Chapter 23

1700 Kata
Sekolah diliburkan tiga hari. Karena tempat kejadian perkara tidak boleh dirusak sama sekali. Maka banyak murid dari kelas sepuluh hingga dua belas yang hanya diberi tugas berupa PR. Alana menghela napas panjang. Ia melirik Deon yang tengah bermain PS-nya seorang diri. Lalu Alana berganti menatap Lita yang sibuk mengerjakan PR.   "Na, lo tahu ngerjain soal nomor tiga?" tanya Lita tiba-tiba. Cewek itu memandang Alana yang sedari tadi melamun sambil terus menghela napas. "Alana?" Ia mengibaskan tangannya di depan wajah Alana.   Melihat Alana masih saja melamun, Lita gantian menghembuskan napas kasarnya. "Gue tahu lo masih kehilangan atas Almarhumah Rani. Tapi lo juga kudu terus menjalani kehidupan lo, Na." Lita membujuknya. Cewek itu merangkul Alana yang berada di samping kanannya. Lalu Lita mengelus pundak Alana.   Alana menghela napas sekali lagi sebelum membalas tatapan Lita. "Iya, bener, Ta. Gue harus terus menjalani hidup," ujar Alana. "Tapi kenapa seolah masih ada yang mengganjal di hati gue ya?" lanjutnya. Lagi-lagi untuk kesekian kalinya Alana menghela napasnya. Kemudian ia menenggelamkan kepalanya di lipatan tangannya di atas meja belajar.   "Yak!" Deon berseru tiba-tiba.   "Kaget!"   "Mati-mati! Aduh, jangan mati dong!" Deon yang sejak tadi asik dengan game-nya malah kini memecah keheningan. Cowok itu berseru hingga membuat Alana dan Lita terkejut.   Alana sontak mengangkat kepalanya. "Si Lampu Neon!" Alana melempar penghapusnya ke kepala Deon, namun meleset. Cowok itu dapat menghindar dengan cepat.   Deon terkekeh. Lalu meninggalkan stik PS-nya. Berikutnya ia mendekati Alana. "Lo masih kepikiran tentang omongan Pak Keano?" tanya Deon. Tangannya terjulur menyerahkan penghapus Alana.   Alana mengambilnya dengan malas. "Iya. Tapi bukan cuman gue kan yang kepikiran?" tanya Alana dengan penasaran. "Gue yakin kalian juga kepikiran."   "Tapi gak ada buktinya." Deon berseloroh. Ia menatap Alana dengan gusar.   "Tapi kasihan kalau kasus Rani hanya ditutup dengan pernyataan bunuh diri. Gak adil. Pelakunya masih berkeliaran." Lita menimpali. Ia memandang Alana.   Alana mengangguk. "Kalian gak percaya kan kalau Rani bunuh diri? Gak mungkin kan?" tanyanya. Ia memandang Deon dan Lita bergantian. "Lita itu cewek baik, ceria, pinter. Seolah gak punya masalah hidup. Gak mungkin tiba-tiba dia kepikiran bunuh diri, kan?"   Deon dan Lita serempak mengangguk. Mereka menyetujui pendapat Alana.   "Tapi benar kata Deon ... kita gak ada bukti yang bisa menangkap pelaku." Alana kembali menenggelamkan wajahnya ke lipatan tangannya. Ia menunduk. Lalu memejamkan matanya. Selintas ia mengingat perkataan Keano kemarin.   Keano melangkah masuk ke dalam sekolah. Namun ia tidak menemukan Alana atau orang-orang yang tadi berkumpul di sekitar mayat tadi. Jadi ia putuskan keluar sekolah, ia berlari keluar dari gerbang. Tatapannya mengedar.   "Pak Keano?"   Sebuah suara menginterupsinya. Keano membalik badan dan menemukan Alana berdiri di depannya. "Alana ..."   Keano mendekati Alana. "Kamu gak apa-apa, kan?" tanyanya.   Alana mengangguk. "Aku baik-baik aja, kok."   "Alana ..." panggil Keano. Alana yang sejak tadi menatapnya kini semakin menatap Keano dengan serius. "Aku tahu Rani gak bunuh diri."   Alana mengernyit. "Hah?"   "Rani ... dibunuh."   Perkataan Keano mengejutkannya. Mata Alana membelalak. "Maksud Pak Keano?" tanya Alana. Jujur ia tahu dan meyakini kalau Rani tidak mungkin bunuh diri, namun mengapa Keano jadi ikut-ikutan mengira kalau meninggalnya Rani bukan karena bunuh diri melainkan karena dibunuh.   "Robi ... pelakunya."   Mata Alana semakin lebar terbuka. Ia mendelik kaget. "Robi?" tanyanya memastikan. Tangan Alana sontak mengepal. Ransel hitamnya ia pegang dengan sangat erat. Seolah dengan begitu bisa menyalurkan amarahnya.   "Robi mengaku kalau dia adalah pembunuh Rani, temanmu." Keano menjelaskan.   "Kalau begitu ayo kita kasih tahu ke Pak Polisi," ucap Alana. Ia hendak melangkah menuju deretan Polisi yang tengah berjaga. Namun lengannya dicegah Keano. Lelaki itu menarik Alana mendekat ke arahnya.   "Kamu gak bisa kesana langsung, Na."   "Terus kita mau diam aja gitu setelah tahu kebenarannya?" Alana memberontak. Ia berulang kali mencoba melepas tautan tangan Keano. Namun susah ia lepas.   Keano kini menyentuh bahu Alana. "Na, kamu tenang ya. Jangan gegabah. Aku memang mendengar langsung Robi berbicara kalau dia pembunuh Rani, tapi aku gak punya bukti kalau dia bicara seperti itu. Aku lupa gak merekam ucapannya."   Mendengar perkataan Keano, bahu Alana melemas. Ia merosot jatuh ke aspal depan gerbang. Alana menangis dalam diam. Benar ucapan Keano, ia tidak memiliki bukti kuat untuk membuktikan kalau Robi adalah pelakunya. Jadi tidak ada yang bisa ia perbuat sekarang. Tangisnya makin deras. Alana meratapi nasib Rani. Temannya yang sangat baik dan satu-satunya yang mau berteman dengan Alana di OSIS. Cewek baik itu, mengapa harus bernasib setragis ini?   "Maafin aku, Rani."     °°°°     Lita sudah pulang sejak setengah jam yang lalu. Sedangkan Deon masih betah main di rumah Alana. Cowok itu sejak tadi hanya memandangi Alana yang asik memainkan ponsel dan ngemil keripik kentang dalam toples yang didekapnya. Deon menatap Alana dengan raut serius. Sejak tadi ada yang ingin ia sampaikan pada Alana, namun ia bingung cara menyampaikannya.   "Na?" panggilnya.   Alana hanya bergumam sendiri. Masih asik memainkan ponselnya.   "Na, dengerin gue, mau ngomong." Deon menginterupsinya. Ia menatap Alana dengan serius.   Alana mendongak dan mengunci ponselnya, meletakkannya pada kasurnya. Berikutnya gadis itu balas menatap Deon. "Iya, gimana, De?"   Deon gelisah di duduknya. Masih bingung cara menyampaikannya pada Alana. "Na, Rani meninggal karena ulah Robi kan?"   Alana terkesiap kecil, namun ia masih bisa mengendalikan ekspresi wajahnya. Ia menatap Deon dengan datar. "Iya. Robi bilang sendiri ke Keano," sahutnya.   Deon menghela napasnya. "Kan benar. Gue udah punya firasat buruk sejak lo jadi tiba-tiba dekat sama Guru Baru itu." Deon menatap Alana yang hanya terdiam.   "Guru baru itu punya nama, ya." Alana memprotes.   "Iya, Keano." Deon berseloroh. Ia kini memandang Alana dengan serius. "Na, gue rasa ... lo harus jauhin Pak Keano."   Alana tersentak. "Maksud lo? Gue jauhin Keano ... kenapa?" tanya Alana.   "Na, sekarang lo pikir, semenjak lo jadi kenal dia, Robi dateng, terus Rani meninggal, Na. Gue tahu kalian punya tas ransel yang sama. Pasti Robi ngira hari itu kalau Rani adalah elo." Deon menjelaskan. Ia menatap Alana dengan rahang mengeras. "Gue gak mau lo tersakiti."   "Ini gak ada hubungannya dengan Keano. Gue juga bakal lindungi diri gue dan Keano. Lo tenang aja, De."   "Na, kenapa sih lo gak pernah mau dengerin omongan gue?" geram Deon. Ia menarik lengan Alana agar mendekat ke arahnya. "Semenjak lo kenal Keano, semuanya jadi kacau. Lo gak takut, Na? Gue aja sejak kemarin itu gak bisa tidur."   Bohong kalau Alana bilang ia tidak takut. Jujur ia sangat takut. Ia ketakutan dan terkadang sampai sering terbangun di saat sedang tidur. Ia takut Robi tiba-tiba berada di dekatnya. Namun jika Alana terus ketakutan, ia tidak bisa melindungi Keano. Tugasnya adalah untuk melindungi Keano. Jadi Alana berusaha keras agar tidak goyah dan takut.   "Gue gak bisa jauhin Keano, De." Alana menarik napas dalam. "Gue akan melindungi Keano."     °°°°     Alana masuk ke kamar Mamanya. Mama sedang membereskan pakaiannya dan pakaian Papanya. Dengan pelan ia melangkah masuk ke kamar Mamanya dan memeluk Mamanya.   "Eh, anak Mama udah selesai belajar barengnya?" Mamanya mengelus lengan Alana yang memeluknya. Wanita kepala empat itu tersenyum.   Alana mengangguk di pelukan Mamanya. "Udah," jawabnya. Berikutnya ia melerai pelukannya dan duduk di atas kasur di samping Mamanya.   "Kasihan temanmu yang meninggal itu. Pasti keluarga terpukul sekali." Mamanya berkata sambil masih melipat pakaian Papanya. Ini biasa dilakukan sebelum besok disetrika.   Alana hanya mengangguk singkat. "Ma, Alana mau bilang sesuatu."   Mamanya bergumam lirih. "Apa, sayang?" tanyanya. Ia  kini mendongak menatap Alana.   Jemari Alana bertaut. "Mama masih ingat kan tentang waktu dulu Alana sering bilang kalau pernah diculik?"   Mamanya menghentikan aktivitasnya dan menoleh ke Alana. "Kamu gak pernah diculik, sayang."   "Iya. Alana tahu. Tapi kenapa sejak dulu Alana merasa pernah mengalami peristiwa penculikan? Kenapa Alana selalu takut sama orang-orang asing terlebih laki-laki yang tubuhnya gendut?" Alana menatap serius Mamanya.   Mama Alana, Ratih, menatap Alana dengan serius. Namun ia masih tersenyum. "Itu hanya khayalan, Nak. Banyak kok yang sering ngalamin hal itu. Mama tahu dari teman-teman mama."   "Itu bukan khayalan Ma. Itu beneran ada. Mama ingat kan kalau ada anak kecil lain di mimpi itu? Namanya Keano. Dia beneran ada Ma. Semuanya bukan hanya khayalan anak kecil semata?"   Ratih tersentak. Lalu menggenggam tangan Alana. "Nak, kamu pasti lagi kecapekan atau terpikir hal aneh dari drama yang kamu tonton."   Alana menyentak tangan Ratih. "Enggak, Ma. Alana berani bersumpah kalau semuanya benar ada. Keano ... sekarang usianya tiga puluh tahun, dan menjadi guru di SMA Alana." Alana coba menjelaskan dengan perlahan. "Ma, sepertinya .. Alana memang reinkarnasi dari seseorang di masa lalu. Namanya Jasmin."   Ratih membelalakkan matanya. Ia menunduk dan mengalihkan tatapan matanya dari Alana. "Enggak. Kamu pasti salah." Ratih beranjak dan hendak berdiri dari duduknya, namun tangan Alana mencegahnya.   "Mama harus percaya dengan Alana." Mata Alana menyorotkan tatapan memohon. Ia harus memberitahu hal ini pada orangtuanya. Oleh karena itu sekarang ia berada di kamar orangtuanya untuk memberitahu yang sebenarnya.   Ratih menatap Alana dengan iba. Ia akhirnya menghela napas dan kembali duduk di samping Alana. "Coba, ceritakan semuanya."   Alana tersenyum. "Jadi, mimpi itu memang benar terjadi, Ma. Di dalam mimpi itu menggambarkan kehidupan sebelum Jasmin bereinkarnasi menjadi Alana sekarang. Keano, dan penculik yang sekaligus membunuh Jasmin, kini berada di sekitar Alana."   "Maksud kamu ... Keano sekarang menjadi Guru kamu. Dan tunggu, Pembunuh Jasmin itu ada di sekolahmu?"   Alana mengangguk. "Iya, Ma."   Ratih terperangah. Ia menggelengkan kepalanya. Sebenarnya ia masih belum percaya dengan perkataan Alana. Namun sebisa mungkin ia memercayai anak gadisnya itu. "Kamu serius, sayang?"   "Aku serius, Ma."   "Kalau begitu kamu pindah sekolah aja, ya. Mama akan cari sekolah-"   "Ma." Alana menyela perkataan Mamanya. Ia jadi tidak tega sekarang melihat Mamanya menjadi panik setelah mendengar ucapannya.   "Gak bisa, Ma. Gak bisa pindah di tengah-tengah semester seperti ini. Lagi pula Alana juga gak mau pindah, Ma."   "Sayang, kalau orang itu ada di sekolahmu, itu artinya kamu dalam bahaya. Mama gak bisa biarin kamu dalam bahaya."   Alana tersenyum. "Menurut Mama ... mengapa Jasmin bereinkarnasi?"   Ratih mengerutkan dahi. Alana malah membahas tentang Jasmin sekarang. Padahal ia tengah panik memikirkan nasib anak gadisnya. "Mungkin ... karena ingin menyelesaikan sesuatu?"   "Benar, Ma. Alana berpikiran seperti itu. Menurut Mama, takdir di masa lalu apa bakal terulang kembali?" tanya Alana. Ia tersenyum menatap Mamanya.   "Mama pikir, Jasmin bereinkarnasi itu karena ingin menyelesaikan masalahnya. Entah dengan Keano atau pria itu. Dia bereinkarnasi untuk melindungi orang-orang di sekitarnya, dan dirinya kembali." Mamanya berpendapat. Ratih kembali memikirkan ucapan yang tiba-tiba saja meluncur dari mulutnya. "Jadi, takdir itu gak akan terulang lagi." Berikutnya Ratih tersenyum.   Alana mengangguk dan tersenyum. Lengannya berangsur memeluk Mamanya. "Iya, Alana juga yakin, kalau takdir di masalalu gak akan terulang lagi. Alana akan melindungi orang-orang yang Alana sayangi, juga diri Alana sendiri."     Setelah ini, Alana akan membuat perhitungan dengan Robi. Ia harus berbicara dengan Robi bagaimanapun caranya.     °°°°                    

Baca dengan App

Unduh dengan memindai kode QR untuk membaca banyak cerita gratis dan buku yang diperbarui setiap hari

Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN