Chapter 9

1165 Kata
Aku berjalan menuju ruang guru dengan langkah ragu. Entah mengapa aku jadi menimbang keputusanku untuk memberitahukan tentang mimpi-mimpiku pada Pak Keano. Tiba-tiba perasaan takut, menyergapku. Bagaimana jika guru baru itu akan memandangku bagai gadis aneh atau bahkan tidak waras? Yang kutakutkan lagi adalah, bagaimana jika setelah kuceritakan semuanya, ternyata Pak Keano bukanlah Keano yang kucari selama ini. Aku jadi teringat perkataan Deon padaku kemarin.     "Sinting."   "Deon!"   "Itu yang bakal Pak Keano bilang pas lo kasih tau semuanya." Deon menatapku dengan geram. "Lo pikir, masuk akal gak, orang yang udah meninggal terus hidup lagi jadi sosok baru seperti yang lo bilang?"   Aku menatap Deon nanar. Lalu memerosotkan bahu lemas. "Iya yah, gak masuk akal banget."   "Dalam agama kita juga gak percaya akan hal itu, kan?"   Aku mengangguk, mengiyakan pertanyaan Deon. "Tapi lo tahu kan gue bisa sebutin semuanya. Tentang mimpi itu."   "Bahannya cuma mimpi, gimana bisa orang-orang bakal percaya? Terlebih Pak Keano. Dia guru, orang terpelajar, gimana bisa dia percaya gitu aja sama omongan lo, dengan berbekal mimpi lo itu?"   Aku menggelengkan kepalaku. Sebisa mungkin berusaha menepis semua perkataan Deon kemarin. Mungkin benar jika aku harus mencari tahu tentang kebenaran Keano terlebih dahulu. Lalu apa? Jika memang ia adalah Keano, apa lagi? Jika Keano tidak percaya padaku, namun aku tidak akan menyerah, aku akan berusaha untuk meyakinkan Keano. Aku mengangguk mantap. "Iya. Gue harus bisa yakinin dia, kalau gue itu Jasmin."   Langkahku kembali terayun. Aku memberanikan diri memasuki ruang guru yang ramai di jam istirahat. Sejak tadi tak sadar aku tidak berhenti merapal doa dalam hati. Entah mengapa semakin aku mendekati meja guru Pak Keano, jantungku semakin kencang bertalu.   Begitu aku berdiri tepat di samping mejanya, Pak Keano mendongak. Lelaki itu tersenyum ramah dan menatapku dengan tatapan bingung. "Iya?" tanyanya.   Aku menelan ludah susah payah. Tiba-tiba saja diriku menjadi gugup begini. "Saya anggota OSIS yang ingin bertemu Bapak," kataku. Lelaki di depanku itu mengangguk paham. Lalu menunggu kelanjutan ucapanku. "Saya yang absen lebih dari lima kali, Pak." Aku meringis di akhir kalimat.   Pak Keano terlihat tersenyum tipis ketika mendengar kelanjutan kalimatku. "Oh iya. Saya sengaja memanggil anggota OSIS yang jarang ikut kumpul rapat, dan ingin memperingatkan perihal kewajibannya." Ia tersenyum ramah. Aku tiba-tiba mendadak salah tingkah mendapat senyum seperti itu. Dilihat dari jarak sedekat ini, Pak Keano benar-benar tampan.   "Jadi kamu harus lebih rajin lagi ya, kalau ada kumpul OSIS kamu wajib datang. Saya dengar sebentar lagi ada event Olahraga besar yang berkaitan dengan OSIS." Ia mengakhiri kalimat itu dengan senyum yang makin lebar. "Saya gak lagi marahin kamu, hanya ingin mengingatkan agar kamu makin rajin berangkat kumpul OSIS."     Aku mengangguk cepat. "Iya, Pak," sahutku.     Ia masih mempertahankan senyumnya. "Oke, ya sudah. Kamu bisa kembali ke kelasmu."     Bukannya bergegas mematuhi perintah itu, aku justru masih terdiam di tempat. Aku masih memperhatikan dengan seksama wajah Pak Keano. Rambut hitam lurusnya, hidung mancung, dan mata tegasnya, bahkan bibir penuhnya. Mengapa semuanya terasa tidak asing di mataku? Mengapa wajah itu tampak familiar di ingatanku? Jika memang ia adalah Keano, apa ia masih mengingat tentang Jasmin? Apa aku harus memastikannya sekarang?   Keringat sebiji jagung menetes di pelipisku. Aku gugup. Bahkan lebih gugup dari pertama kali memasuki ruangan ini tadi. Ludahku kutelan susah payah. Apa ini saatnya?     Pak Keano rupanya menyadariku yang masih diam terpaku di sampingnya. Ia mendongak. Lalu tersenyum lagi. "Apa ada yang masih ingin dibicarakan?" tanyanya ramah.   Entah mengapa, aku jadi khawatir kalau sikap ramah itu akan menghilang dalam sekejap jika kusampaikan hal ini. Tiba-tiba aku jadi ragu. Duh, sekarang apa yang harus kukatakan?     Pak Keano menatap nametag-ku lalu memanggilku. Ia menyadari tatapanku yang menusuk jauh ke matanya. "Alana?"     "Anu- Ada yang ingin saya tanyakan, Pak." Aku memberanikan diri. Aku sudah kepalang basah. Tidak mungkin aku mundur sekarang.     "Iya. Silakan. Tapi sepuluh menit lagi saya ada kelas berikutnya. Jadi kamu bisa singkat saja, ya," jawabnya. Ia menopang dagunya dan menatapku, menanti pertanyaanku.     Aku mengangguk. Aku meremas rok selututku,  berharap dengan cara itu bisa menghentikan kegugupanku. Namun hasilnya nihil. Aku masih saja gugup, tanganku yang sejak tadi basah jadi makin basah, keringat sebiji jagung terus mengalir di pelipisku. "Bapak ... ingat saya?" tanyaku pada akhirnya. Aku merutuki pertanyaanku yang terdengar bodoh.   Pak Keano mengerutkan dahi. Ia mengangkat sebelah alisnya menatapku. Tangannya yang tadi menopang dagu, kini turun dan terlipat di atas meja. Pastinya pertanyaanku terdengar ambigu. Namun aku penasaran dengan jawabannya.   Pak Keano tampak berpikir sebelum menjawab, "Kamu anggota OSIS bidang Bakat Minat dan Olahraga, kan?" Ia mengakhiri dengan nada tanya. Sepertinya ia bingung meresponku.   "Selain itu?" tanyaku lagi. Aku menanti jawabannya. Rasanya jantungku hampir keluar dari rongganya sekarang. Aku bagai sedang naik roller coaster kini.     "Em, selain itu?" Ia mengulang pertanyaanku. Lalu mengusap-usap dagunya sembari terus berpikir. Dan tiba-tiba ia menjentikkan jarinya. "Oh saya pernah liat kamu sebelumnya."     Aku tersentak. Mataku berbinar. Apa benar ia mengingatku? "Di mana?" tanyaku penasaran.   Ia tersenyum kecil. "Kamu siswi di kelas saya mengajar hari Kamis lalu, kan? Kelas XI IPS 1 bukan?" tanyanya dengan nada lembut.     Benar. Pasti itu yang akan Pak Keano katakan. Ia hanya mengingat sebatas itu. Memangnya apa yang harus kuharapkan? Aku kembali membuka suara. Aku tersenyum canggung. "Bukan hanya itu, selain di OSIS dan di kelas, apa Bapak mengingat saya sebelumnya?"     Lagi-lagi Pak Keano tampak berpikir sebelum menjawab. Keningnya berkerut. Lalu tatapannya kembali tertuju pada nametag-ku. Aku masih menanti jawabannya. Rasanya seperti menunggu hasil ujian dan nilai Matematika. Mendebarkan.     "Saya hanya mengingat kamu karena anggota OSIS dan perkenalan di kelas tempo hari, Alana," jelasnya.     Aku tersentak saat Keano menyebut namaku. Bibirku kembali terbuka, "Lalu ... apa Bapak ingat Jasmin?" tanyaku lirih. Aku menelisik raut Pak Keano, dan benar, lelaki itu tampak terkejut mendengar pertanyaanku.     "Jasmin?" tanyanya memastikan. Aku mengangguk menjawabnya.     Aku melihat ada sorot tidak nyaman dari matanya saat menatapku. Aku tidak tahu sejak kapan ia sudah membuka buku catatannya, namun yang jelas, kini kulihat ia menutup buku yang sejak tadi dibukanya. Kemudian menatap serius ke arahku. "Tahu dari mana tentang Jasmin?" tanyanya.     "Eng- anu- saya-" Aku terbata-bata. Lidahku kelu. Aku bingung harus menjelaskan dari mana.   Pak Keano melihat reaksiku yang seketika gugup dan gagap. Ia menggelengkan kepalanya dan kembali menatap bukunya, sengaja mengalihkan tatapannya dariku. "Kamu salah orang, saya gak kenal Jasmin," celetuknya dengan nada datar.   Benar bukan dugaanku? Kini ia mengeluarkan nada datar padaku, tidak seperti sebelumnya yang sangat ramah. Aku jadi merasa kecewa sekarang. Apa aku yakin ingin melanjutkan pembicaraan ini? Mengapa aku jadi tidak sanggup mendapatkan sikap dingin itu?    "Bapak yakin? Soalnya saya mengenal Jasmin."   Pak Keano sontak mendongak dan menatapku tajam. "Kenal?" Ia tertawa kecil. Namun tawanya terdengar mengejekku. "Bagaimana bisa kamu kenal dengan seseorang yang sudah meninggal?"     Aku tercengang. Pak Keano mengetahui Jasmin sudah meninggal. Apakah benar ia adalah Keano? Keano, itukah kamu?     "Saya mengenal Jasmin, karena saya itu ..."     "Kamu apa?"     Pak Keano masih menatapku tajam ketika melontarkan pertanyaan itu. Raut wajahnya menjadi datar seperti enggan membicarakan hal itu. Namun juga ada sorot penasaran yang kutangkap.   Aku susah payah membuka suara. Aku tidak bisa menebak lagi respon apa yang akan Keano berikan nanti saat aku mengatakan yang sebenarnya. Aku menutup mataku dengan perlahan lalu kembali membukanya. Itu kulakukan untuk menetralkan kegugupanku. Berikutnya, aku mulai membuka suara.     "Aku Jasmin, Keano."         KRING         °°°°°    
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN