"Biar bapak makan sendiri aja," tolak pak Rusdi saat Selly menyodorkan sesendok makanan ke mulutnya.
"Itu, tangan bapak kan sakit. Gimana makannya? Pakai tangan kiri?"
Pak Rusdi menghela nafas, akhirnya menerima suapan pertama dari anak satu-satunya ini. "Kamu kan harus segera ke rumah sakit, Sel."
"Itu masih bisa nanti, pak. Di sana ada banyak suster dan perawatnya, pasti juga pak Langit diurus sama mereka kok." Kembali ia menyodorkan sendok.
Pak Rusdi menatap anaknya yang sibuk memilih nasi dan sayur daun singkong yang tadi pagi di petik dari belakang rumahnya. "Maafkan bapak ya, Sel."
Gadis berkaca mata ini mengangkat kepala. Menatap lelaki tua yang wajahnya menghitam karna selalu berperang dengan sinar matahari. Rambut pak Rusdi pun telah memutih sebagian, lengkap dengan kulit-kulit tubuh yang juga telah mengeriput.
"Gara-gara kamu jadi anak bapak, kamu harus ikut merasakan penderitaan ini. Seharusnya, kamu kuliah, kamu sudah mati-matian mengejar nilai teratas agar dapat beasiswa itu. Tapi ...."
"Pak," seru Selly cepat.
Ia mengelus pundak bapaknya, ada yang terasa sakit di ulu hati. Ya, dia memang ingin kuliah dan mengejar impiannya menjadi pengacara atau seorang pembicara. Namun, semua harapan itu luruh karna keadaan. Tapi walau kenyataannya seperti ini, ia juga tak menyalahkan bapak, karna ia tau, ini sudah di gariskan. Tuhan telah mengatur hidup umat sedemikian rupa. Jadi ... nggak mungkin semuanya bukan yang terbaik.
"Sel, kamu ... kamu ambil kuliahnya ya. Biar ... biar bapak ... bapak jadi pengemis aja di lampu merah sana."
Kedua mata yang terlapisi kaca itu melotot. Sangat terkejut mendengar ucapan bapaknya.
"Kalau bapak ngemis di pinggir jalan sana, bapak bisa dapat duit juga. Nanti duitnya bisa kita buat makan sehari-hari. Lalu hasil kerja kamu, kamu tabung untuk keperluan kuliah." Lanjut pak Rusdi.
Selly menggeleng, ada bulir yang menetes dari ujung matanya. "Aku udah nggak mau kuliah, pak. Dapat nilai bagus seperti kemarin, aku udah seneng. Bapak nggak usah mikirin kuliahku. Bapak juga nggak perlu cari uang. Semoga nggak ada kebutuhan yang mendadak, jadi ... uang dua puluh ribu hasil dari jualan pisang itu cukup untuk hidup kita sehari."
Melihat ada linang air mata di mata cekung pak Rusdi, tangis Selly semakin deras juga. Ia menaruh piring dari plastik itu diatas meja. Berhambur memeluk bapaknya, makin menangis di bahu orang yang telah membesarkannya sampai di titik sekarang ini.
"Bapak tenang aja. Aku bisa lulus SMA, itu udah bersyukur banget, pak." Ucapnya, tak terlalu jelas, karna suara isakannya lebih terdengar mendominasi.
"Tapi, nak ...."
Selly melepaskan pelukan, menatap wajah bapaknya yang juga menangis, sama sepertinya. "Pak, aku Cuma punya bapak. Aku nggak punya siapa-siapa. Aku mau bapak sehat, aku mau bapak selalu nemenin aku. Sampai ... sampai aku bisa melakukan sesuatu yang membuat bapak bahagia, aku mau bahagiain bapak. Jadi ... hiks ... jadi bapak nggak perlu lakukan semua itu. Bapak harus sehat, uang itu nggak penting buat aku, pak. Kuliah itu juga nggak penting. Yang paling penting itu adalah bapak."
Kembali ia berhambur, tapi kini memeluk pinggang pak Rusdi, lalu menangis di pangkuannya. "Aku nggak mau jika terjadi sesuatu sama bapak, aku nggak mau hidup sendirian. Aku mau bapak nemenin aku terus. Aku Cuma punya bapak. Hiks ... hiks ... jadi ... jadi diam di rumah aja ya, pak. Biar aku aja yang kerja cari uang buat makan kita."
"Aku udah gede, pak. Aku udah lulus SMA. Umurku juga udah delapan belas tahun."
Pak Rusdi menarik nafas dengan sedikit kesusahan. Ingus di hidungnya, membuatnya kesulitan mengatakan apa pun. Mengelus kepala Selly dengan penuh kasih sayang, bayangan bayi mungil saat pertama kali ia gendong. Lalu senyum istrinya ketika menyambut kepulangannya dari bekerja itu kembali terlintas. Dulu ... sebelum istrinya pergi karna kecelakaan itu, kebahagiaannya begitu lengkap. Ah ... kenangan, kenapa sangat menyakitkan.
"Iya, Sel, bapak akan selalu sehat untukmu."
**
Ini akan menjadi rutinitas untuk Selly. Pukul sepuluh lebih beberapa menit, dia memasuki halaman rumah sakit yang terbesar di kota ini. Setelah selesai mengantarkan pisang goreng ke warung-warung tempat penitipannya, dia baru bisa datang untuk melakukan tanggung jawabnya.
Tersenyum pada satpam yang berjaga di depan pintu kaca, lalu melangkah masuk setelah satpam membantunya membuka pintu. Ia mendorong pintu ruang rawat Langit. Sedikit mengulas senyum saat tatapannya berpapasan dengan lelaki yang akan ia rawat. Entah akan sampai kapan.
Menaruh tas selempangnya diatas meja, lalu berjalan mendekati Langit. "Bapak sudah di pel?"
Kening Langit berlipat. "di pel?" meyakinkan yang ia dengar. Selly ngangguk dengan senyuman tipis. "Kamu pikir saya ini lantai, apa?!" marahnya.
Ada yang terasa menciut didada saat mendengar suara yang sedikit membentak. Karna sejak kecil, ia di besarkan tanpa bentakan. "Buk—bukan itu maksud saya, pak." Ia menarik nafas dalam, mengumpulkan lagi kekuatannya untuk mengatakan kalimat yang lebih panjang. "Dari bapak masuk rumah sakit sampai sekarang, bapak kan belum bisa mandi. Jad—jadi ... gimana kalau tubuh bapak saya pel pakai handuk?"
Paham maksudnya, Langit melengos. Menyembunyikan wajah malu karna telah salah paham. Sampai menit berlalu, dia tetap diam, terlalu malu.
"Gi—gimana? Bapak mau, saya pel?" tanya Selly lagi.
Menghela nafas, lalu ngangguk dengan wajah yang sama sekali tak ramah. Memperhatikan Selly yang kini mengambil baskom, lalu masuk ke kamar mandi untuk mengambil air hangat. Gadis manis itu kembali, menaruh yang ia bawa di meja.
"Mau ganti baju, pak? Atau ... di lap aja?" tanyanya lagi.
Langit mengendus tubuhnya sendiri. "Ganti aja. Di laci ada baju gantinya."
Patuh, Selly membantu Langit untuk sedikit menyandar, lalu melepas baju pasien yang sudah hampir seminggu nempel di tubuhnya. Haah, memang kecut!
Dengan sangat telaten Selly mengelap handuk di setiap jengkal kulit putih Langit. Sebenarnya, umur Langit dan Rusdi nggak terlalu terpaut jauh. Tapi pekerjaan dan keadaan ekonomi yang berbeda, membuat keadaan kulit tubuh mereka jauh berbeda.
Selesai dengan pekerjaannya, Selly mulai memberesi semuanya. Dia nggak boleh terlalu lama didalam ruangan, hanya bisa menunggui Langit dari luar saja. Lalu akan kembali masuk kedalam saat Langit membutuhkannya. Dia pun heran banget. Ada anak dan istri, tapi kenapa dia seperti tak memiliki keluarga? Cckk, hidup memang se-membagongkan ini.
Hari telah berlalu, Selly telah melewati kebiasaan barunya. Jika dulu dia akan sibuk belajar demi mengejar nilai, kali ini dia sibuk mengatur waktu. Sibuk mencari uang dan mengurus dua orang sakit yang berbeda tempat.
Sore hari, setelah selesai mengambil keranjang tempat pisang goreng dari beberapa warung, Selly mengantarkan wadah itu ke rumah Bu Sulis. Dua puluh ribu sehari, akan cukup jika tak akan ada kebutuhan yang mendesak.
Ia diam, menatap uang berwarna hijau itu cukup lama. Kini udah nggak lagi sekolah, berarti ini waktunya dia nyari kerjaan serabutan untuk uang tambahan.
"Buk, beras ya, satu kilo. Sama telur dua, garam, dan minyak goreng yang kecil aja." Ucapnya ke pemilik warung yang udah jadi langganannya.
Seorang wanita yang berumur empat puluhan tahun tersenyum emnyerahkan sekantong plastik ke Selly. Lalu menerima uang berwarna hijau dari tangan Selly. "Masih sisa, Sel."
"Uumm, kalo saya beli balsem urut, duitnya kurang berapa?"
"Masih kurang dua ribu." Ibuk itu menyerahkan balsem berwarna hijau. "Besok nggak apa-apa."
Selly manyun. "Tapi uang tempe kemarin masih kurang seribu. Masa' saya ngutang lagi, buk." Keluhnya.
Si ibuk terkekeh kecil. "Besok kamu bayarnya pas uangnya udah banyak. Nggak apa-apa. Utang kamu juga nggak nyampai seratus ribu kok."
Akhirnya menerima balsem itu. "Makasih ya, buk."
"Kenapa? Capek?"
"Iya, badan saya pegel-pegel semua." Memasukkan balsem ke dalam tas selempangnya. "Yaudah, saya pulang dulu, buk." Pamitnya.
Selly berjalan dengan gontai. Kali ini pikiran dan hatinya terasa sangat kalut. Besok adalah hari terakhir pengumpulan formulir pendaftaran di universitas UP. Dan besok juga adalah waktunya Langit keluar dari rumah sakit. Ia mencengkram tali tas erat, rasanya pengen teriak. Sakit banget saat cita-cita itu udah didepan mata, tapi dengan tiba-tiba harus di kubur paksa.
Mendudukkan p****t di kursi lapuk depan rumah. Mengusap kedua mata yang mengembun. Tak mungkin ia masuk kedalam rumah dengan keadaan yang sedih, karna pasti bapaknya akan sibuk bertanya dan itu akan membuat vertigo bapak kambuh lagi.
Klunting!
Hape didalam tasnya berbunyi, membuat lamunannya sedikit terganggu. Ia kembali mengusap ingus dan kedua mata, lalu merogoh tas. Mengeluarkan hape jadul yang hanya bisa menerima sms dan telpon saja.
[besok kamu ke kampus jam berapa, Sel?]
Serentet pesan singkat yang dikirim oleh Yuna membuatnya mendengus kasar. Ia membuang nafas beberapa kali untuk mengalihkan tangis yang akan kembali memenuhi kedua matanya. Tapi gagal, karna kali ini tangis itu lebih deras dari yang sebelumnya.
"Enak hidupmu, Na. kamu jadi anaknya orang kaya. Mau apa aja, kamu nggak perlu mikir lama kek aku. Hiks ...." Ia meremas kaos bagian d**a. Hidupnya terasa sakit.
"Enggak, ah. Jadi Yuna juga nggak enak." Ia melepas kaca mata, menunduk, menangis lagi. "Ya Tuhan, gimana cara ikhlasin semuanya?"
Klunting!
[kamu masak orek tempe lagi? Atau kamu amasak tumis daun singkong lagi? Aku besok bawain ya, Sel. Kita tukeran. Besok aku bawain ayam gorengnya upin ipin sama ati ampela kesuakaan kamu.]
Kembali pesan dari Yuna membuatnya membuang nafas. Lalu manyun, tapi tangannya mulai sibuk menulis beberapa huruf untuk membalas pesan singkat itu.
"Yaah, pulsanya habis." Keluhnya, kini bibir tipis itu melengkung kebawah dengan sangat jelek. "Maaf ya, Na. aku nggak bisa balas pesan kamu. Aku nggak ada pulsa. Aku besok juga nggak ke kampus. Dan aku nggak masak orek tempe atau tumis lagi. Besok aku Cuma goreng telur satu, karna bawang putihku habis." Ucap Selly dengan menatap layar hape yang ada di tangan.
Klunting!
Baru aja ia akan memasukkan hape kembali kedalam tas, barang antik itu kembali berbunyi, membuatnya kembali menatap hapenya dengan kening berlipat.
"Astamas!"
Kedua mata melotot saking terkejutnya. Ia melepas kaca mata, mengelapnya, lalu memakainya lagi. Takut banget kalau ternyata ia salah lihat.
"Ya Tuhan, ini beneran pesan dari Awan." Lirihnya dengan begitu terkejut.
Tersenyum, merem memeluk hape itu dengan kegirangan. "Yaampun, dia sms aku. Aaa ... aku seneng banget."
Detik berlalu, bahkan sampai hitungan menit, kembali ia menatap layar sempit di hape itu.
[jadi di IT?]
Klunting!
"Eh, dia kirim pesan dua kali." Kembali senyum lebar itu menghiasi wajah jeleknya yang kusut karna air matanya tadi. Beneran merasa dapat pelipur galau.
[sorry, salah kirim]
Bibir yang udah melengkung lebar itu, kini jadi cemberut lagi.
"Yaah, salah kirim."