, kemudian pria itu berjalan menuju pintu dan berhenti. Ia berbalik dan memberikan ciiuman panas di bibir Caramella yang tentu saja membuat wanita itu tersentak kaget. Senyuman mengembang di wajah Tristan. Ia mencintai Caramella dengan segenap jiwanya.
"Sampai jumpa lagi, Sayangku!"
Caramella menutup pintu di depan wajah Tristan dengan kesal.
***
Caramella terbangun keesokan paginya, bahkan ia terkejut sudah tidur begitu lama. Ia mencari keberadaan ibunya. Susan sedang memasak di dapur sambil bersenandung. Caramella tersenyum dan perasaannya menjadi hangat bisa melihat ibunya lagi di dapur memasak makanan untuknya. Rasanya sudah lama sekali ia tidak memakan masakan ibunya.
"Pagi!"
Susan menoleh ke belakang. "Kamu sudah bangun?"
"Iya."
Caramella duduk di kursi meja makan.
"Kemarin aku ketiduran."
"Tidak apa-apa. Ibu juga tidak berani membangunkanmu."
Susan memberikan piring berisi orak-arik telur, sosis, dan bacon.
"Terima kasih."
Caramella makan sangat lahap. Kemarin ia telah melewatkan makan malamnya. Setelah selesai, ia pergi ke kamarnya dan berganti pakaian. Susan sedang membereskan meja makan, ketika Caramella keluar kamar sudah berpakaian sangat rapih dan telah mengenakan mantel merahnya.
"Kamu akan pergi bekerja sekarang?"
"Iya. Apa tidak apa-apa aku meninggalkan Ibu sendirian di sini?"
"Tentu saja tidak apa-apa."
"Aku pergi dulu."
Caramella mencium pipi ibunya. Di luar, ia tidak melihat Tristan. Tidak ada tanda-tanda pria itu di apartemennya.
"Apa dia sudah pergi?"gumamnya. "Ah kenapa juga aku harus memikirkan pria itu?"
Ia cepat-cepat berjalan menuju pintu lift. Di luar gedung apartemen, Caramella menabrak seorang pria tua dan ia berkali-kali meminta maaf, lalu ia pergi dengan terburu-buru. Pria tua itu tersenyum melihat kepergian Caramella.
"Akhirnya aku menemukanmu,"gumam pria tua itu.