“Ya udah sih, Ta ... mungkin emang karena kamu ngobrolnya terlalu keras. Makanya Papa kamu dateng dan menyita handphone kamu,” ucap Daffa pelan.
Mita masih merengut. Dia benar-benar tidak bisa menerima perlakuan papanya itu. Mita sudah merasa dewasa dan dia berpikir sang papa tidak perlu bersikap sejauh itu.
“Tapi tetep aja, Papa itu keterlaluan,” sungut Mita.
Daffa hanya menghela napas. Salah satu sifat Mita yang sangat dia pahami adalah Mita tidak akan menerima masukan apapun jika dia masih merasa marah. Daffa pun hanya bisa menunggu Mita selesai mengeluarkan semua unek-uneknya. Saat ini mereka berdua sedang berada di salah satu kedai bakmi langganan. Mita dan Daffa berjanji bertemu di tempat itu sepulang sekolah.
“Terus sekarang ya harus gimana?” tanya Daffa kemudian.
“Tadi pagi aku udah minta handphone itu kembali, tapi Papa nggak mau memberikannya. Kekanak-kanakan banget sih? aku bener-bener bete,” jawab Mita.
Daffa pun mengambil ranselnya yang dia letakkan di lantai. Tidak lama setelah itu dia mengeluarkan handphone buntutnya yang sudah terlihat usang. Daffa tersenyum pelan dan menyerahkan handphone itu kepada Mita.
“Kamu masih menyimpan Handphone ini? ya ampun Daffa...!” pekik Mita histeris.
“Kamu bisa menggunakannya sementara waktu untuk menerima panggilan dan juga berkirim pesan,” ujar Daffa.
Mita pun membolak-balik handphone unik itu dengan tatapan tak percaya. Sepertinya handphone itu sudah menjadi sebuah benda pusaka bagi Daffa.
“Tapi jangan sampai rusak, ya!” Daffa mengingatkan.
Mita pun menatap geli. Handphone model begini mah dipake buat nimpuk kambing sekalipun juga masih nggak apa-apa kali.”
“Ya tetep aja! itu kan, handphone kesayangan aku. Handphone itu aku beli sendiri dari upah mengumpulkan kardus bekas waktu aku masih duduk di kelas dua SMP,” jelas Daffa.
Mita pun tersenyum pelan. Daffa memang sosok yang mengagumkan dan sepertinya akan selamanya seperti itu di mata Mita.
“Jadi ini handphone hasil mulung dong!’ ledek Mita.
Daffa hanya berdehem pelan. “Udah ayo buruan habisin makanan kamu. Aku harus latihan basket jam empat sore.”
“Aku masih kangen tau! sekarang di sekolah kita kan, nggak bissa deket-deket kayak sebelumnya lagi.” Mita memanyunkan bibirnya.
“Sabar ... lagian dua minggu lagi kita akan mengikuti Ujian Nasional. Setelah itu kita hanya akan berlibur menunggu pengumuman kelulusan tiba,” ucap Daffa.
“Benar juga ya! lalu setelah kita lulus ....” kalimat Mita terhenti.
Daffa pun menatap Mita lekat-lekat. “Kenapa kamu berhenti?”
Mita menggelengkan kepalanya. “Nggak kok. Nggak ada apa-apa.”
Hening.
Tiba-tiba saja suasana di antara mereka terasa canggung. Mita tidak yakin dengan apa yang akan dikatakannya. Daffa pun sebenarnya sudah tahu apa kelanjutan kalimat itu. Mereka berdua cukup lama terdiam. Hingga kemudian kedua mata pasangan muda itu kembali bertemu.
“Ta ....” panggil Daffa pelan.
“I-iya?”
“Aku sayang sama kamu.”
Semilir angin pun terasa membelai wajah Mita dengan lembut. Kalimat yang terlontar dengan suara rendah itu membuat jantung Mita berdegup kemcang. Sorot mata Daffa pun kini berubah lembut. Ada kesungguhan yang tersirat dari sorot matanya itu.
“Kamu nggak ngebalesnya gitu?” sergah Daffa kemudian.
Mita mencibir seraya menggeleng. “Nggak ah!”
“Jahat banget sih!”
“Kamu juga jahat sama aku! inget ya, kamu itu mutusin aku.” Mita menekankan ujung kalimatnya.
“Ya ampun, Ta ... masih aja. Kamu kan, udah tau alasannya kenapa aku ngelakuin itu semua.” Daffa mendesah pelan.
Mita pun cekikikan menahan tawa. “Aku becanda kok.”
“Oh iya, ada satu hal lagi yang ingin aku omongin sama kamu,” ucap Daffa kemudian.
Mita menelan ludah. “A-apa?”
“Bagaimana kalau menjelang Ujian Nasional ini kita break sejenak dulu? Maksud aku kita fokus belajar untuk persiapan Ujian Nasional. Aku benar-benar ingin melakukan yang terbaik. Aku takut nggak lulus. Nanti kalau aku nggak lulus, kita nggak ja....” Daffa menghentikan kalimatnya.
“Nggak jadi apa?” tanya Mita yang sebenarnya sudah tahu jawabannya.
Daffa berpikir sejenak. “Nggak jadi dapet ijazah SMA,” jawabnya.
Mita pun langsung memukul Jidat Daffa dengan ujung sendoknya. “Sa ae lo Bambang!”
“Eh ... kok bisa manggil elo? Nggak baik begitu sama calon suami,” ucap Daffa.
Uhuk... uhuk...
Ucapan Daffa itu berhasil membuat Mita tersedak.
“Hati-hati dong, Ta.”
“Kamu sih ada-ada aja,” Sergah Mita.
_
Sesuai perjanjian yang telah mereka buat. Akhir-akhir ini Daffa dan Mita tidak lagi sering bertemu. Mereka berdua sama-sama fokus belajar untuk mempersiapkan diri sebelum peperangan terakhir di masa SMA itu di mulai. Semnagat mereka berdua sangat menggebu-gebu. Tidak hanya mereka, mayoritas para siswa tingkat akhir juga melakukan hal yang sama. Hanya saja yang membedakan Daffa dan Mita adalah motivasi mereka dalam menyambut ujian itu.
Jika yang lainnya termotivasi lulus dengan nilai baik untuk bisa memasuki universitas idaman. Maka Daffa dan Mita memiliki motivasi lulus untuk bisa segera menikah.
Gila!
Mereka sepertinya memang sudah sama-sama gila. Otak mereka berdua sudah dipenuhi oleh segala sesuatu tentang pernikahan. Entah dari mana awalnya hingga tercetus ide untuk menikah setelah tamat SMA, namun Daffa dan Mita terlihat bersungguh-sungguh untuk mewujudkannya.
“Ini handphone kamu Papa balikin.” Sang papa meletakkan handphone Mita di atas meja.
Mita hanya menatap bingung.
“Ehm... karena Papa perhatikan akhir-akhir ini kamu sudah kembali menjadi diri kamu yang dulu. Kamu sudha belajar dengan giat, tidak lagi keluyuran ke mana-mana dan Papa rasa kamu bisa mengambil handphone kamu kembali.
“M-makasih, Pa.”
“Tapi ingat! Jangan mengulangi kesalahan yang sama lagi mengerti!”
“Mita mengerti, Pa.”
Sementara itu di rumah Daffa, sang Bunda terlihat berdiri di ambang pintu sambil menatap heran. Dia benar-benar tidak memercayai penglihatannya. Daffa sekarang sedang belajar dengan tekun di meja belajarnya. Di sisi kanannya ada tumpukan buku yang menggunung. Di sisi kirinya ada sekitar enam gelas kopi yang sudah kosong.
“Terlalu banyak kopi nanti perut kamu jadi sakit lho,” ingat sang bunda.
Daffa menoleh sebentar. “Nggak apa-apa kok, Bund.”
“Udah ya, minum kopinya. Jangan di tambahin lagi,” pesan sang Bunda.
Daffa mengangguk pelan, tapi kemudian dia memutar kursinya. “Oh iya ... Ayah ke mana, Bund? Rasanya sudah dua hari belakangan ini aku nggak pernah lagi melihat ayah di rumah.”
Deg.
Sang bunda terlihat kebingungan. “Mana ya? tadi masih ada di ruang tengah kok. Orang kamu pulang sekolah langsung masuk kamar terus! Gimana bisa ketemu.”
Daffa hanya mengangguk. Belakangan ini dia memang tidak melihat ayahnya sama sekali. Sebenarnya itu termasuk hal yang biasa bagi Daffa. Karena walaupun tinggal di atap yang sama, Daffa sangat jarang berbaur dengan orang tuanya. Bahkan terkadang dalam seharian penuh Daffa tidak akan melihat wajah mereka berdua.
Setiap orang di rumah itu seakan memiliki kehidupan mereka sendiri-sendiri. Kurang lebih seperti itulah keluarga Daffa. Dia bahkan tidak ingat lagi kapan terakhir kali mereka duduk bersama di meja makan.
“Tapi ... Bunda nggak beranten lagi kan, sama Ayah? Terakhir kali kalian udah janji nggak akan ribut lagi,” ucap Daffa.
Sang Bunda meneguk ludah. Sekitar dua minggu yang lalu dia kembali bertengkar hebat dengan sang suami. Daffa yang biasanya tidak peduli jika orang tuanya bertengkar tiba-tiba mengamuk. Dia bahkan juga sempat mengambil sebilah pisau dan mengancam akan membunuh dirinya sendiri jika mereka masih saja bertengkar. Keributan itu pun akhirnya disudahi dengan sebuah perjanjian bahwa sang bunda dan sang ayah tidak akan bertengkar lagi.
“Kenapa Bunda diam?” sergah Daffa.
Bunda pun memaksakan bibirnya untuk tersenyum. “Nggak kok. Bunda dan Ayah memang tidak akan pernah bertengkar lagi.”
Daffa tersenyum senang. “Baguslah!”
Daffa kembali memutar kursinya dan lanjut belajar. Sementara sang bunda masih berdiri di sana dan menatap nanar.
“Bagaimana aku harus mengatakannya,” bisik sang bunda dalam hatinya.
_
Bersambung...