"Ayah,"panggil Ailana sambil berlari ke arahnya.
Mereka saling berpelukan dan gadis itu mencium pipi ayah asuhnya. Tristan memandangi putrinya yang sudah semakin dewasa. Penampilannya pun sudah mulai berubah dari gaya rambut dan cara berpakaian.
"Kamu mengecat rambutmu?"
"Iya. Apa Ayah suka dengan warna biru silver ini?"
"Iya. Terlihat sangat bagus."
"Aku merindukanmu."
"Ayah juga."
"Sepertinya putri Ayah sudah terlihat dewasa."
"Masa aku jadi anak kecil terus."
"Hanya saja Ayah tidak ingin kamu tumbuh dewasa."
"Ayah ini. Seharusnya Ayah punya bayi lagi."
"Nanti kalau Ayah sudah menikah lagi."
Ailana melihat Finn yang sejak dari tadi berdiri di belakang ayahnya. Ia tersenyum senang melihat sekretaris favorit ayahnya. Dari sekian banyak sekretaris yang pernah bekerja pada ayahnya hanya Finnlah yang ia sukai. Sebelumnya ia tidak menyukainya, karena para sekretaris itu selalu mencari-cari perhatian dan sering bersikap genit di depan ayahnya, meskipun tidak semua sekretaris seperti itu, tapi ayahnya selalu bersikap tidak peduli dengan mereka. Tidak ada yang bertahan lama, karena ayahnya Tristan, yaitu kakeknya memecat para sekretaris itu, karena terus menggoda ayahnya. Akhirnya dipilihlah Finn.
"Hai Finn, apa kabar?"
"Baik. Miss Ailana."
"Aku senang bisa bertemu denganmu lagi."
"Aku juga."
Finn seorang pria yang tinggi dan tampan. Tingginya hampir sama dengan Tristan dan memiliki rambut ikal. Mata abu-abunya mata terindah yang pernah ada. Mimik wajah selalu terlihat serius, tapi sebenarnya Finn tidak seserius itu. Pria itu suka bercanda dan memiliki sisi humoris.
"Sebaiknya kita pergi ke ruang administrasi,"kata Tristan.
Mereka masuk ke dalam gedung sekolah dan di dalam ternyata ramai sekali oleh calon-calon siswa siswi yang akan mendaftar. Ailana berjalan di sisi ayahnya dan Finn mengekor di belakang. Ia merasa risih ketika beberapa siswi dan orang tuanya memandang ke arah mereka. Awalnya ia tidak mengerti kenapa ia dan ayahnya menjadi pusat perhatian saat itu.
Tatapan mereka mengikuti setiap langkah Ailana dan Tristan, bahkan mata mereka sampai tidak berkedip. Ailana pun menyadari itu semua, karena ayahnya yang berpenampilan mencolok dengan stelan jas mahal ditambah lagi dengan wajah tampan ayahnya. Ailana mulai mendengar bisik-bisik dan ia yakin mereka sedang membicarakan ayahnya.
Tristan tampaknya tidak peduli dengan tatapan dan bisik-bisik itu. Ia bersikap santai dan tidak menghiraukan di sekelilingnya.
"Ayah sepertinya kita diperhatikan oleh mereka,"bisik Ailana.
"Ayah tahu. Biarkan saja."
Setibanya di ruang administrasi, Tristan segera mendaftarkan Ailana dan mengurus semua pembayarannya. Setelah semuanya selesai, Tristan dan Finn kembali ke kantor, sedangkan Ailana tetap berada di sekolah itu.
"Kamu tidak apa-apa tinggal di sini sendirian?"
"Ayah, aku bukan anak kecil lagi."
"Jangan bicara dengan orang yang tak dikenal apa lagi mengajakmu pergi."
"Sebaiknya Ayah segera pergi. Aku akan baik-baik saja di sini."
Tristan memgecup pipi putrinya sebelum pergi.
"Ayo Finn! Masih ada banyak pekerjaan yang harus kita selesaikan."
"Sampai jumpa lagi Miss Ailana!"
Finn cepat-cepat menyusul Tristan yang sudah berjalan menuju pintu keluar.
***
Kristin telah tiba di apartemennya yang cukup mewah dan langsung melemparkan dirinya di sofa yang empuk dan memiliki kain yang lembut. Ia membuka tasnya dan mengambil cek yang diberikan oleh Caramella. Selama sejenak ia memandangi cek itu sambil tersenyum. Dengan cek itu, ia bisa hidup senang selama beberapa bulan ke depan, karena penghasilannya selama menjadi penari telanjang di sebuah kelab malam dan menemani para tamu p****************g tidak bisa menutupi kebutuhan hidupnya sehari-hari dan memenuhi gaya hidup mewahnya.
Ia membuka tas plastik yang berisi pakaian yang ia kenakan pada saat menemui Caramella. Pakaian sederhana dan tidak menarik untuk memberikan kesan kepada putri tirinya bahwa ia adalah ibu tiri yang berpenampilan sederhana dan pura-pura menderita, karena perilaku ayahnya. Ia senang berhasil memperdaya putri tirinya itu.
"Kasian Caramella sudah tertipu,"gumamnya, lalu Kristin tertawa keras. Ia berencana akan bersikap sebagai seorang ibu tiri yang baik, lemah, dan butuh pertolongan dengan begitu ia akan mendapatkan simpati darinya.
Sejak Kristin mulai bermasalah dengan kehidupan rumah tangganya dengan Derick yang sering bertengkar, mabuk-mabukan, dan selalu memukulnya saat pria itu mabuk, ia mulai membenci pria itu dan memutuskan untuk pergi dari kehidupannya. Ia juga jadi membenci putri suaminya yang memiliki kehidupan sempurna yang selama ini ia inginkan, sukses dan memiliki banyak uang. Ia merasa kesal, karena takdir seolah mempermainkan hidupnya dan ia iri pada nasib baik yang dimiliki oleh Caramella. Kristin berencana akan memanfaatkan kebaikan Caramella untuk bisa menikmati kehidupan yang lebih baik.
Suara bel pintu apartemen berbunyi. Ia berdiri dan cepat-cepat menuju pintu dan melihat siapa yang datang dari lubang di pintu. Seorang pria sedang menunggu di depan pintu. Ia terkejut, takut, dan panik mengetahui siapa yang datang.
"Kristin buka pintunya. Aku tahu kamu ada di dalam. Aku beri waktu lima menit, kalau tidak aku akan menndobrak pintu ini.'
"Kenapa dia datang ke sini? Aduh bagaimana ini."
Kristin mengigit kuku jarinya yang sudah merupakan kebiasaannya tiap kali ia merasa panik, gelisah, dan ketakutan. Dengan enggan ia membuka pintu.
"Mau apa kamu datang ke sini, Robie?"
"Lama sekali kamu membuka pintunya."
"Aku tadi sedang berada di toilet." Kristin berbohong. "Jadi ada apa kamu datang?"tanyanya sekali lagi.
"Aku ingin menagih janjimu."
"Janji apa?"
"Kami jangan pura-pura lupa. Baiklah aku akan katakan padamu janji apa itu. Kamu janji akan menikah denganku, jika aku sudah berhasil mendapatkan gelang Cleopatra."
"Kamu sudah mendapatkannya?"
"Iya."
Kristin terkejut dan tidak percaya. Ia berharap pria itu tidak pernah menemukan gelang itu, karena gelang itu tidak mungkin ada. Itu sebabnya ia mengajukan persyaratan sulit itu agar pria itu tidak menikahinya. Robie adalah salah satu pelanggaannya di klub malam. Beberapa kali mereka berkencan dan pria itu melamarnya. Ia tentu saja tidak mau menikah dengannya, karena ia kencan dengannya hanya untuk bersenang-senang saja dan menikmati uangnya. Kristin sudah menolak lamarannya, tapi pria itu memaksa dan mengancamnya, jika ia tidak mau menikah dengannya, Robie akan memasukkannya ke penjara, karena pria itu menangkap basah Kristin sedang mencuri uang salah satu tamu klub malam. Akhirnya ia mau menikahi Robie dan memberikan syarat yang sulit kepadanya.
Pria itu memberikan gelang emas berukuran cukup besar pada Kristin.
"Itu gelangnya dan aku sudah susah payah mendapatkannya."
Kristin meneliti gelang itu. Ia masih saja tidak percaya gelang Cleopatra itu asli.
"Dari mana kamu mendapatkannya?"
"Aku mendapatkannya Di Mesir. Di toko barang-barang antik."
Kristin tertawa dengan keras, lalu berkata,"Bagaimana mungkin gelang ini di jual toko barang-barang antik? Mungkin gelang ini palsu."
"Itu asli."
"Aku tidak percaya."
Robie mulai nampak geram. "Aku sudah susah payah mencarinya dan butuh berminggu-minggu untuk bisa mendapatkan ini dan aku harus mengeluarkan uang banyak hanya untuk membeli gelang ini. Aku tidak peduli gelang Cleopatra ini asli atau palsu yang penting aku sudah mendapatkannya. Lagi pula kamu tidak memberitahuku gelang itu harus asli, bukan?"
Kristin terdiam. Ia bingung mencari cara untuk menolak menikah dengannya dan mencari alasan lain yang tepat dan akhirnya ia mendapatkannya.
"Jadi kamu harus menepati janjimu."
"Aku tidak bisa menikah denganmu sekarang. Aku masih belum bercerai secara resmi dengan suamiku."
"Aku akan menunggu kalian bercerai."
Kristin kesal ternyata Robie tidak mau menyerah juga.
"Aku tidak tahu di mana suamiku sekarang, jadi ada kemungkinan perceraian kami akan tertunda lama."
"Itu tidak masalah bagiku. Aku akan tetap menunggumu."
"Tapi aku tidak tahu kapan aku resmi bercerai dengan suamiku."
"Jika kamu mencoba menghindari menikah denganku hanya gara-gara alasan perceraian yang tertunda lama, kamu salah besar. Kamu tidak akan bisa lari dariku. Apa yang aku inginkan pasti akan kudapatkan. Kamu adalah milikku Kristin. Ingat itu."
Robie bersiap akan meninggalkan apartemen dan akan membuka pintu, tapi ia berbalik lagi.
"Jangan coba-coba menghindariku lagi! Aku akan menghubungimu lagi untuk berkencan."
Robie membuka pintu dan pergi. Kristin menghembuskan napas lega. Ia sangat kesal pada pria itu. Sekarang ia sudah tidak tahu lagi bagaimana cara menyingkirkan pria itu dari hidupnya.
***
Tristan sedang berada ditempat pembuatan berlian dan melihat berlian-berlian yang akan dipamerkan di perusahaannya pada tamu-tamu yang sudah diundangnya yang sudah menjadi pelaanggannya. Ia cukup puas dengan perhiasan-perhiasan berlian yang sudah jadi dan memiliki kualitas yang sangat bagus, karena ia tidak ingin mengecewakan para pelaanggannya.
Ada satu cincin berlian yang cukup menarik perhatiannya. Cincin itu sederhana, tapi cantik. Ia memandangi cincin lebih lama.
"Sepertinya Anda menyukai cincin itu,"kata Finn.
"Iya. Aku akan mengambil yang ini."
"Kepada siapa cincin itu akan Anda berikan?"
"Saat melihatnya cincin ini ada satu wanita yang terlintas dipikiranku?"
"Siapa?"
"Miss Hewitt."
"Pengacara Anda?"
"Iya. Aku berpikiran cincin ini sangat cocok untuknya."
Finn memandangi bosnya dengan terheran-heran. Ia berpikir mungkin bosnya itu memiliki perasaan untuk wanita itu. Ia juga melihat gurat-gurat senyuman di mata Tristan saat membicarakan wanita itu.
***
Caramella berada di apartemennya sedang membereskan pakaiannya ke dalam koper. Ia akan pergi ke Cartagena esok hari. Ia sengaja pulang lebih awal untuk membereskan keperluan liburannya selama seminggu. Ia melempar pakaian dalamnya dan terlihat sangat kesal ketika kembali mengingat ayahnya yang sudah membuat banyak masalah dalam hidupnya sampai-sampai ibu tirinya menderita, karena kelakuan ayahnya.
Ia pergi ke balkon untuk menghirup udara segar. Angin sepoi-sepoi berhembus. Ia melihat apartemen disebelahnya dan pemiliknya masih belum kembali. Caramella mendesah. Tristan satu-satunya kliennya yang membuat hidupnya agak sedikit tidak tenang tanpa diketahui apa penyebabnya. Pria itu seolah-olah seperti virus yang mencoba menggerogoti tubuhnya. Suara ponselnya berbunyi, ia cepat-cepat masuk ke dalam. Ia melihat nomor yang tak dikenal.
"Selamat sore! Dengan siapa aku bicara?"
"Caramella ini Ayah."
"Ayah?!"serunya terkejut.