Mita melangkah memasuki rumahnya dengan langkah riang. Saat melewati ruang makan, hidungnya mencium aroma lezat yang membuat dia menelan ludah. Mita pun beralih menuju ruang makan itu dengan senyum mengembang.
"Waaah Mama masak goreng lele, ya!" Mita langsung berteriak senang seraya berlari ke meja makan.
Sang mama, papa dan adik lelakinya Gafran hanya menghela napas. Mita langsung mengambil posisi duduk dan menjangkau sebuah piring. Mita menyendok nasi putih dan seekor lele goreng berukuran besar ke piringnya.
"Hmmm... ini pasti enak sekali," ucap Mita.
Sang papa yang sedari tadi diam, kini meletakkan sendoknya, lalu beralih menatap putrinya itu. "Kamu dari mana baru pulang jam segini?"
"Abis belajar bareng Daffa," jawab Mita cuek sambil menikmati lele gorengnya.
Sang papa mendesah pelan. Sang mama yang duduk di sampingnya pun juga memijit keningnya yang berdenyut. Kedua orang tua Mita kini memiliki kekhawatiran yang sama. Mereka sebenarnya sudah dari dulu merasa keberatan jika Mita berpacaran dengan Daffa. Sejak berpacaran dengan Daffa, kedua orang tua Mita merasa kepribadian putrinya itu banyak berubah.
"Alasan kamu belajar terus... nyatanya kamu malah asyik pacaran! Kamu harus ingat kalau sekarang kamu sudah kelas XII SMA, sebentar lagi kamu juga akan lulus," sahut sang mama.
Mita langsung mengernyitkan dahinya. "Lho... siapa yang asyik pacaran sih, Ma? Mita bener-bener cuma belajar aja bareng Daffa."
"Tiap malam juga Kak Mita telponan mulu, Ma... Pa..." Gafran ikut menimpali.
Mita pun menatap tajam pada adiknya itu. Gafran hanya mencibir dan lanjut menyuap makanannya.
"Lagian kan, kalaupun aku pacaran... selama ini nilai-nilai sekolah aku tetep bagus. Aku masih tetep jadi juara umum. Nggak ada yang berubah sama sekali." Mita mencoba membela diri.
Sang mama mendesah pelan. "Ya... tapi sekarang isi pikiran kamu sudah sepenuhnya berbeda."
"Maksud Mama?' tanya Mita.
Sang mama tidak menjawab dan malah melangkah pergi. Tak lama kemudian dia kembali dengan membawa celengan milik Mita dan meletakkannya di atas meja.
"Apa maksud tulisan di celengan ini?"
Deg.
Mita tersentak kaget. Dia tidak menyangka jika sang mama akan menemukannya. Padahal seingat Mita dia sudah menyembunyikannya sejauh mungkin dibalik tumpukan pakaiannya.
"Mitaaa... Papa tahu mungkin kamu sedang di masa pubertas dan sebagainya. Papa tahu jiwa muda kamu saat ini sedang bergejolak... tapi kamu harus bisa berpikir dengan baik. Sekarang masih belum saatnya. Jalan kamu masih panjang. Bukannya kamu bercita-cita untuk menjadi Dokter? Bukannya kamu pernah cerita sama Papa kalau kamu akan membuat Papa dan Mama bangga?".
Mita menekur diam. Lauk lele yang tadi terasa nikmat kini berubah hambar dilidahnya. Apakah seseorang tidak boleh merubah impiannya? Apakah menikah muda adalah sebuah dosa? Mita hanya ingin menjalani apa yang diyakininya. Dia tahu orang tuanya mencemaskan masa depannya. Orang tuanya menginginkan yang terbaik, tapi bukankah yang paling terpenting adalah Mita merasa bahagia?
"Tabungan untuk menikah?" sang mama kembali bergeleng pelan. "Akhirnya Mama mengerti bahwa malam itu kamu memang tidak sedang bercanda. Mama mohon sama kamu, Ta... jangan berpikiran yang aneh-aneh. Jangan melakukan hal-hal yang hanya akan merusak masa depan kamu!"
Mita tidak bisa lagi menahan dirinya lagi. "Merusak masa depan aku?"
"Tentu saja! katakanlah kamu benar-benar menikah dengan Daffa... apa dia sudah mempunyai pekerjaan? apa dia sudah mantap secara finansial dan juga mental? Pernikahan itu bukan suatu hal yang main-main. Kamu adalah anak yang cerdas. Harusnya kamu paham akan hal itu," ucap sang mama.
"Papa dengar kedua orang tuanya juga sering bertengkar, ya?" tanya sang papa.
Mita hanya menelan ludah.
"Anak-anak yang berasal dari keluarga broken home cenderung tumbuh menjadi anak yang nakal dan menyukai kekerasan," sahut sang Mama.
"Ya... hal itu memang sudah jelas." Sang papa mengangguk setuju.
"Daffa tidak seperti itu," ucap Mita dengan air mata yang sudah menggenang.
"Kamu harus tahu bahwa keluarga itu adalah tempat pendidikan pertama bagi seorang anak," ucap sang papa.
Mita tertunduk diam. Tak lama setelah itu handphone-nya berdering. Ternyata itu adalah panggilan dari Daffa. Walau sedikit ragu, Mita pun akhirnya menjawab panggilan.
"H-halo...." Ucap Mita.
Tidak ada jawaban.
Hening. Hingga tak lama setelah itu Mita mendengar suara tangis Daffa yang terdengar samar. Mita pun seketika menjadi cemas. Dia langsung bangun dari duduknya dan segera pergi tanpa menghiraukan sang papa yang berteriak memanggilnya.
"Mitaaaa kamu mau ke mana?"
_
Mita mengayuh sepedanya lebih cepat di tengah langit yang sudah menghitam. Dia menerangi jalanan di depannya dengan cahaya senter handphone yang diletakkan di dalam keranjang sepedanya itu. Karena tidak berhati-hati, Mita pun terkejut saat ada seekor kucing yang tiba-tiba berlari di jalanan itu. Mita menarik rem tangannya kuat-kuat, tapi sepeda itu berdecit, kehilangan keseimbangan dan akhirnya membuat Mita tersungkur ke jalanan.
"Aaa...!! Mita meringis kesakitan seraya membersihkan kotoran di sikunya.
Siku dan lututnya kini terluka dan terasa perih, tapi Mita tetap bangun dan kembali memacu sepedanya itu. Setelah cukup lama mengayuh, akhirnya sepeda itu berbelok ke sebuah lapangan bola kaki yang sudah lengang. Mita memperlambat kayuhan sepedanya dengan leher yang kini sibuk memerhatikan keadaan sekitarnya. Sampai akhirnya Mita melihat cahaya di ujung sana yang berasal dari handphone Daffa. Mita pun segera mendekat dan merebahkan sepedanya di atas rerumputan itu.
"Daffa....!" Mita segera berlari menghampiri Daffa yang duduk sendirian.
"Kamu datang," ucap Daffa lirih.
Mita pun menatap cemas. "Sekarang kita ke tempat yang agak terang dulu yuk!"
Mita menarik Daffa agar bangun dari duduknya dan menyeretnya ke podium yang memiliki penerangan yang cukup baik. Daffa pun hanya mengikuti Mita dengan kedua mata yang masih basah karena sisa-sisa air mata.
Daffa tidak menjawab. Dia hanya mengikuti Mita dengan wajah di tekuk. Setelah sampai di tempat yang dituju, Daffa pun kembali duduk dan membenamkan wajahnya di antara kedua lutut.
"Ada apa?" Tanya Mita pelan.
Daffa tidak menjawab. Mita pun menyentuh kepala Daffa pelan. "Ada apa Daffa? Kenapa kamu pergi dari rumah malam-malam begini?"
Daffa mendesah pelan, lalu mengangkat wajahnya pelan. "Tadi aku berantem sama Bunda."
Mita terdiam. Ini bukan yang pertama kalinya Daffa seperti ini. Terakhir kali dia bahkan kabur dari rumah selama tiga hari dan menginap di rumah temannya. Ya, sedikit banyaknya Mita memang mengetahui bagaimana kehidupan orang tua Daffa. Mereka selalu bertengkar dan Daffa selalu lari saat dia sudah tidak bisa lagi menahan segalanya.
"Kenapa kamu berantem sama Bunda?"
"Bunda mengatakan kalau aku akan berakhir seperti Ayah... Aku berbeda, Ta... Aku nggak akan seperti itu!" Pekik Daffa dengan napas yang kembali sesak.
Mita melangkah mendekat dan mendekap kepala Daffa. Mita dalam posisi berdiri, sedangkan Daffa duduk di depannya. Helaan napas Daffa pun semakin memburu dalam dekapan Mita.
"Nangis aja... Nggak apa-apa kok." Mita menepuk punggung Daffa dengan lembut.
Daffa pun kembali menangis. Dia sebenarnya bukan anak yang lemah. Dia bukanlah anak lelaki yang mudah menangis, tetapi dia selalu rapuh jika sudah bermasalah dengan keluarganya. Sedari kecil Daffa memang sudah sering menyaksikan pertengkaran orang tuanya. Dari kecil dia sudah mengalami trauma karena melihat kekerasan yang terjadi di rumahnya setiap hari.
Jauh sebelum mengenal Mita, Daffa memang termasuk anak yang nakal. Ketika duduk di bangku SMP dia sering terlibat pertengkaran dengan anak-anak dari sekolah lain. Dia juga selalu membuat masalah di sekolahnya. Hal itu berlanjut hingga awal-awal dia masuk SMA. Kala itu Daffa terkenal sebagai si pembuat onar. Setiap harinya selalu saja ada masalah yang dibuatnya. Melawan pada guru, kabur saat jam pelajaran, memalak anak-anak yang lemah, dia bahkan juga pernah berbuat keonaran dengan menyatakan cinta pada salah satu guru magang di sekolahnya. Track record Daffa sebagai murid ternakal nomor wahid memang tidak terbantahkan lagi. Sampai akhirnya dia bertemu dengan sosok Mita saat mereka sama-sama naik ke kelas XI SMA.
Saat semua orang takut dengan Daffa, sosok Mita justru berani memarahinya. Mita tidak segan-segan mengomeli Daffa saat dia membuat masalah. Sebagai seorang ketua kelas, Mita memastikan warga kelasnya tidak terlibat permasalahan. Di sanalah titik balik kehidupan Daffa dimulai. Sosok Mita ternyata mampu membuat Daffa berubah. Tidak hanya itu saja, sosok Mita juga yang sudah membantu Daffa menemukan bakatnya dalam bermain basket.
Bagi Daffa, Mita adalah segalanya.
Saat suasana di rumahnya terasa bagai neraka, maka mendengar suara Mita saja sudah bisa membuat hatinya menjadi tenang. Saat dunia seakan acuh padanya, Mita selalu menunjukkan kepeduliannya.
Semua cinta dan perhatian itu akhirnya membuat Daffa berubah menjadi anak yang lebih baik. Meskipun masih lemah dibidang akademik, tapi prestasi Daffa di bidang non akademik mampu menghapus semua catatan kelamnya di masa lalu. Apalagi saat dia berhasil bergabung menjadi bagian tim basket nasional, nama Daffa menjadi harum. Dia kini tidak lagi dikenal sebagai pembuat onar. Dia sekarang dikenal karena prestasi yang sudah berhasil diraihnya.
"Aku nggak akan seperti itu, Ta...." Ucap Daffa kemudian seraya mengangkat wajahnya menatap Mita.
Mita tersenyum pelan. "Iya... Aku tau."
"Aku nggak akan seperti Ayah! Aku berbeda! Aku tidak akan menjadi lelaki yang tidak bertanggung jawab seperti itu!" Daffa berucap sungguh-sungguh.
"Kenapa kamu begitu mencemaskan hal itu?" Tanya Mita.
Daffa menelan ludah. "Aku takut...."
Mita mengernyit bingung. "Takut?"
"Ya... Aku takut kalau kamu juga akan berpikiran seperti itu."
Hening.
Kesunyian mendadak menyeruak di antara mereka. Langit malam di atas sana terlihat kosong tanpa bintang ataupun bulan. Mita menatap Daffa lekat-lekat. Tangannya menyentuh pipi Daffa perlahan.
"Aku tidak pernah berpikir seperti itu dan kamu tidak perlu khawatir karena bagi aku... Kamu adalah segalanya," ucap Mita.
Daffa menatap sendu. "Kamu percaya, kan sama aku! Kamu percaya kan kalau aku mampu... Aku sanggup...?"
Mita tersenyum pelan. "Iya. Aku percaya.
_
Bersambung...