Awalnya Lucius hanya memiliki niat untuk pura-pura menjadi seseorang yang baik menemani Zoe selama dua hari. Namun … hampir satu minggu telah berlalu sejak ia memutuskan hal itu.
Saat ini, rutinitas Lucius setiap pagi adalah membantu Zoe yang sedang membantu anak-anak penduduk desa yang sedang membantu orang tua mereka untuk mengasapi atau mengeringkan ikan hasil tangkapan mereka yang bekerja sebagai nelayan. Tentu saja, mereka berdua dibayar. Bukan dengan uang, melainkan dengan beberapa ikan yang sudah siap dan bisa langsung dimakan.
Meski hampir setiap menu makan mereka berdua adalah ikan, ikan dan lagi-lagi ikan, Lucius tetap merasa kalau ikan yang ia makan saat ini lebih enak dibandingkan dengan makanan mewah yang sering ia makan di ‘rumah’ atau selama ia melakukan pekerjaannya.
Setelah hari menjelang siang, mereka membantu penduduk desa untuk memindahkan beberapa barang ke atas kereta kuda yang akan dijual ke kota terdekat. Para pedagang tersebut biasanya memberi mereka beras, kentang, atau bahan makanan lainnya. Terkadang juga uang.
Saat hari mulai sore, Lucius dan Zoe membantu penduduk desa yang bekerja di perkebunan atau peternakan yang berada sedikit jauh dari desa. Sama seperti yang lain, biasanya mereka mendapat sayuran yang cukup banyak sebagai bayaran mereka. Jika sedang beruntung, mereka mendapatkan s**u atau pun telur.
Pekerjaan seperti ini sangat menguras tenaga, lebih melelahkan dibandingkan dengan ‘pekerjaan’ yang sering dilakukan oleh Lucius sebelumnya. Meski bayarannya hanya berupa bahan-bahan untuk makanan mereka sehari-hari, atau jika mereka beruntung, mereka bisa mendapatkan uang sebagai bayarannya … Lucius merasa kalau kehidupannya saat ini … membuatnya dapat merasakan apa yang disebut sebagai ‘nyaman’ dan ‘bahagia’.
Lucius tidak pernah merasakan hal yang seperti ini sebelumnya. Bahkan ia tidak pernah berharap dapat merasakannya karena darah dari keluarga pembunuh mengalir pada tubuhnya.
Mungkin karena Lucius sering berinteraksi dengan Zoe, senyuman yang selalu terpasang di wajahnya mulai tertular pada Lucius. Meski sedikit, bahkan sangat tipis dan tidak terlihat sama sekali jika orang lain tidak memerhatikannya dengan jelas, Lucius bisa mengangkat ujung bibirnya lebih mudah dibandingkan dengan sebelumnya.
Wajahnya terasa lebih nyaman ketika ia melakukan hal itu. Berbeda sekali ketika ia harus memasang ‘senyum bisnis’ yang kaku dan sangat palsu itu.
Karena itu, ia akan menikmati detik demi detik waktu yang ia habiskan di tempat ini. Sebelum kakak atau ayahnya berhasil menemukan Lucius di tempat ini, dan ia harus kembali menjalankan hari-hari dengan menghentikan kehidupan seseorang.
Seperti biasa, ketika hari sudah mulai gelap, mereka pergi ke sungai terdekat dan membersihkan tubuh mereka. Setelahnya, mereka kembali ke rumah.
Zoe yang tinggal sendiri tentu saja bisa memasak. Namun, rasa masakannya sangat biasa. Atau lebih tepatnya … dia hanya bisa menghangatkan makanan yang diberikan oleh penduduk desa dan juga membuat tumis sayuran yang hanya ditambah dengan garam.
Lucius yang sudah tidak bisa tahan dengan rasa masakan yang sama setiap hari akhirnya mengambil alih dapur. Dengan memanfaatkan beberapa rempah mau pun tumbuhan yang ada di sekitar desa, ia bisa mengubah rasa masakan sederhana menjadi lebih lezat dibandingkan dengan sebelumnya.
Zoe, yang menemukan potensi Lucius yang dapat memasak makanan yang lezat meski dengan bahan yang sama langsung meminang Lucius. Tentu saja, Lucius tolak setelah menghajar wajah Zoe untuk mengembalikan akal sehatnya.
Dengan suapan yang besar, Zoe menghabiskan makanan yang ada di atas piringnya dalam waktu singkat. Melihatnya seperti itu, entah mengapa sebuah gambaran yang saling tumpang tindih memenuhi penglihatan Lucius.
Rasanya ia sering melakukan hal ini … memakan masakan yang sederhana semacam ini dengan orang lain. Dengan … temannya?
Lucius menggelengkan kepalanya untuk menghilangkan pemikiran itu. Hal itu tidak mungkin terjadi, karena sampai saat ini ia tidak memiliki … seseorang yang bisa dianggap sebagai temannya.
“Afa aoa Lyciuz?” tanya Zoe dengan mulutnya yang penuh. Nasi yang menempel di ujung bibirnya membuat Lucius merasa terganggu.
Lucius melemparkan sebuah lap bersih ke wajah Zoe. “Jangan bicara dengan mulut yang penuh.”
Zoe tertawa sambil mengunyah makanan yang ada di mulut dan menelannya. “Ada apa? Untuk beberapa saat wajahmu terlihat sedih. Apa kau mengingat sesuatu?”
Kedua alis Lucius langsung terajut, kemudian ia menyentuh wajahnya sendiri yang katanya terlihat ‘sedih’. “Omong kosong apa itu? Aku masih belum ingat apa-apa.”
“Hmm … mungkin kau seorang juru masak sebuah kapal? Karena kau mahir dalam memasak, dan juga mungkin sesuatu terjadi dan membuatmu jatuh ke laut dan berakhir di sini?”
“Mungkin,” jawab Lucius singkat.
“Eyy! Ayolah~ Aku sudah menceritakan semua tentang diriku dari ingatan pertamaku sampai saat ini, dan aku belum mendengar apa pun tentang dirimu!” protes Zoe sambil menancapkan garpunya pada ikan bakar yang tidak bersalah. “Ceritakan apa pun tentang dirimu! Aku bosan!”
“Tapi kau tahu aku hanya ingat namaku …”
“Semua orang bebas untuk mengarang bebas! Buat sebuah cerita untuk latar belakangmu. Siapa tahu kau bisa menarik perhatian seorang gadis, hm?”
Lucius mendesah panjang sambil menyandarkan punggungnya ke kursi yang di dudukinya. Mungkin jika ia benar-benar menceritakan tentang dirinya dengan alasan ‘mengarang bebas’, Zoe tidak akan mudah mempercayainya, ‘kan?
“Kalau begitu … aku hanya tinggal bertiga dengan ayah dan kakakku …”
“Hm, kakakmu laki-laki atau perempuan?”
“Laki-laki.”
Zoe menganggukkan kepalanya. “Lalu?”
“Ibuku tidak tahan di rumah karena aku dan kakakku memilih untuk bekerja seperti ayah …”
“Apa pekerjaan ayahmu?”
“ … seorang pembunuh bayaran?”
Sendok yang akan masuk ke mulut Zoe sempat terhenti di udara, setelah beberapa saat ia berkata, “Mhm menarik. Lalu?”
“Kau tidak merasa takut?”
“Kenapa harus takut? Kita sedang mengarang bebas, ‘kan?”
Lucius mengedipkan matanya satu kali, kemudian bertanya, “Tapi bagaimana jika aku benar-benar memiliki ayah seorang pembunuh bayaran, dan aku juga memiliki pekerjaan yang sama dengannya? Bukankah aku terdengar seperti pembunuh berdarah dingin?”
Zoe mengusap dagunya berpikir dengan mata yang disipitkan. “Apa kau merasa senang ketika melakukan pekerjaan itu?”
“ … Tidak.”
“Kalau begitu, kau bukan seorang pembunuh berdarah dingin, ‘kan? Kau hanya melakukan hal itu karena ingin bertahan hidup.”
“Bertahan hidup?”
Zoe menganggukkan kepalanya beberapa kali sambil menyendokkan makanan ke mulutnya. “Biasanya seorang anak laki-laki ingin mengikuti apa yang dilakukan oleh ayahnya, ‘kan? Dari kecil mungkin kau mengikut apa yang dilakukan olehnya tanpa memikirkannya baik-baik. Seperti keinginan seorang anak kecil yang ingin terlihat keren seperti orang tuanya.”
Meski Lucius menganggap apa yang baru saja dikatakan oleh Zoe adalah omong kosong, tetapi perkataannya itu benar-benar membuat ia berpikir. Mungkin … mungkin saja jauh di bawah alam sadar Lucius … ia memang melakukan semua pekerjaan kotor itu karena ingin seperti ayahnya? Ingin dipuji oleh ayahnya?
“Lalu, penyebabmu jatuh ke laut dan berakhir di tempat ini karena apa? Gagal melakukan ‘pekerjaan’mu itu dan mereka memilih untuk membuangmu ke laut?”
“Aku mendapat tugas untuk menjaga seseorang yang harus menghadiri pesta di sebuah kapal pesiar. Ternyata ada pembunuh bayaran lain yang mencoba untuk membunuh klienku.”
“Oh, jadi kau ditendang ke laut setelah kalah dari orang lain? Payah!” ledek Zoe sambil terkekeh pelan. “Berarti … apa yang terjadi pada klienmu itu?”
Lucius hanya menjawab pertanyaan itu dengan mengangkat kedua bahunya, dan berharap di dalam hati kalau Tria baik-baik saja …
“Hm! Kemampuan mengarang bebasmu itu cukup menarik! Mungkin dengan ceritamu itu, kau bisa menarik perhatian beberapa orang. Ditambah dengan wajahmu yang yaaa … tidak terlalu buruk kau bisa menggaet seorang gadis dengan mudah, ‘kan?”
Lucius memutar kedua bola matanya. “Untuk saat ini aku tidak memikirkan hal itu. Aku hanya ingin hidup dengan nyaman.”
“Perkataanmu itu seperti orang tua! Cepat, habiskan makananmu, kakek. Hari sudah malam dan seseorang yang sudah lanjut usia harus tidur dengan cepat,” kata Zoe meledek Lucius.
Lucius tidak menjawab perkataan itu dan langsung menghabiskan makanannya.
.
.
Keesokan harinya sedikit berbeda dari pada biasanya. Meski Lucius tidak melakukan pekerjaan seperti sebelumnya, telinga, penciuman dan kesadaran pada lingkungan sekitarnya masih cukup tajam. Saat ini, ia sedang merasa kalau dirinya … atau desa di mana ia berada sedang diawasi oleh beberapa orang.
Karena Lucius bisa menemukan orang-orang itu dengan mudah, ia yakin mereka bukan seseorang yang dikirim oleh keluarganya untuk membawanya kembali. Satu hal yang dapat ia simpulkan, mungkin mereka sekumpulan perampok atau bandit yang biasa menyerang desa kecil dan mengambil barang-barang berharga penduduknya.
Jika memang benar seperti itu, sayang sekali karena mereka memilih waktu yang salah untuk menyerang desa saat Lucius berada di sini.
Saat itu Lucius dan Zoe sedang berjalan menuju tempat kerja mereka selanjutnya, menuju area perkebunan dan peternakan yang sedikit jauh dari desa.
Meski masih siang, tempat itu cukup terpencil dan sangat jauh dari desa, sehingga tidak banyak orang yang melewati jalan itu.
Zoe tidak bisa menutup mulutnya dan terus berbicara tentang apa pun yang ia sukai, sedangkan Lucius hanya menganggukkan kepalanya menandakan bahwa ia mendengarkan perkataan Zoe—yang padahal tidak.
Merasa dua pasang mata memerhatikannya dari jauh, Lucius langsung menoleh ke sampingnya. Dari jauh, ia bisa melihat semak-semak yang bergerak. Seseorang pasti berada di sana.
“Zoe, bisa kau pergi terlebih dahulu? Aku melupakan sesuatu.”
Zoe langsung berhenti berbicara, ia juga berhenti di tempatnya. “Eh? Apa sesuatu itu sangat penting? Apa ada sangkut pautnya dengan pekerjaan kita nanti?”
“ … Ya. Ada sangkut pautnya dengan pekerjaanku. Jadi, kau pergi terlebih dahulu.”
Dengan hidung yang mengernyit, Zoe bergumam sesuatu yang tidak jelas dan kembali berjalan menuju area perkebunan dan peternakan. Setelah ia tidak terlihat lagi, Lucius langsung berjalan ke arah di mana dua orang yang terus memerhatikannya berada.
“Aku kira dia akan pergi, ternyata dia memilih untuk berjalan ke sini.”
“Haha, anak laki-laki memang memiliki rasa penasaran yang tinggi, ya? Apa kau tahu perkataan tentang ‘rasa ingin tahu bisa membunuh seekor kucing’?”
Dua orang pria yang kemungkinan berusia sekitar tiga puluh tahun keluar dari balik semak-semak dengan memegang belati di tangan mereka masing-masing. Sebagian wajah mereka ditutup oleh kain.
“Seharusnya kau lari … ah, tapi tidak masalah. Bagaimana jika kita membawanya terlebih dahulu? Mungkin bisa kita jadikan contoh kalau desa kecil ini memiliki barang-barang bagus yang bisa dijual dengan harga tinggi?”
“Hehe, wajahnya juga tidak buruk. Ah, temannya yang lain juga … mungkin kita bisa mendapatkan banyak uang—”
Karena lelah mendengar omongan mereka yang panjang, Lucius menyerang salah satu dari mereka terlebih dahulu dengan menendangnya tepat di dagunya. Dalam sekali tendangan, orang yang menerima serangannya kehilangan kesadaran seketika.
“Apa—”
Lucius mengambil belati yang pemiliknya sudah tidak sadarkan diri lagi dan langsung menusuk temannya tepat di jantung dengan gerakan yang mulus.
Untuk beberapa saat, orang itu memandang bingung ke belati yang tertancap di dadanya, kemudian pada Lucius, kemudian kembali ke belati itu lagi. Setelah beberapa saat, akhirnya kedua bola matanya menjadi putih dan ia terjatuh ke atas tanah, tidak lagi bernyawa.
“Cara mati yang unik,” gumam Lucius pelan sambil menarik belati dari jantung orang itu, kemudian ‘mengembalikan’nya lagi pada pemiliknya yang ia tancapkan di jantungnya.
Lucius memijat pelan bahunya yang terasa sedikit kaku. Meski ia terus melakukan pekerjaan yang menggunakan kekuatan fisik, karena ia tidak berlatih dengan rutinitas biasanya, tubuhnya jadi terasa kaku.
“Hee, ternyata kau masih bisa membunuh dengan baik, ya?”
Jantung Lucius seakan berhenti untuk sesaat, dengan cepat ia memutar tubuhnya ke arah sumber suara.
“Kukira kau sudah lupa cara membunuh seseorang karena kau terlalu lama bermain menjadi anak baik, Lucius.”
“Lakra.”
Dengan senyuman tipis di wajahnya, Lakra turun dari atas pohon yang ada di bbalik punggung Lucius tanpa ia sadari dengan mulus. “Kukira kau benar-benar kehilangan ingatanmu. Jika kenyataannya tidak, kenapa kau tidak pulang? Kakakmu ini merindukanmu.” []