32 - Zoe

1761 Kata
           Kegelapan yang tiba-tiba menyelimuti dirinya membuat Lucius lengah. Serbuk yang ia sebelumnya ia sebarkan pada gaun Tria merupakan serbuk yang dapat memancarkan cahaya di dalam kegelapan.            Dengan cepat, ia berjalan ke tempat di mana Tria dan Lia sebelumnya duduk. Lucius mengabaikan suara teriakan mau pun gerutu kemarahan orang-orang yang ia tabrak untuk sampai ke tempat itu lebih cepat.            Namun, seberapa keras pun ia berusaha untuk menemukan titik cahaya kecil yang terpancar dari serbuk itu, Lucius tidak menemukannya di mana pun.            Suara teriakan dan raungan marah para tamu yang menghadiri pesta pertemuan di atas kapal pesiar ini membuat Lucius mulai kelas. Dengan frustasi, ia mengacak-acak rambutnya.            Mengingat perkataan seseorang yang tiba-tiba berada di balik punggungnya tanpa sepengetahuan dirinya membuat Lucius baru merasakan apa yang dinamakan oleh ‘panik’.            “Tria! Jawab aku!” sahut Lucius di antara suara dari para tamu yang lain. Tentu saja, jawaban yang ia cari-cari tidak terdengar sama sekali. Begitu pula ketika ia memanggil nama temannya, Lia.            Seketika, gambaran yang saling tumpang tindih memenuhi pandangan Lucius, membuatnya sedikit kebingungan. Setelah menggelengkan kepalanya beberapa kali, akhirnya penglihatannya kembali seperti semula.            Ruangan tempatnya berada kembali bercahaya, membuat orang-orang di sekitarnya bernapas lega. Tetapi, Tria mau pun Lia tetap tidak ada di mana pun.            Gambaran yang saling tumpang tindih yang mengejutkan Lucius terasa sangat nyata, bahkan terasa ia pernah mengalaminya secara langsung. Tidak hanya itu, ia juga melihat Tria di suatu tempat di dalam kapal ini. Tangan dan kakinya terikat, begitu juga dengan mulutnya yang ditutup oleh sebuah kain, membuat suara teriakannya teredam.            Untuk beberapa menit, Lucius memutari seluruh ruangan aula tempatnya berada untuk mencari keberadaan Tria dan juga Lia. Karena ia tidak menemukannya, akhirnya ia memilih untuk mencari Tria di ruangan yang ia lihat pada gambaran yang sebelumnya tiba-tiba muncul itu.            Jika ia ingat baik-baik, gambaran yang saling tumpang tindih itu memperlihatkan Lucius kalau Tria berada di sebuah ruangan yang penuh dengan pipa dan juga mesin yang terlihat sangat besar. Tanpa berlama-lama lagi, Lucius langsung pergi ke kamar mesin pada kapal itu.            Lucius harus sembunyi-sembunyi untuk pergi ke ruangan itu, karena tidak sembarang orang yang bisa masuk ke dalamnya.            Mungkin karena kejadian yang baru-baru ini terjadi—padamnya cahaya di ruang aula—membuat koridor yang ada di sekitar kamar mesin dipenuhi oleh pekerja yang ada di kapal itu. Seseorang yang kemungkinan penanggung jawab seluruh pekerja tidak henti meneriakkan perintah untuk mencari kesalahan pada mesin kapal tersebut.            Pakaian formal yang ia kenakan pasti langsung membuat para pekerja itu tahu kalau Lucius seorang tamu. Untuk mempermudah pencariannya, ia harus menyamar menjadi salah satu dari mereka.            Lucius memasuki sebuah ruangan yang berada tidak jauh darinya, ia menunggu beberapa menit sampai ada seorang pekerja yang memasuki ruangan itu dan menyimpan beberapa barang di sana.            Dengan cepat, Lucius memukul bagian belakang kepala pekerja itu sampai ia kehilangan kesadarannya. Setelah itu, ia melucuti pakaian orang itu dan menggunakannya untuk mempermudah pencariannya.            Pekerja yang masih kehilangan kesadaran dengan hanya menggunakan pakaian dalam yang menutupi tubuhnya itu Lucius masukkan ke dalam sebuah lemari tanpa menguncinya. Tentu saja, ia juga meninggalkan pakaian miliknya. Anggap saja hadiah rasa terima kasih darinya.            Dengan menggunakan topi pekerja yang menutupi sebagian wajahnya, Lucius keluar dari ruangan itu dan cepat-cepat pergi menuju kamar mesin kapal.            Tentu saja, kamar mesin kapal tidak hanya ada satu, dan setiap kamar mesin yang ada di sana cukup luas, membuat Lucius harus menghabiskan beberapa menit untuk mengitari seluruh ruangan itu mencari keberadaan Tria.            Seseorang yang menculik Tria tentu saja tidak akan memilih kamar mesin yang banyak dimasuki oleh para pekerja, pasti ia memilih ruangan yang paling sepi. Dengan pemikiran seperti itu di kepalanya, Lucius langsung menuju  kamar mesin yang paling jauh dan terluas. Koridor demi koridor ia lalui, mencari tempat di mana kemungkinan Tria berada.            Anehnya, ia benar-benar menemukan ruang mesin di mana tak ada seorang pun yang berada di sana. Rasanya, siapa pun orang yang menculik Tria kali ini sudah menyiapkan tempat itu sedemikian mungkin. Meski sebelumnya banyak orang yang lalu lalang dan terburu-buru untuk mencari kesalahan mesin pada kapal itu, di tempat Lucius berada saat ini, tidak ada seorang pun selain dirinya.            Cahaya yang sedikit temaram membuat suasana di sekitarnya terlihat seperti kapal tua yang sudah rusak dan ditinggalkan. Lucius hanya bisa mendengar suara desis dari mesin yang ada di sekelilingnya.            Selama perjalanannya menuju tempat ini, Lucius selalu menimbang-nimbang apakah pilihannya untuk mengandalkan gambaran yang saling tumpang tindih itu benar. Namun, berdiam diri di aula dan mencari Tria dan Lia di tempat terbuka itu benar-benar pilihan yang menurutnya sangat bodoh. Maka dari itu, ia mengandalkan sesuatu yang tidak logis dan memilih untuk mengikuti firasatnya untuk kali ini.            Semakin ia masuk ke dalam kamar mesin yang sangat sepi itu, semakin gelap dan terasa lembab pula keadaan di sekitarnya. Ia memasang telinganya baik-baik, belati tidak pernah sedetik pun lepas dari tangannya. Memanggil nama Tria untuk mengetahui keberadaannya merupakan hal yang bodoh. Meski dengan sebuah keajaiban Tria menjawab panggilan dari Lucius, musuhnya kali ini juga akan tahu di mana keberadaannya.            Meski begitu, sebuah suara yang teredam di antara desisan mesin kapal terdengar oleh telinganya. Dengan cepat namun sangat hati-hati, Lucius mendekat ke sumber suara.            “Oh? enam menit untuk menemukan tempat ini,” kata suara seseorang yang pernah ia dengar sebelumnya.            Mata Lucius langsung menyipit melihat seorang pria yang sedang duduk di sebuah pipa mesin sambil memainkan kalung yang sebelumnya digunakan oleh Tria di tangannya. “Jika aku tidak berjanji pada kakakmu untuk memberimu pengalaman, mungkin Nona kecil yang ada di sini sudah kehilangan nyawanya.”            “Mmmf!” Tria mengatakan sesuatu. Namun suaranya teredam karena kain yang menutupi mulutnya.            “Apa maumu?” tanya Lucius sambil melihat gerak gerik orang yang ada di depannya ini.            Sebelum ini, Lucius pernah melihatnya di koridor ketika ia dan Tria sedang kembali menuju kamar mereka. Padahal ia sudah tahu kalau hawa di sekitar orang ini tidak baik, bahkan ia sadar kalau langkah kakinya tidak terdengar sama sekali.            Orang itu tersenyum tipis kepada Lucius, ia kembali memasangkan kalung yang ia pegang pada Tria. “Menurutmu, apa yang kumau?”            Mendengar jawaban itu membuat Lucius sedikit kesal, tetapi ia tidak bisa melakukan apa pun karena Tria masih dalam bahaya.            Mengingat perkataan pria itu sebelumnya, Lucius tidak bisa menemukan jawaban yang pasti. Entah karena orang itu memang menargetkan Tria dalam sebuah misi, atau perkataannya tentang janjinya pada kakaknya, Lakra.            Lucius melihat sekelilingnya. Tempat yang dipilih oleh orang ini benar-benar sempurna. Tidak ada apa pun yang bisa digunakan olehnya untuk menyerangnya.            Tidak hanya itu, menempatkan Tria di depan tubuhnya untuk melindungi sendirinya sendiri membuat Lucius tidak bisa menyerangnya dari jarak jauh.            “Jika aku yang berada di situasimu saat ini, aku bisa memikirkan lebih dari dua puluh cara untuk menyelesaikan masalah ini.” Orang yang ada di depannya saat ini terkekeh sambil mengelus pelan leher Tria. “Tapi sepertinya kau tidak menemukan satu pun?”            Kedua mata Tria terlihat bergetar dan mulai dibasahi oleh air mata. Melihat hal itu membuat Lucius mendecakkan lidahnya. Seharusnya ia membawa benda lain selain belati yang ada di tangannya.            “Bagaimana?” tanya orang itu sekali lagi.            Lucius mendesah panjang sambil meletakkan belati miliknya di lantai. Kemudian ia mengangkat kedua tangannya menandakan tidak akan melakukan apa pun.            Senyuman di wajah orang itu langsung menghilang seketika. “Itu pilihanmu?”            Sambil memiringkan kepalanya ke samping, Lucius tersenyum tipis dan berkata, “Aku sudah mendapatkan bayaranku. Lagi pula, berhasil tidaknya misi ini tidak akan melukai reputasiku dan keluargaku.”            Pipi Tria semakin basah oleh air mata, dengan suaranya yang teredam ia berteriak entah apa yang dikatakan olehnya. Sedangkan wajah pria itu yang sebelumnya dipenuhi oleh ketertarikan terlihat kecewa sekarang.            “Ahh … apa yang harus kukatakan pada kakakmu nanti?” gumamnya pelan. Kemudian tangannya langsung mencengkeram leher Tria.            Pekik kesakitan langsung terdengar. Tangan dan kaki Tria yang terikat bergerak dengan liar. Mungkin dengan keajaiban atau memang sebenarnya Tria lebih kuat dibandingkan dengan apa yang terlihat, tangannya yang terikat berhasil memukul dagu pria itu.            Menggunakan kesempatan ini, Lucius langsung menginjak belati yang ada di dekat kakinya, kemudian dengan mudah menendang belati miliknya tepat ke arah wajah pria itu.            Latihan menyiksa yang diawasi oleh kakaknya sepertinya tidak sia-sia, karena belati yang ditendang oleh Lucius benar-benar menyayat mata sebelah kiri pria itu.            Terkejut karena serangan Lucius yang tiba-tiba, pria itu akhirnya melepaskan Tria. Dengan cepat, Lucius berlari mendekatinya dan menendang pria itu tepat di daerah selangkangannya. Rasa sakit di daerah itu lebih lama hilangnya dibandingkan dengan daerah yang lain, tentu saja Lucius juga menendang wajah pria itu dengan sekuat tenaga.            Setelahnya ia menggendong Tria dan lari sekuat tenaga untuk menjauh dari tempat itu. Raungan yang memekakan telinga menggema menggema di ruang mesin itu. Sebaiknya ia membawa Tria ke tempat yang ramai.            Seketika, sesuatu menghantam bagian belakang kepalanya dengan menyakitkan. Pandangannya langsung buram, dan ia terjatuh wajah terlebih dahulu. Ada sesuatu yang mengalir di belakang lehernya, terasa hangat dan juga lengket. Di sebelahnya, Tria merengek pelan sambil mendorong tangan Lucius dengan kepalanya.            Lucius memaksa dirinya untuk bangun dengan susah payah, namun wajahnya kembali sejajar dengan lantai karena seseorang menginjak punggungnya dengan menyakitkan.            “k*****t. Aku tidak akan memaafkanmu!” sahut pria itu, kembali menginjak punggung Lucius dengan keras. “Aku akan mengabari kakakmu kalau misi yang kau jalani ini gagal total.”            Perkataan itulah yang Lucius dengar sebelum ia kehilangan kesadarannya.            .            .            Saat kesadarannya mulai kembali, langit yang mulai terang dengan semburata awan berwarna merah merupakan hal pertama yang ia lihat.            Tubuhnya benar-benar basah dan juga lengket. Tidak hanya itu, rasa sakit di bagian belakang kepalanya membuatnya tidak bisa bangun dari posisi tidurnya.            “Oi, Zoe! Akhirnya dia sadar!” sahut seseorang membuat telinga Lucius kesakitan.            Lucius hanya bisa melirik ke arah sumber suara. Seorang lelaki yang terlihat seumuran dengannya berlari dengan panik ke arahnya. Kulitnya yang berwarna cokelat karena terbakar matahari membuat kedua mata birunya terlihat sangat mencolok.            Sepertinya, orang yang mencoba untuk melukai Tria itu membuang Lucius ke laut. Entah karena kutukan atau keberuntungan, Lucius masih selamat.             Ada sebuah dorongan dari dalam tubuhnya, dengan batuk yang sangat menyakitkan, air laut yang mungkin ia minum keluar dari mulutnya.            “Aru, bantu aku untuk memindahkan orang ini ke rumah.”            “Tapi Zoe … bukankah kita harus bertanya pada yang lain dulu?”            “Apa kau tidak lihat darah yang terus keluar dari balik kepalanya itu? Sepertinya dia terbentur sesuatu dan terjatuh ke laut. Orang ini masih beruntung karena bisa tetap hidup.”            “Uhh … jangan merepotkanku jika orang ini membuat masalah, ya?”            Sepertinya dua orang ini tidak memiliki niat jahat pada dirinya. Setelah mengetahui hal itu, dirinya yang mulai tenang kembali kehilangan kesadaran.            Ah, apa Lucius boleh berharap dengan keselamatan Tria?[]
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN