Zee menghentikan motornya di depan rumah yang bernuansa hijau tosca, salah satu warna kesukaannya, tepat saat adzan maghrib berkumandang. Selalu seperti ini kegiatan Zee sehari-hari. Pagi sampai siang berada di taman kanak-kanak, siang sampai sore ditempat bimbel.
Tidak ada hari libur baginya kecuali setengah hari dihari sabtu, dan juga hari minggu. Itu saja kalau tidak ada kajian setiap hari minggu. Setiap minggu kedua dan keempat Zee mengikuti kajian rutin yang diadakan di masjid kampus tempat Zee kuliah dulu. Sama dengan universitas yang berada didekat tempat bimbelnya.
Tapi Zee seolah tak memiliki rasa lelah. Zee seperti tak bisa kalau hanya berdiam diri saja. Saat ada waktu libur pun ada saja hal yang Zee kerjakan. Entah sekedar menata ulang tanaman-tanaman bunganya, tanaman sayur mayur yang ibunya tanam di kebun belakang rumah.
"Assalamualaikum,"
"Waalaikumsalam. Baru pulang, Zee?" Tanya Wahyudi, ayah Zee.
"Iya, Pak," Zee tersenyum dan menghampiri ayahnya yang sedang bersiap untuk pergi ke masjid. Dibelakang ayahnya ada Zikri, adik Zee, yang baru saja keluar dari kamar.
"Ibumu baru ambil wudhu. Kamu sholat dulu, terus bersih-bersih. Nanti makan bersama,"
"Iya, Pak."
Setelah itu, Zee pergi ke kamar dan ayah serta adiknya pergi ke masjid.
Zee. Anak kedua dari pasangan Wahyudi dan Fatimah. Zee memiliki seorang kakak bernama Zainal, atau Zain, yang kini sudah berkeluarga dan tinggal di Solo karena memilih tempat tinggal yang lebih dekat dengan tempat Zain mengajar.
Zee juga memiliki seorang adik yang bernama Zikri yang tahun ini lulus SMA. Itu berarti sebentar lagi Zikri akan masuk ke gerbang perkuliahan. Masing-masing dari mereka usianya terpaut enam tahun.
"Apa kamu belum punya rencana untuk menikah, Zee?" Tanya Wahyudi di sela acara makan malam mereka. "Usiamu sudah 23 tahun. Sudah punya pekerjaan, bahkan sudah punya tempat bimbingan belajar sendiri," lanjut Wahyudi.
Zee masih diam kendati aktivitas makannya tak berhenti. Bukannya Zee tak ingin menikah. Hanya saja orang yang dia harapkan sampai sekarang belum juga menyampaikan niatnya untuk meminangnya.
Rayhan, laki-laki itu sudah berhasil menawan hatinya. Zee juga tahu bahwa Rayhan juga ada hati untuknya. Tapi Zee cukup tahu diri. Sebagai wanita, Zee hanya bisa menunggu. Zee bisa saja secara langsung menanyakan pada Rayhan. Tapi Zee masih punya rasa malu, Zee tak ingin melakukan hal itu.
"Bapak ingin menjodohkan kamu dengan anak teman bapak,"
Uhukk uhukkk..
"Pelan-pelan, Nduk. Minum dulu,"
Zee menerima uluran gelas berisi air putih dari ibunya. Meneguknya pelan untuk melegakan tenggorokannya.
Dijodohkan? Sama sekali tidak pernah terlintas dalam pikiran Zee kalau akan ada perjodohan seperti ini.
Hati Zee ragu. Dihatinya telah tertulis satu nama. Nama yang ia sebut disetiap doanya. Tapi entah sampai kapan Zee akan menunggu Rayhan. Apakah ini jawaban dari semua doanya? Jawaban memang bukan Rayhan yang ditakdirkan untuknya.
"Kamu masih ingat enggak sama budhe Wulan dan pakdhe Hardi? Anaknya, si Azzam, dulu juga temannya Masmu Zain. Dulu mereka tinggal disini, tapi mereka pindah ke Semarang karena usaha Hardi yang semakin maju disana," terang Wahyudi pada Zee.
Zee mengerutkan kening mencoba mengingat-ingat nama-nama yang ayahnya sebut. Rasanya seperti tidak asing dengan nama-nama itu.
Kini Zee teringat, Azzam adalah sahabat dari Zain sejak kecil. Tapi mereka terpisah karena setelah lulus SMP Azzam pindah ke Semarang mengikuti orangtuanya. Sampai sekarangpun mereka hampir tak pernah kembali ke desa karena memang sudah tidak ada keluarga mereka yang tinggal di desa. Rumah yang mereka miliki pun sudah dijual untuk menambah modal.
"Usaha mereka sekarang sudah besar. Beberapa hari yang lalu, mereka telepon Bapak. Katanya minggu depan mau kesini buat silaturrahmi. Sekalian melamar kamu kalau kamu mau jadi istri Azzam."
Zee diam tak menanggapi. Zee melanjutkan makannya walaupun pikiran Zee sudah berkelana entah kemana. Melamar? Kalau hanya bersilaturahmi, Zee dengan senang hati akan menyambutnya. Tapi kalau untuk melamar, Zee belum kepikiran untuk menerimanya.
Bagaimana dengan Rayhan dan hatinya?
Aahh.. Zee lupa. Hatinya dan hati Rayhan adalah milik Allah. Rasa yang mereka miliki saat ini tidak lebih dari hasutan setan yang menjerumuskan mereka ke lembah dosa.
"Zee ke kamar dulu, Pak, Bu, Zik," ucap Zee pelan lalu berdiri dan berjalan meninggalkan meja makan.
"Zee.." panggil Fatimah sebelum Zee menaiki tangga menuju lantai dua. "Pikirkan dengan baik. Bapak sama ibu cuma ingin yang terbaik buat kamu," lanjut Fatimah.
"Insyaallah, Bu," jawab Zee pelan kemudian berjalan menaiki tangga menuju kamarnya.
Azzam kebingungan melihat kondisi istrinya yang tiba-tiba melemah. Ini bukan pertama kalinya kondisi Farida drop. Tapi kali ini Azzam dibuat merasa bersalah karena Farida melemah setelah percintaan panas mereka sore tadi.
Azzam yang sudah lama tak merasakan nikmatnya tubuh istrinya menjadi lupa kalau istrinya tidak boleh terlalu lelah.
Desahan-desahan dan erangan-erangan nikmat yang keluar dari bibir istrinya seolah menjadi bius tersendiri bagi Azzam. Membuat Azzam begitu ganas dan rakus dalam menikmati tubuh Farida.
"Harusnya tadi kamu enggak mancing-mancing aku, yang. Kayak gini kan jadinya?" gerutu Azzam sambil menyelimuti tubuh lemah istrinya, yang justru dibalas kekehan pelan dari Farida.
"Tapi kamu puas kan, Mas?" tanya Farida pelan. Matanya menatap Azzam yang kini duduk disampingnya sambil memegang tangannya.
"Tapi buat apa aku puas kalau setelahnya kamu seperti ini?"
"Makanya, Mas, kamu terima ya perjodohan dari bapak sama ibu," Farida masih terus membujuk Azzam agar mau menikah lagi.
Sontak saja hal itu membuat Azzam melepaskan genggaman tangannya pada Farida dengan kasar. Sungguh, Azzam tak ingin menikah lagi. Baginya cukup Farida, satu-satunya perempuan yang menjadi istrinya. Saat ini, sampai maut memisahkan.
"Mas.." Farida mengelus lengan suaminya pelan. "Sebagai istri aku ini begitu lemah. Aku tidak bisa melayani kamu dengan maksimal, aku tidak bisa mengandung, aku tidak bisa menjalankan peranku sebagai istri dengan baik. Kalau kamu menikah lagi, kamu akan mendapatkan apa yang tidak kamu dapatkan dariku, Mas. Termasuk anak."
"Aku sudah merasa cukup dengan semua ini, Farida. Soal anak aku tidak pernah memaksakan kehendak meminta kamu hamil. Kita bisa adopsi anak. Apa susahnya, sih? Soal kebutuhan biologis, selama ini aku bisa menahan, aku enggak masalah karena kamu memang sedang sakit," suara Azzam sedikit meninggi. Menegaskan bahwa dirinya baik-baik saja dengan keadaan ini.
"Tapi orangtuamu menginginkan cucu yang mengalirkan darah mereka, Mas. Dan aku yakin kamu juga menginginkan hal yang sama. Bohong kalau kamu enggak menginginkan hadirnya seorang anak di rumah ini. Tolong, Mas. Lakukan demi aku kalau kamu memang benar-benar mencintai aku. Demi Allah aku ikhlas,"
Tanpa menjawab, Azzam pergi keluar dari kamar meninggalkan Farida yang kini sudah berderai air mata.
Azzam berjalan keluar rumah, menuju gazebo yang sengaja ia bangun di taman rumahnya. Azzam membutuhkan udara segar untuk menenangkan pikiran dan merenungkan segalanya.
Lima tahun pernikahannya dengan Farida, itu bukan waktu yang singkat. Tiga tahun lalu Farida dinyatakan hamil setelah berbagai cara mereka lakukan untuk mendapatkan hasil test peck bergaris dua. Dari mulai mengkonsumsi produk herbal, sampai konsultasi ke beberapa dokter kandungan.
Tetapi kabar bahagia itu tak berlangsung lama setelah dokter menyatakan bahwa kehamilan Farida bermasalah. Dokter memvonis bahwa janin yang Farida kandung tidak berkembang dan harus digugurkan.
Sedih? Kecewa? Sudah pasti. Tapi Azzam dan Farida selalu bergandengan tangan saling menguatkan. Meyakinkan diri bahwa Allah pasti akan memberikan keturunan sebagai pelengkap rumah tangga mereka.
Setahun berlalu, tanda-tanda kehamilan belum juga muncul. Justru Farida merasa ada yang tidak beres dengan dirinya. Dari mulai haid yang tidak teratur, perut bawahnya serasa diremas-remas. Sampai merasakan nyeri yang luar biasa saat berhubungan badan dengan suaminya.
Azzam dan Farida memutuskan untuk berkonsultasi dengan dokter kandungan. Sampai akhirnya dokter memvonis Farida menderita kanker rahim dan dokter mengatakan bahwa akan sulit bagi Farida untuk mengandung.
Syok? Tentu saja. Farida mulai kehilangan semangat hidupnya. Setiap hari Farida harus mengkonsumsi obat-obatan dan juga kemoterapi dalam dua Minggu sekali.
Farida patut berbangga memiliki suami seperti Azzam. Azzam tak pernah berhenti menyayanginya kendati dirinya tak bisa menjalankan perannya sebagai istri dengan baik.
Azzam begitu mencintainya dan tak peduli kekurangan yang ia miliki. Semua Azzam dan Farida lalui berdua selama ini.
Sampai akhirnya, masalah anak menjadi pemicu utama dalam keributan Farida dan Azzam akhir-akhir ini.