Eps 1

1521 Kata
Di ujung karidor, seorang gadis dengan rambut dikepang dua tersenyum Bahagia. Berkali mengucap syukur dengan tanpa suara sambil memeluk buku n****+ yang baru ia pinjam dari toko buku. Menit kemudian, dia membenarkan kaca mata. Bibir tipisnya Kembali tertarik keatas, menciptakan senyuman manis yang sayangnya tak ada yang tau jika dia memang manis. Selly Puspita, gadis manis yang terlahir dari keluarga miskin. Dia bisa tetap menempuh sekolah menengah atas ini karna berhasil mendapatkan beasiswa. Seandainya saja, dia gagal, mungkin dia benar-benar tak bisa melanjutkan sekolah di SMA. Dan hari ini, dia telah mendapatkan nilai yang bagus, walau bukan di urutan yang pertama, tapi dia tetap ada di tiga besar. Dari banyaknya teman-teman yang riuh didepan papan pengumuman, pandangan matanya hanya tertuju ke satu orang saja. Seseorang yang tanpa disadari telah mencuri segala perhatiannya sejak lama. Awan Seakraz Efendi, cowok yang jahilnya kebangetan. Badboy, tapi pintar dan memang tampan. Bhuuk! Buku yang ada dalam dekapan jatuh ke lantai. Selly salah tingkah karna dia merasa telah tertangkap basah memperhatikan Awan. Segera mengambil novelnya dengan cepat, lalu berbalik dan melangkah menjauh. "Sell!" Sebuah panggilan membuat langkahnya terhenti, terlebih ia cukup hafal dengan pemilik suara itu. Menoleh, menatap Ayuna yang berlari kearahnya. Satu tangan bergerak, membenarkan kaca mata yang sebenarnya minta untuk diganti. "Kenapa. Na?" tanyanya. Yuna tersenyum lebar, memperlihatkan kedua lesung pipinya. "Selamat ya, kamu ada di nomor dua lho. Hebat banget tauk!" berhambur, memeluk teman yang paling dekat dengannya. Selly mengulas senyum. "Kamu juga hebat lho. Ada di sepuluh besar." "Karna ada di nomor dua, berarti kamu jadi dong, ambil kuliah di UP?" Yuna melingkarkan tangan di lengan Selly, mengajak gadis itu untuk duduk di kursi yang terbuat dari beton di depan teras kelas 12 IPA3. "Insyallah jadi, Na. semoga nggak ada halangan." Jawabnya dengan senyum tipis. Yuna nabok lengan Selly dengan tawa kecil, kelihatan banget kalo dia gemas ke Selly, dan itu buat kening Selly jadi berlipat. "yaampun, Sell, aku bangga banget jadi teman kamu. Kamu hebat lho. Dari kelas satu kan, kamu selalu masuk ke tiga besar." Selly tersenyum, terlihat sangat malu, tapi cukup senang dengan sanjungan Yuna. "Awan lebih hebat, Na. dia sekarang ada di nomor satu." Kedua mata bulat Yuna melotot, menatap Selly dengan tak percaya. "Eh, siapa? Awan ya?" tertawa kecil, menuding tepat di wajah Selly. Merasa keceplosan, Selly memalingkan wajah, menyembunyikan ke gugupan. Astaga ... gimana bisa mulutnya nyeplos tanpa ingat siapa yang di omongin sih. "Hahaha ... aku tau kali, Sell. Kamu sebenernya suka kan, sama Awan? Hayoo ... ngaku aja ... hayooo ...." "Na," Selly berusaha menghentikan tangan Yuna yang menarik lengannya, memaksanya untuk ngaku. "Awan ganteng kok, Sell. Andai aja aku belum punya Pangeran, aku pasti juga bisa suka ke Awan. Nggak apa-apa, aku dukung kamu sama Awan. Kalian itu cocok." Lanjut Yuna, nggak peduli sama wajah Selly yang sekarang malu banget. "Oo ... jadi Awan ganteng ya. Ooo ... jadi begitu ya ... ooo ...." Suara seorang cowok membuat keduanya menoleh kearah datangnya suara. Terlihat cowok tampan yang seragamnya udah penuh pilok itu manyun, lalu berbalik, melangkah menjauh. "Eh, Izroil," seru Yuna, paham banget. Pasti suaminya ini udah ngambek lagi. Sifat barunya Pangeran kan ... cemburuan. Selly menarik lengan Yuna, membuat gadis mungil itu urung mengejar Langkah Pangeran. "Aku mohon, jangan bilang ke siapa-siapa ya, Na." Mendengar permintaan lirih Selly, kembali kedua mata Yuna melotot, lalu mengulas senyum tipis. "Jadi bener, kamu suka sama Awan?" Selly celikukan, tingkahnya jadi lucu banget. "Aduuh, jangan kenceng-kenceng. Nanti ada yang dengar." Lirihnya. Yuna menutup mulut dengan kekehan, ngangguk cepat. "Iya, iya, aku lupa." Menepuk bahu Selly. "Tenang aja, aku nggak akan bilang ke siapa-siapa kok. Keep silent." Menggerakkan jari jempol dan telunjuk di depan mulut. "Aku mau kejar Pangeran dulu ya. Dia pasti udah ngambek, karna aku tadi ngomongin Awan." Selly mengulas senyum dengan anggukan. Membiarkan sahabatnya ini melangkah, berlari kecil mengejar suaminya yang udah jauh pergi entah kemana. Menunduk, menatap buku n****+ yang masih ia peluk. Menghela nafas sebentar, kembali ia mendudukkan p****t ke kursi beton. "Ndung, lo ambil yang di UP?" suara Mico dari arah belakang membuatnya mengeratkan pelukan di buku n****+. "Jadi lah. Itu kan juga gratis. Nggak perlu ngomong ke Papi dulu." Ini suara Awan. Selly langsung merem, merasakan dadaa yang jadi berdebar. Bahkan perasaan aneh itu langsung menyergap seluruh tubuh. Hanya dengar suaranya lho. Ah, kalian nggak akan bisa bayangin, kek apa Selly nahan gemetar saat ngurus Awan selama setengah tahun itu. "Duh, bentar, ini gue kebelet pipis. Tungguin parkiran." Mico berlari setelah menepuk bahu Awan. "Cckk, dasar beser!" ejek Awan dengan kekehan. Kini pandangannya tertuju kearah Selly yang tak terlalu jauh dari tempatnya berdiri. Menyunggingkan senyum, melangkah mendekati gadis mungil yang bahkan tingginya hampir sama dengan Yuna ; Wanita yang pernah mencuri hatinya, bahkan sampai sekarang, rasa kagumnya dengan Yuna, masih ada. Walau setitik. "Heh, udik!" serunya, jutek, ketus, sama sekali nggak ada nada menarik. Yang di panggil langsung jantungan. Makin mengeratkan pegangan di buku n****+, satu tangan terkepal mencengkram erat tali tas. Makin menunduk, mengumpulkan keberanian untuk menjawab panggilan itu. Dengan sangat pelan, Selly beranjak dari duduknya, memutar tubuh agar bisa berhadapan dengan cowok yang selalu membuat semangat sekolahnya membara. "Lo ambil jurusan apa di UP?" tanya Awan dengan kedua tangan yang masuk ke dalam saku celana. Selly menarik nafas panjang, tangannya membenarkan kaca mata sebentar. "Ak—aakku ... uumm, aku ambil komunikasi." Cara ngomongnya memang masih grogi, gagu, tapi udah lebih mending dari pada saat pertama kali dulu. Kening Awan berlipat, terkekeh mengejek. "Lo nggak ngaca apa? Cara lo ngomong aja udah mirip robot yang kehabisan batrai. Kek gitu mau ke komunikasi?! Nggak bakalan di terima! Ambil jurusan TI aja, yang jelas lo nggak bakal tatap muka sama orang." Bhukk! Mico nabok punggung Awan dari belakang. "Anak orang, Ndung! Jan lo bully terus. Nggak kasihan apa? Dari kelas satu, bahkan sampai kita lulus, lo masih aja nge-bully. Ini pertemuan terakhir kita lho." "Cckk," Awan memicing. "Gue nggak ngebully. Tapi kasih nasehat. Orang susah ngomong kek dia, masa' mau masuk jurusan komunikasi? Gila apa?" Mico terkekeh, menatap Selly yang menunduk dalam, terlihat banget kalau malu, atau ... entahlah. "Ooo, ternyata kasih perhatian, kirain ngebully neng Selly." Cepat tangan Awan mentonyor kepala Mico. "Bacot lo, pesing!" nggak peduliin sahabatnya yang mentertawakan, ia segera berbalik dan melangkah menjauh. Tau jika kedua cowok itu berjalan menjauh, Selly mulai mengangkat kepala. Menatap punggung kedua teman sekelasnya dengan senyum tipis. Ada rasa bahagia yang menelusup dihati. Bukankah tadi itu sebuah permintaan? Oke, mulai sekarang, dia nggak perlu lagi belajar ngomong di depan cermin sambil teriak, ngebayangin kalo lagi ngomong di depan banyak orang. Menit berlalu. Selly melangkah keluar dari ruang guru. Menatap selebaran formulir untuk pendaftaran ke universitas UP. Tersenyum riang membayangkan reaksi sang Bapak yang pasti Bahagia. Impian Bapaknya dulu, bisa bersekolah di universitas UP, sama seperti ibunya. Namun, sayang banget, bapaknya nggak bisa masuk kesana karna biaya. Bapaknya bukan termasuk siswa pintar, makanya nggak bisa dapat beasiswa seperti Selly sekarang. Memasukkan selebaran itu kedalam tas, melanjutkan Langkah untuk pulang ke rumah. Binar Bahagia jelas terlihat di wajah polosnya. Bayangan saat Awan ngomong tadi, lalu penjelasan bu Fatma yang mengatakan jika Awan tadi memilih mengambil kuliah di UP dengan jurusan TI. Harapan. Dia sangat berharap suatu saat nanti. Entah Tuhan akan mengabulkannya kapan, Awan adalah lelaki pertama yang akan ia lihat Ketika bangun dari tidurnya. ** Mengulurkan selembar uang ke sopir angkot. Lalu melangkah, masuk ke gang kecil menuju rumah. Beberapa meter ia berjalan, perasaan tak nyaman mulai menyelimuti. Melihat ada banyak orang yang mengerumini jalan kecil masuk ke halaman rumahnya. Yakin jika ada sesuatu yang terjadi, Selly segera berlari, menerobos kerumunan orang-orang itu. Kedua mata melotot begitu kaki melangkah masuk ke pintu utama rumah. Terlihat didepan mata, Bapaknya yang terkurai diatas ranjang dengan satu tangan di perban, lalu kepalanya juga tertutup oleh kain kasa. Selly melemparkan buku serta tas ke sembarang arah. "Bapak," memegang lengan Pak Rusdi yang tak terbalut kain kasa. "Bapak kenapa?" Pak Rusdi menghela nafas yang terlihat begitu berat, sampai dadaa terlihat naik turun. "Gara-gara bapak kamu ini, sekarang suami saya harus di opname di rumah sakit." Suara seorang Wanita membuat Selly mengangkat kepala. Saking paniknya, ia sampai nggak menyadari jika di kamar bapaknya ini ada beberapa orang juga, termasuk Wanita berpenampilan glamour ini. "Sell," seru pak Rusdi, lirik dan terlihat menahan sakit. "An—anda siappa?" tanya Selly dengan terus menatap Wanita itu. Wanita yang umurnya udah ada diangka empat, rambutnya yang sepunggung ia biarkan terurai dengan bando tipis yang melingkar dikepala. Wajahnya memang cantik, terlebih sapuan make up yang tidak tipis, mengesankan jika ia adalah orang berada dan ... galak. "Saya Merry, istrinya Langit Efendi. Orang yang sudah dicelakai bapakmu." Ucap Wanita itu, memperkenalkan diri. "Sekarang suami saya masih belum sadarkan diri. Mobilnya juga rusak parah karna menabrak tiang listrik." Kening Selly benar-benar berlipat. Ini gimana ceritanya? Kenapa bapaknya yang kesehariannya hanya jualan cilok, bahkan hanya menaiki sepeda tua, bisa celakain pak Langit yang naik mobil? Aneh kan? "Lebih parahnya lagi, suami saya terancam lumpuh di kedua kaki. Padahal dia harus bekerja mengurus perusahaan di Filipina. Jadi, kalian harus menanggung semua kerugian ini." Novel ini spin of dari n****+ -Pernikahan Anak SMA-, yang belom baca; kuy baca
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN