37 - Yang Biasa

1941 Kata
           Entah sudah berapa jam, atau mungkin hari, bisa jadi juga minggu, Lucius terus berada di ambang kesadaran. Setiap kali ia mendapatkan kembali kesadarannya, seseorang yang kalau tidak salah dipanggil dengan nama Zoe terus berada di sisinya.            Lelaki yang kemungkinan memiliki umur yang sama dengan dirinya ini selalu merawatnya yang masih sulit untuk bergerak. Entah itu saat mengelap tubuhnya dengan kain basah, membantunya duduk untuk minum, bahkan dengan sabar menyuapi Lucius bubur.            Cedera di bagian kepalanya kemungkinan cukup parah, namun tidak terlalu berbahaya sampai anggota tubuhnya menjadi lumpuh atau bahkan kedua matanya jadi tidak bisa melihat.            Lucius hanya bisa berpikir untuk cepat sembuh dan kembali melanjutkan misinya lagi, dengan cara apa pun. Setiap kali ia tertidur, ia terus bermimpi tentang Tria yang saat ini tubuhnya sudah terbagi menjadi dua dan mengambang di lautan luas.            Sekali lagi, ia kembali kehilangan kesadarannya setelah seseorang yang bernama Zoe ini membersihkan tubuhnya dengan kain basah.            .            .            Lucius mulai menghitung berapa lama waktu yang ia habiskan selama ia berada di tempat ini. Tentu saja ia menganggap kalau dirinya tidak kehilangan kesadaran selama satu hari penuh.            Jika ia melihat dari jendela kaca yang ada pada kamar tempatnya berada, tiga hari sudah berlalu sejak ia tiba di tempat ini.            Untung saja saat ini ia sudah bisa duduk di kasurnya tanpa pertolongan dari orang lain, dan sudah bisa membersihkan dirinya sendiri serta makan dan juga minum dengan usahanya sendiri.            Tetapi ketika ia mencoba untuk berdiri, entah kenapa kakinya langsung menyerah dan ia terjatuh ke lantai dengan wajah terlebih dahulu. Khawatir kalau kakinya mulai tidak berfungsi, Lucius mencubit kedua kakinya berkali-kali. Untungnya, kakinya masih bisa merasakan rasa sakit. Mungkin ia hanya bisa bersabar sampai tenaganya pulih kembali.            Setelah ia perhatikan kembali, terdapat beberapa memar di kakinya. Mungkin kakinya terbentur sesuatu, ketika ia tidak sadarkan diri. Bisa jadi orang yang menyerangnya sengaja melukai kakinya.            Tetapi untunglah memar di kakinya masih bisa ia tahan. Mungkin ia hanya butuh beberapa hari lagi sampai luka pada kakinya bisa ia tahan.            .            .            Akhirnya Lucius bisa berdiri dengan kedua kakinya setelah lima hari ia habiskan di tempat itu. Seluruh tubuhnya tidak terlalu sakit lagi, ia juga tidak terus menerus kehilangan kesadaran seperti sebelumnya.            Selama dua hari sebelumnya, Lucius mulai berbicara dengan orang yang bernama Zoe ini. Dia tinggal sendirian, tidak memiliki orang tua atau pun keluarga. Untungnya, penduduk desa di mana Lucius berada saat ini baik kepadanya, mereka memberikan makanan, pakaian, bahkan uang kepadanya. Tentu saja, jika Zoe bersedia untuk membantu mereka dengan melakukan beberapa pekerjaan.            Tidak seperti Lucius, pekerjaan Zoe benar-benar sederhana. Seperti membantu para nelayan untuk menjala ikan, membantu untuk memperbaiki atap rumah yang bocor dan pekerjaan lainnya yang benar-benar dilakukan oleh seseorang yang tidak perlu mengotori tangannya sendiri. Tentu saja, mengotori tangan yang dipikirkan oleh Lucius adalah mengotori tangannya dengan darah orang lain.            Seperti biasa, setiap pagi Zoe selalu datang dengan bubur untuk sarapan Lucius. Setelah makan bubur selama lima hari berturut-turut dari pagi hingga malam, rasanya Lucius sudah mulai mual melihat bubur yang lain.            Tetapi, seorang pengemis tidak bisa memilih apa yang diinginkannya. Masih beruntung ia mendapat makanan secara gratis.            “Sarapan, Lucius,” kata Zoe dengan senyuman cerah yang selalu ia pasang di wajahnya itu. Sempat Lucius berpikir mungkin otot pada wajah Zoe sangat kuat karena ia terus memasang senyuman di wajahnya itu.            Lucius menerima mangkuk berisi bubur yang masih mengepul panas. “Bagaimana denganmu? Apa kau sudah sarapan?”            “Sudah,” jawab Zoe singkat sambil membuka gorden jendela kamar di mana dirinya dan Lucius berada. “Bagaimana dengan keadaan kakimu? Apa sudah membaik.”            Sambil menyuapkan sesendok bubur yang sudah ditiup sampai bisa Lucius telan, ia menjawab, “Setidaknya aku sudah bisa berjalan sendiri.”            “Oh, itu bagus! Kau bosan di tempat ini selama berhari-hari, ‘kan?” tanya Zoe sambil menarik sebuah kursi ke samping kasur yang digunakan oleh Lucius dan duduk di atasnya. “Bagaimana jika setelah kau menghabiskan sarapanmu, kita jalan di sekitar sini? Sekaligus melatih ototmu lagi.”            “Tentu,” jawab Lucius setelah menyendokkan beberapa bubur ke dalam mulutnya. Ia harus tahu di mana dirinya saat ini, dan segera kembali untuk menyelesaikan misinya …            Lucius langsung menghabiskan sarapannya dengan cepat. Sesekali, Zoe memberinya segelas air sambil menceritakan teman-teman dan juga penduduk desa yang lain.            Dilihat dari cara bicara, gerakan tubuh dan cara berjalannya, Licus dapat menilai kalau Zoe ini seseorang yang memiliki kepercayaan diri yang tinggi dan sangat mudah berteman dengan orang lain. Sikapnya yang baik dan juga memiliki senyuman yang cerah membuat dirinya disukai banyak orang.            Ketika akhirnya Lucius keluar dari rumah milik Zoe, hal pertama yang ia rasakan adalah angin dingin yang menerpa wajahnya, ia bisa mencium aroma laut. Tentu saja, ia bisa melihat birunya lautan luas tidak jauh dari tempatnya berdiri saat ini.            Matahari yang bersinar sangat cerah membuat Lucius sedikit menyipitkan mata. Di sampingnya, Zoe memberikan Lucius sepasang alas kaki dan berkata, “Pakai ini. Maaf jika sedikit kurang nyaman, karena aku tidak memiliki alas kaki dengan ukuranmu. Saat aku menemukanmu, alas kakimu sudah tidak ada.”            Lucius menggunakan alas kaki yang berupa sandal berwarna merah menyala. “Tidak masalah. Te-terima kasih.” Lidah Lucius rasanya sedikit kaku ketika mengucapkan kata itu. Ia jarang sekali menggunakannya, bahkan ia lupa kapan terakhir kali ia mengucapkan hal itu.            Zoe kembali memasang senyuman cerahnya. “Tidak masalah. Ayo kita pergi ke balai desa, tidak terlalu jauh dari sini, kok!” katanya sambil merangkulkan tangan Lucius pada bahunya. “Tidak perlu terburu-buru, santai saja.”            Lucius menganggukkan kepalanya satu kali dan mulai berjalan dibimbing oleh Zoe. Belum ada satu atau mungkin dua menit mereka keluar dari rumah itu, dan Lucius sudah merasa kelelahan. Bukan karena berjalan, tetapi lelah karena harus membalas balik sapaan dari puluhan penduduk desa yang melihatnya bersama dengan Zoe.            Lucius bisa memilih untuk tidak menyapa balik dan mengabaikan mereka seperti apa yang dilakukan oleh Lucius biasanya. Tetapi, saat ini ia seseorang yang tidak berguna sama sekali dan masih terluka di beberapa bagian tububhnya. Jika sikapnya membuat penduduk desa tidak menyukainya, bisa saja suatu malam Lucius diusir dari desa itu.            Mengenal Zoe selama beberapa hari ini, Lucius bisa tahu kalau Zoe terbiasa menyapa puluhan atau mungkin ratusan orang. Tidak hanya itu, Lucius juga bisa merasa sangat kelelahan karena makhluk yang bernama perempuan.            Makhluk itu terus mengelilingi dan mendesakkan dadanya kepada Zoe. Lucius, yang berada sangat dekat dengannya juga terkena serangan seperti itu. Ditambah lagi jeritan genit mereka membuat gendang telinga Lucius harus diperiksa secepat mungkin.            Mungkin jika kakinya tidak terluka, dan tidak banyak rintangan yang harus dihadapi olehnya, Lucius hanya membutuhkan waktu sekitar tiga menit untuk sampai ke balai desa.            Tidak ada hal yang istimewa di tempat itu, hanya ruang terbuka yang sangat luas, beberapa batang kayu yang besar dan panjang yang mungkin dijadikan sebagai tempat duduk di sekitar kayu yang dibuat menjadi api unggun di malam hari, beberapa dekorasi sederhana, dan ada juga beberapa tumbuhan seperti buah-buahan dan juga sayuran di dalam kotak atau pun pot. Di sana juga banyak ikan yang sedang dikeringkan dengan cara dijemur, di sisi lain ada tempat pengasapan dan masih banyak hal lain yang berfokuskan kepada ikan, ikan dan ikan.            “Yo, Zoe! Apa itu orangnya?”            Zoe dan Lucius sama-sama memutar kepala mereka ke sumber suara. “Aru! Ya, ini orang yang kita selamatkan di pinggir pantai itu. Agar kakinya bisa cepat sembuh, aku mengajaknya untuk berjalan di sekitar desa.”            Seseorang yang dipanggil Aru ini menganggukkan kepalanya beberapa kari, kemudian berkata, “Hoo. Lucius … ‘kan? Senang berkenalan denganmu. Zoe banyak bercerita tentangmu … ah, tidak banyak yang ia ceritakan, sih. Karena kau baru sadar beberapa hari ini, ‘kan?”            Lucius menganggukkan kepalanya satu kali dan mencoba untuk memasang senyuman di wajahnya. “Senang berkenalan denganmu, Aru. Maaf membuat kalian repot.            Aru mengibaskan tangannya sekali sambil terkekeh pelan. “Meh, tidak perlu khawatir. Oh, sebaiknya kau cepat-cepat menemui kepala desa. Sepertinya ia … ingin menanyaimu beberapa hal.”            Lucius melirik ke arah Zoe, yang dibalas dengan kedua alisnya yang terangkat, tetapi dengan senyuman yang masih cerah di wajahnya. Sepertinya tidak ada yang harus Lucius khawatirkan.            “Tentu. Terima kasih, Aru. Senang berkenalan denganmu.”            Aru kembali terkekeh pelan sambil menepuk bahu Lucius beberapa kali. “Tentu! Senang berkenalan denganmu juga! Aku akan bicara denganmu lagi setelah pekerjaanku selesai!” katanya sambil berlari dengan kedua tangan yang diangkat tinggi melambai pada Lucius dan Zoe.            “Kalau begitu ayo ke rumah kepala desa,” kata Zoe kembali merangkulkan tangan Lucius untuk membantunya.            .            .            Rumah kepala desa sama seperti yang lainnya, tidak ada yang istimewa. Benar-benar rumah sederhana yang berada di sisi laut sama seperti yang lain.            Seorang lelaki tua menggunakan pakaian tanpa lengan, melirik pada Zoe dan Lucius yang baru datang. Ia menyeka keringatnya dengan handuk kecil yang berada di lehernya. “Oh, apa ini orangnya?”            “Ya, kepala desa. Namanya Lucius,” jawab Zoe.            Lucius langsung menundukkan kepalanya satu kali dan bersikap hormat. “Selamat pagi, kepala desa. Terima kasih karena telah menerimaku di desa ini sampai aku pulih kembali.”            Kepala desa tersenyum sambil menganggukkan kepalanya beberapa kali. “Tidak masalah. Kau sebaiknya berterima kasih pada Zoe dan juga Aru yang menemukanmu tidak sadarkan diri di pantai,” balas kepala desa. “Tanpa mereka, mungkin saat ini tubuhmu sudah menjadi makanan ikan.”            Lucius langsung menghadap ke arah Zoe dan membungkukkan tubuhnya. “Sekali lagi, terima kasih.”            Zoe langsung menepuk punggung Lucius berkali-kali, sambil tertawa terbahak-bahak. “Sudah aku bilang tidak masalah, ‘kan?”            “Aku hanya ingin melihat keadaanmu sebentar,” lanjut kepala desa. “Aku juga ingin bertanya … bagaimana kau bisa berakhir seperti itu?”            Akhirnya, pertanyaan yang Lucius tunggu-tunggu tiba. Selama ia dirawat oleh Zoe, ia tidak pernah mendapat pertanyaan mengenai hal ini. Mungkin Zoe hanya ingin bersikap sopan dan menunggu sampai Lucius ingin mengatakannya sendiri.            Tentu saja, Lucius tidak memiliki niatan untuk menjawab pertanyaan yang menyangkut tentang kehidupannya yang biasa.            Sambil menggaruk bagian belakang kepalanya, Lucius menjawab, “Sebenarnya … aku tidak terlalu ingat. Lebih tepatnya, aku hanya mengingat namaku …”            Kepala desa langsung mengerutkan keningnya dengan dalam, kemudian menyuruh Zoe untuk mendekat ke arahnya dan membisikkan sesuatu. Karena telinga Lucius yang sudah terlatih, ia jadi bisa mendengar perkataan mereka.            “Apa luka di kepalanya cukup parah? Sepertinya ia … kehilangan ingatan?”            Zoe mengangguk sekali. “Sepertinya begitu. Ia juga tidak pernah menceritakan tentang kehidupannya kepadaku.”            “Ah, kasihan sekali …”            “Lalu bagaimana menurutmu, Kepala Desa? Mungkin ia bisa tinggal di sini selama beberapa hari sampai ia sehat dan … aku tahu … ingatannya pulih kembali?”            Kepala desa mengusap dagunya berpikir, kemudian berkata, “Tambah satu atau dua orang di desa ini tidak akan menjadi masalah. Tapi, apa kau tidak masalah kalau dia tidur di rumahmu?”            “Tentu tidak masalah. Lagi pula, tinggal di rumah itu sendirian benar-benar membuatku kesepian. Sepertinya dia seumuran denganku. Aku bisa menganggapnya sebagai saudara, ‘kan?”            Kepala desa tersenyum miris sambil menepuk pelan bahu Zoe dengan prihatin. “Tentu, nak. Tentu. Setelah kakinya sembuh, ia juga bisa mulai membantumu.”            “Kalau dia mau …”            “Tentu saja dia pasti mau! Jika sampai dia tidak mau membantu seseorang yang sudah menyelamatkan nyawanya, aku akan mematahkan kakinya lagi dan mengusirnya dari tempat ini!”            “Kau jahat sekali, Kepala Desa …”            Lucius menganggukkan kepalanya setuju. Tentu saja ia akan membantu Zoe sambil mencari informasi tentang di mana keberadaannya saat ini. Lalu bagaimana caranya ia bisa kembali pada Tria, atau setidaknya bisa kembali pulang ke ‘rumah’nya.            Untuk saat ini, ia akan tinggal di desa ini seperti anak remaja yang ceria. Kehidupan semacam ini tidak akan pernah ia rasakan.            Kehidupan seorang remaja lelaki yang biasa. []
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN