39 - Kebetulan?

1516 Kata
           Bau darah yang berada di sekelilingnya membuat Syville mulai mual. Tidak hanya itu, ruangan yang sangat gelap membuatnya merasa berada di tempat yang sangat sempit, ia mulai sesak napas.            Mengabaikan kakinya yang terasa lemas, Syville mencoba untuk bangun dan meminta pertolongan pada seseorang. Mungkin jika seorang petugas medis bisa lebih mengerti hal seperti ini darinya … mungkin ayahnya masih bisa diselamatkan …            Belum sempat ia berdiri sepenuhnya, ruangan yang sebelumnya sangat gelap diterangi oleh cahaya untuk sesaat. Seseorang baru saja masuk ke dalam tenda ruang medis dengan membawa lentera di tangannya.            “Kenapa gelap sekali? Apa semuanya sudah tidur?”            Syville memutar kepalanya menghadap ke sumber suara. “Kakak …” kata Syville dengan suaranya yang lirih. Rasanya lebih terdengar seperti merengek dari pada memanggil kakaknya.            “Syville? Apa yang kau lakukan di bawah sana …”            Perkataan Vayre seakan menggantung di udara. Lentera yang ia bawa seketika jatuh ke tanah, untung saja kaca yang mengelilingi lilin itu membuat apinya tidak menyebar.            Dengan tangan yang sedikit bergetar, Vayre menarik Syville untuk berdiri dan melihatnya dari ujung kaki hingga ujung kepala, memeriksa apakah Syville terluka.            Setelah ia yakin Syville tidak terluka sedikit pun, tanpa sadar Vayre memeluknya dengan erat. “Untunglah kau tidak apa-apa … untunglah …”            “Kakak … ayah …” Lidah Syville masih terasa kaku. Ia tidak bisa mengeluarkan apa yang ingin ia katakan.            Vayre mengusap punggung Syville dengan halus. “Aku mengerti, aku mengerti. Kita harus memberi tahu yang lain secepatnya.”            Mendengar perkataan kakaknya, Syville mencoba untuk berdiri sekali lagi. Tetapi sama seperti sebelumnya, kakinya langsung menyerah dan ia kembali jatuh berlutut di tanah.            Sedetik berikutnya, tubuh Syville sudah terangkat ke udara karena sebuah tarikan. Hal selanjutnya yang baru ia sadari adalah tubuhnya yang digendong oleh kakaknya.           “Jangan! Jangan beritahu siapa pun terlebih dahulu,” kata Syville cepat sebelum kakaknya meneriakkan sesuatu. “Panggil Dan. Tidak, kita harus memberi tahu Dan secara langsung terlebih dahulu.”            Entah kenapa rasanya Syville mendengar sesuatu. Sesuatu yang berbisik kepadanya kalau ia lebih baik memberi tahu Dan terlebih dahulu, dan jangan membiarkan hal ini tersebar luas dengan cepat.            Melihat wajah Vayre, Syville tahu ia ingin menanyakan hal itu. Tetapi ia tetap menutup mulutnya dan langsung keluar dari ruangan medis.            Syville menyipitkan kedua matanya ketika ia dibawa keluar dari ruangan medis yang sangat gelap itu. Angin menerpa wajahnya karena kakaknya membawanya sambil berlari cepat. Banyak prajurit yang melihat ke arah mereka berdua. Meski begitu, semua petanyaan dan pandangan bingung mereka diabaikan oleh Vayre dan juga Syville.            Ketika Syville mengangkat wajahnya, ia bisa melihat kalau kening kakaknya berkerut dengan dalam, matanya juga mulai terlihat merah. Melihatnya yang seperti itu membuat Syville ingin menangis. Tetapi ia menahannya sampai mereka tiba pada tenda di mana Dan berada.            “Dan! Dan!”            Sedikit terkejut dengan Vayre dan Syville yang digendong olehnya, Dan langsung menyemburkan semua minuman yang belum sempat ia telan. Tidak kalah paniknya, Dan berdiri dari duduknya dan langsung mendekat ke arah Vayre dan juga Syville. “Ada apa? Apa yang terjadi padamu, Nona?”            Vayre menurunkan Syville pada kursi yang paling dekat dengannya. Sedangkan Dan yang baru sadar kalau wajah Syville sangat pucat langsung meminta seorang asistennya untuk mengambilkan minum untuknya.            “Aku tidak terlalu jelas melihat apa yang terjadi. Tapi … sepertinya seseorang … baru saja … membunuh ayah …”            Gelas yang baru sada diterima oleh Dan dari asistennya terjatuh dan pecah di atas tanah. Tidak hanya itu, nampan yang dibawa asistennya juga menyusul gelas itu ke atas tanah.            “Ap—apa?”            Syville menelan ludahnya dengan susah payah, kemudian berkata, “Aku … aku melihatnya, Dan. Se … sebuah belati tertancap di dadanya …”            “Suruh seorang petugas medis dan juga beberapa prajurit untuk memeriksa apa yang terjadi di ruang medis!” sahut Dan kencang pada asistennya yang lain.            Untuk beberapa saat, dari lima asisten yang berada di ruangan itu tidak ada yang bergerak. Ketika Dan kembali memerintahkan mereka, akhirnya mereka semua bergerak secara bersamaan dengan panik.            “Tunggu di sini. Aku juga harus melihat keadaannya terlebih dahulu,” kata Dan sambil menggunakan jaket dan membetulkan posisi kacamatanya. “Bagaimana ini bisa terjadi …”            Syville menarik tangan Dan sebelum ia berlari keluar ruangan itu. “Dan! Jangan sampai … jangan sampai seseorang dari keluarga Livanto mengetahui hal ini,” kata Syville dengan suara yang bergetar.            Dengan pandangan bingung, Dan berkata, “Kenapa?”            “Pokoknya jangan! Aku mohon.”            Vayre yang ada di sampingnya menatap Dan dengan bingung. Begitu pula dengan Dan yang membalas tatapan itu dari Vayre. “Baiklah. Setelah aku memastikan keadaannya, bisa kau menceritakan semuanya, Nona?”            Syville hanya bisa menganggukkan kepalanya untuk menjawab perkataan dari Dan, kemudian melepas pegangan tangannya dan membiarkan Dan keluar dari ruangan itu.            Ketika Vayre dan Syville baru memasuki ruangan di mana Dan berada, sebuah gambaran tiba-tiba muncul memenuhi pandangannya. Untuk sesaat, ia sempat bingung untuk membedakan mana yang saat ini sedang ia alami dan gambaran yang saling tumpang tindih itu.            Syville tidak bisa menjelaskannya dalam waktu singkat, karena ia harus mengingat apa yang ia ‘lihat’ dari semua gambaran itu.            Vayre berlutut di depan Syville, membuat pandangan mereka sejajar. “Syville, aku harus ikut bersama Dan untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Kau tidak keberatan kalau aku meninggalkanmu untuk sesaat, ‘kan?”            Sekali lagi, Syville hanya bisa menganggukkan kepalanya untuk menjawab pertanyaan yang tertuju padanya. Setelah kepalanya dielus pelan oleh Vayre, seketika ia sendirian di ruangan itu.            Rasanya, waktu terhenti untuk sesaat karena tidak ada suara yang bisa di dengarnya. Dengan usaha yang sangat keras, Syville mencoba untuk menggapai gambaran yang selalu muncul tiba-tiba. Gambaran yang saling tumpang tindih itu tidak pernah ia alami, tetapi entah kenapa perasaan yang ia rasakan ketika melihat gambaran itu benar-benar menyakitkan.            Rasanya, ia pernah mengalami hal itu secara langsung. Rasanya, ia pernah melewati kejadian seperti itu sebelumnya. Rasanya, semua yang ia lihat seperti kepingan memori yang sempat ia lupakan.            Kebiasaan lamanya ketika ia sedang berpikir keras dan gugup secara bersamaan kembali. Syville menggigit kuku ibu jarinya dan mengetukkan kakinya ke lantai tanpa henti.            Syville tidak pernah memiliki kemampuan untuk mengetahui masa depan. Beberapa hari ini juga rasanya ia sempat melupakan sesuatu yang sangat penting.            Kemudian … Ze … Ze ….            Nama yang sempat terselip di antara mulutnya itu tidak pernah bisa Syville lupakan dan abaikan begitu saja. Ada sesuatu yang benar-benar ia lupakan.            Sesuatu yang penting seperti itu tidak mungkin ia lupakan dengan mudah. Sesuatu ‘membuatnya’ untuk melupakan hal itu.            Satu hal yang pasti, jika ia membiarkan seseorang dari keluarga Livanto mendengar kabar tentang hal ini … sesuatu yang buruk akan terjadi pada dirinya dan juga kakaknya.            Tetapi sampai saat ini, Syville masih belum bisa mengingat semuanya dengan jelas. Rasanya ia harus mengalami suatu kejadian terlebih dahulu sebelum ia tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.            Sadar kalau sesuatu yang buruk dapat terjadi pada kakaknya, Syville tidak menginginkan hal itu. Kalau bisa, ia menghindarinya sebisa mungkin. Tapi, bagaimana caranya? Menunggu kabar dari Dan atau kakaknya rasanya sangat terlambat. Membicarakan hal ini secara langsung dengan Cain juga bukan pilihan yang tepat.            Apa mengingat nama yang hampir ia sebutkan itu jawabannya?            Ze … Zea … Zeb … Zec … Zed …            … Zew? … Zex? … Zey? … Zet … ?            Lidah Syville terasa gatal mencoba untuk menemukan nama yang ia cari-cari. Ketika lidahnya menyebutkan ‘Zet’, nama yang belum pernah ia sebutkan tapi terasa nyaman itu membuatnya berpikir mungkin itu jawaban yang ia cari-cari selama ini.            Namun, tidak ada hal yang ia rasakan selain lidahnya yang terasa nyaman menyebutkan hal itu. Ia juga tidak mengingat hal lain. Sepertinya, mengingat nama yang terselip begitu saja tidak cukup untuk menemukan jawabannya.            “Hai Dan, aku ingin membicarakan sesua … tu?”            Mendengar seseorang yang tiba-tiba bicara dan masuk begitu saja ke dalam ruangan itu, Syville langsung menengok ke sumber suara.            Rasanya, jantungnya berhenti seketika. Seseorang yang benar-benar tidak ingin ia temui muncul di depannya. “Cain … apa kau perlu sesuatu?” kata Syville setelah berdeham untuk menghilangkan suaranya yang sedikit serak. Di saat seperti ini, ia tidak bisa memperlihatkan Cain kalau ada sesuatu yang terjadi.            Cain mengedipkan matanya beberapa kali sebelum akhirnya berkata, “O-oh … Syville? Aku tidak tahu kau ada di sini … ke mana Dan?”            Syville mengusap lengannya. Entah kenapa rasanya bulu kuduknya meremang seketika. “Dan ada keperluan dengan kakakku. Apa yang ingin kau bicarakan? Mungkin aku bisa memberi tahunya setelah mereka kembali? Mereka sudah pergi sekitar sepuluh menit yang lalu.”            “Oh. Tidak perlu … lebih baik aku memberitahunya sendiri—”            “Tuan! Tuan Cain! Ini gawat!”            Seorang prajurit yang menggunakan seragam keluarga Livanto masuk ke dalam ruangan dengan wajah yang panik. “Tuan Cain! Sesuatu terjadi pada Marquis Lyttleton!”            “Apa maksudmu?”            “Seseorang … seseorang membunuh Marquis Lyttleton!”            Dengan kedua alis yang terangkat, Cain memutar tubuhnya untuk menatap Syville dengan wajah yang tidak percaya. “Sy … Syville …”            Syville menelan ludahnya. Entah kenapa ia merasa tidak nyaman dengan kebetulan yang beruntun ini. “Jelaskan padaku,” pinta Syville memilih untuk pura-pura belum mengetahui hal tersebut. []                            
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN