23 - Lupa akan Kematian

2263 Kata
           Key berusaha untuk menghentikan tangannya yang gemetar dengan mengepalkan kedua tangannya dengan erat, sedangkan ibunya masih berusaha untuk membangunkan Keira dan Kezia.            Keira yang kemungkinan sudah sadar ketika mendengar suara ibunya langsung bangun dari tempat tidur. Key selalu merasa bangga dengan adiknya yang satu ini, dia selalu memiliki sikap seperti orang dewasa. Bahkan ia terlihat lebih tenang dibandingkan dengan ibunya.            "Ibu, bagaimana dengan ayah?" tanya Key.            Kezia yang masih sulit dibangunkan akhirnya digendong oleh ibunya. "Ayahmu sudah pergi ke alun-alun desa untuk menghalangi para bandit itu sebelum masuk lebih jauh ke desa. Kau tidak perlu khawatir, pergilah ke tempat persembunyian terlebih dahulu."            "Lalu Pria tua itu, ke mana dia?"            Kedua mata ibunya berkedip beberapa kali sebelum menjawab, "Aku tidak tahu. Ketika aku dan ayahmu bangun, ia sudah tidak ada."            "Bagaimana denganmu, ibu?" tanya Keira.            "Ibu harus memberi tahu warga yang lain. Kau pergilah terlebih dahulu dengan kakak dan adikmu, ya?" jawab ibunya sambil mengelus pelan kepala Keira. "Ibu janji akan menyusulmu."            Kening Key langsung berkerut dengan dalam. "Tidak, kau juga ikut dengan kami. Orang lain pasti bisa mendengar suara pemberitahuan itu, 'kan?"            "Tapi bagaimana jika mereka tidak mendengarnya? Key, ibu selalu mengajarimu untuk membantu orang yang membutuhkan bantuan, 'kan?"            Mendengar perkataannya yang sama dengan ayahnya, perasaan marah seketika muncul di d**a Key. "Ibu, apa kau sadar kalau kau tidak memiliki kewajiban untuk melakukan hal itu? Ibu bukan seorang petinggi desa!"            "Key, kenapa kau jadi egois seperti ini!?"            "Egois? Apa ibu baru saja bilang kalau aku egois? Apa aku harus diam dan membiarkan salah satu anggota keluargaku terluka?"            "Ibu, Kakak, ada apa?" tanya Kezia yang akhirnya terbangun.            "Tidak apa-apa, sayang. Kau ikutlah dengan kakakmu untuk bersembunyi dulu, ya? Ini hanya sebuah latihan."            "Ibu!" sahut Key kencang, amarahnya sudah benar-benar tidak bisa ia tahan lagi. "Inilah kenapa desa ini diserang oleh bandit! Karena sikap ayah dan juga ibu yang entah kenapa selalu tergila-gila untuk membantu orang yang kesulitan!"            "Key, jaga omonganmu—”            Key mendengus kencang sambil menyisir rambutnya yang mulai berantakan dengan jarinya. "Apa ayah dan ibu tidak sadar, kalau orang tua itu memanggil rekan-rekan banditnya untuk menyerang desa!? Buktinya saat ini ia hilang entah ke mana setelah desa ini diserang! Kalau saja ayah memilih untuk tidak membantu orang tua itu, mungkin desa ini tidak akan berakhir seperti ini—”            Untuk sesaat, pandangan Key menjadi gelap seketika. Hal selanjutnya yang ia rasakan adalah pipinya yang terasa sakit dan telinganya yang sedikit berdengung. Ia mengusap pipinya yang terasa sakit dengan sebelah tangannya.            "Key, untuk sekali ini dengarkanlah ibumu. Apa sampai akhir kau ingin menentangku!?"            Key menggertakkan giginya menahan marah karena tidak mengerti siapa yang sebenarnya bersalah di antara mereka, matanya juga terasa sedikit panas. Lalu, dengan cepat ia berjalan menuju ujung kamar dan mengambil parang yang selalu ia gunakan untuk berburu dan ia kaitkan di sabuk celananya. Selanjutnya, ia merebut Kezia yang digendong oleh ibunya dan menggenggam Keira dengan tangannya yang bebas.            “Pergilah ke tempat persembunyian yang ada di dekat sektor sawah!” sahut ibunya sebelum Key melangkahkan kakinya ke luar rumah bersama kedua adiknya.            .            .            Karena rumahnya yang sedikit berjauhan dengan tetangganya yang lain dan juga dari alun-alun desa, jalan yang biasanya terasa sedikit menyeramkan semakin terasa mencekam. Key yang telinganya sudah tajam karena sering berburu bisa mendengar suara sahutan kencang dari kejauhan. Tetapi jika dilihat dari sekitarnya, kemungkinan besar para bandit itu belum berhasil masuk ke dalam desa.            “Kakak, apa kau dan ibu sedang berkelahi?” tanya Kezia tiba-tiba.            “Tidak, kami berdua tidak sedang berkelahi, hanya sedikit berbeda pendapat saja,” jawab Key yang mulai mempercepat langkah kakinya. “Keira, kau masih bisa berjalan, ‘kan? Apa kakimu sakit?”            Keira hanya menggelengkan kepalanya untuk menjawab pertanyaan dari Key. Key tarik kembali kata-katanya yang sebelumnya. Memiliki adik dengan sikap yang lebih dewasa dibandingkan dengan umurnya ternyata sedikit menyulitkan dirinya.            Seketika, Key menghentikan langkah kakinya karena ia mendengar suara ranting yang patah di sekitarnya. Dari jauh, ia bisa melihat sebuah cahaya yang sedikit terhalang oleh pepohonan, terlihat kalau seseorang membawa sebuah obor atau lentera.            Ia tidak tahu apakah orang itu seorang bandit yang berhasil masuk ke dalam desa atau seseorang yang ia kenal. Berusaha cukup tenang, ia berhenti berjalan dan membawa kedua adiknya untuk bersembunyi di salah satu pohon yang tidak jauh darinya.            Ia menurunkan Kezia dari gendongannya, kemudian berkata, “Keira, tolong jaga Kezia sebentar, ya? Aku harus memeriksa sesuatu.”            Lagi-lagi, Keira hanya menganggukkan kepalanya untuk menjawab Key.            Dengan perlahan, Key mengeluarkan parang yang biasa ia gunakan untuk berburu, kemudian melangkah dengan hati-hati agar tidak terdengar suara sedikit pun ke tempat itu.            Pepohonan dengan daun yang cukup lebat membuat cahaya bulan sedikit terhalang. Dengan memanfaatkan keadaan yang gelap di sekitarnya, Key dapat dengan mudah mendekat ke sumber cahaya dan bersembunyi di balik pohon yang berada tidak jauh dari sana.            Orang yang membawa sumber cahaya itu berjalan membelakanginya, sehingga Key tidak bisa melihat wajahnya. Tetapi dari gerak-geriknya yang selalu melihat ke bawah dan sesekali berbungkuk dan berlutut, sepertinya ia sedang mencari sesuatu yang jatuh.            Merasa kalau orang itu terlalu fokus dengan bendanya yang hilang, Key dapat dengan mudah mendekat ke arahnya tanpa orang itu sadari. Sama seperti dirinya yang dapat dengan mudah menangkap babi liar, Key melingkarkan sebelah tangannya pada leher orang itu dan mengarahkan bagian tertajam parangnya pada wajahnya.            “Ah!” pekik orang itu dan hampir menjatuhkan obornya.             Namun setelah dilihat dari dekat ditambah dengan penerangan yang cukup, ternyata orang itu Key kenali. “Caspian?”            “Suara itu … Key?” Caspian balik bertanya. “Kau ini … benar-benar wanita barbar!”            Key yang awalnya ingin melepaskan Caspian, langsung mengencangkan lengannya lagi yang masih mencekik lehernya. “Bilang apa?”            “Nona Key! Maaf!” katanya terdengar menyedihkan.            Key mendengus pelan sambil melepas Caspian, kemudian ia memasukkan parangnya lagi ke sabuknya. “Apa yang kau lakukan di sini? Bukankah kau sudah tahu kalau ada bandit yang menyerang desa?”            Dengan ujung bibir yang tertekuk ke bawah, Caspian menjawab, “Aku tahu … tapi aku kehilangan sesuatu di tempat ini. Aku harus menemukannya sebelum para bandit itu yang menemukannya.”            “Kehilangan sesuatu? Apa barang itu lebih berharga dibandingkan dengan nyawamu sendiri? Bagaimana jika tadi kau benar-benar diserang oleh bandit? Mungkin saat ini kau bisa melihat punggungmu sendiri dengan kedua matamu itu!”            “Uhh … li-liontin milik adikku. Dia tidak mau diam sebelum benda itu kembali padanya,” gumam Caspian pelan.            Key mengusap keningnya berkali-kali. “Bagaimana jika kau mencarinya nanti? Aku khawatir padamu.”            Caspian menggerutu pelan, tapi akhirnya ia menganggukkan kepalanya. “Apa kau sendiri?”            “Tidak, dengan kedua adikku. Aku memiliki rencana untuk membawa mereka ke tempat persembunyian yang ada di dekat sektor sawah.”            “Ah, adik dan ibuku juga bersembunyi di tempat itu,” kata Caspian. “Aku akan mengantarmu dan kedua adikmu. Semoga masih ada tempat yang kosong untuk bersembunyi.”            .            .            Ditemani oleh Caspian yang menggendong Keira, dan Key yang menggendong Kezia, akhirnya mereka sampai di sektor sawah lebih cepat. Ketika Key melihat ke arah di mana alun-alun desa berada, asap mulai terlihat membumbung tinggi ke udara. Sepertinya para bandit itu berhasil masuk.            Caspian menurunkan Keira dan berlutut di dekat semak-semak. Setelah ia menggeser sebuah batu yang cukup besar dan juga rerumputan di dekatnya, Key bisa melihat sebuah kayu yang terlihat cukup tua di baliknya.            “Sepertinya tempat ini masih kosong. Kalian bertiga, masuklah,” kata Caspian sambil menarik kayu yang menutupi sebuah lubang yang cukup besar untuk dimasuki seseorang yang sudah dewasa.            Key berlutut di depan kedua adiknya, setelah mengelus kepala mereka satu persatu, ia berkata, “Keira, Kezia, aku harus kembali untuk mencari ibu. Kalian berdua bersembunyilah di tempat ini dan jangan keluar sampai kalian mendengar suaraku atau ibu, ya?”            “Key, apa yang kau—”            “Shh,” potong Key sebelum Caspian menyelesaikan perkataannya.            “Tidak, jangan pergi,” kata Keira dengan suara yang bergetar. Kedua matanya langsung dibasahi oleh air mata. “Aku tidak mau kehilanganmu juga …”            Melihat Keira yang menangis, Kezia juga mulai ikut menangis.            Key langsung memukul keningnya. “Aku akan kembali bersama ibu. Apa kau tidak memercayai kakakmu ini?”            Keira hanya bisa terisak, begitu pula dengan Kezia.            “Key, ikutlah bersama mereka. Tempat persembunyian yang satu ini sepertinya cukup besar,” tambah Caspian.            “Diamlah, aku khawatir dengan kedua orang tuaku. Seharusnya kau yang bersembunyi, ‘kan? Bahkan kau tidak sadar kalau aku berada di belakangmu.”            Caspian yang merasa harga dirinya sebagai seorang lelaki ini tidak ada harganya di depan Key hanya bisa menarik napas dingin dan mendesah panjang. Akhirnya, ia juga membantu Key untuk meyakinkan kedua adiknya untuk bersembunyi terlebih dahulu.            Untung saja setelah dibantu oleh Caspian, Keira dan Kezia melepas baju Key yang dari tadi ditarik oleh mereka berdua. Setelah melontarkan bebera janji manis yang lain, akhirnya Key bisa bernapas lega setelah kedua adiknya masuk ke dalam tempat persembunyian itu. Caspian langsung menutup lubang untuk masuk ke tempat persembunyian itu dengan kayu dan batu seperti sebelumnya.            “Bagaimana sekarang? Apa kau juga akan pergi ke alun-alun desa?” tanya Caspian setelah menyeka keringatnya.            Key mengusap tempat penyimpanan parang miliknya yang ia kaitkan di sabuk celananya. “Sepertinya begitu. Ibuku tidak memikirkan keselamatannya sendiri, dan malah berpikir untuk memberi tahu orang-orang di sekitarnya untuk bersembunyi terlebih dahulu.”            Caspian mendesah panjang, kemudian berkata, “Bukankah kau juga sama?”            Key hanya bisa tersenyum miris mendengar perkataan itu. “Benar juga. Sepertinya sikap keras kepalaku ini didapat dari ibuku.”            .            .             Caspian memilih untuk tetap tinggal di dekat tempat persembunyian yang ada di sektor sawah bersama beberapa temannya yang lain untuk menjaga tempat itu, sedangkan Key memilih untuk kembali ke sekitar rumahnya terlebih dahulu untuk mencari ibunya yang keras kepala.            Key tidak pernah berlari secepat ini, bahkan ketika ia mengejar buruannya. Hanya perlu beberapa menit untuknya sampai di daerah sekitar rumahnya. Beberapa rumah yang tidak terlalu jauh dari rumahnya sudah kosong, ia juga tidak menemukan ibunya di mana pun.            Untung saja keadaan di sekitar rumahnya masih terlihat cukup rapi. Itu berarti bandit belum sampai ke tempat ini. Jantungnya berdegup dengan sangat kencang, dan gambaran yang saling tumpang tindih itu kembali muncul memenuhi pandangan Key.            Untuk beberapa saat, kepalanya sedikit pusing. Kengerian yang ia rasakan ketika melihat gambaran yang tumpang tindih itu terasa begitu nyata. Bahkan seluruh tulang yang ada di tubuhnya seakan ikut berteriak ketika ia ‘mengingat’ sebuah kejadian yang belum pernah ia alami sebelumnya.            Dari puluhan atau mungkin ratusan gambaran yang menghalangi pandangannya itu, yang paling terlihat jelas adalah alun-alun desa yang sudah terbakar habis.            Meski firasatnya merasakan bahaya, tetapi ia tetap memilih untuk melangkahkan kakinya menuju alun-alun desa sambil menggenggam tempat penyimpanan pedang yang ia kaitkan di sabuk celananya lebih kuat.            .            .            Asap yang membumbung tinggi ke udara dari arah alun-alun desa semakin terlihat tebal. Bahkan dari jauh, langit yang berada di atas alun-alun desa terlihat lebih terang dibandingkan dengan sekitarnya. Udara di sekitarnya juga terasa sangat panas.            Seketika, Key merasakan ada sesuatu yang aneh. Jika alun-alun desa benar-benar terbakar, dan jika orang-orang yang melindungi desa dari serangan bandit yang menerobos masuk itu sedang bertarung atau semacamnya… kenapa rasanya sepi sekali?            Rasanya tidak ada pertarungan atau semacamnya. Hanya ada alun-alun desa yang terbakar. Perasaan yang ada di d**a Key semakin tidak nyaman. Matanya juga semakin sakit akibat asap yang membakar bangunan di sekitarnya.            Pandangannya mulai menyempit, karena asap yang ada di sekitarnya cukup tebal. Bahkan rasanya saat ini ia sedang dikelilingi oleh kabut hitam yang sangat pekat. Cahaya dari kobaran api yang ada di sekitarnyalah yang membantu Key untuk melihat sekelilingnya.            Merasakan adanya pergerakan tak jauh di depannya, Key mencoba untuk bersembunyi di balik sebuah bangunan yang sudah terbakar hangus. Mungkin jika ia menyentuhnya sedikit, bangunan itu akan rubuh seketika.            Kabut hitam yang ada di sekitarnya ini bagaikan pisau bermata dua. Key bisa menggunakannya dan diam-diam mendekati orang itu, begitu pula dengan sebaliknya. Tapi Key tidak ingin mengambil resiko. Bagaimana jika kemampuan orang itu lebih hebat dibandingkan dengan dirinya? Bukankah sama saja bunuh diri?            Ia hanya pernah mengayunkan pedangnya untuk bertahan hidup dari makhluk-makhluk itu. Begitu pula dengan ilmu pedang yang ia pelajari … selama … pelatihan …            Kening Key langsung berkerut. Kenapa ia bisa berpikir seperti itu? Bertahan hidup dari makhluk-makhluk itu? Lalu … pelatihan? Pedang?            Seakan baru sadar, Key langsung melihat ke arah sabuknya di mana ‘parang’ yang biasa ia gunakan untuk berburu ia selipkan di sana. Tetapi, bukannya sebuah parang yang ia lihat, tetapi … sebuah pedang. Karena, benda itu lebih panjang dibandingkan dengan parang miliknya. Sebuah pedang. Benar-benar sebuah pedang.            Meski Key merasa takut dan kebingungan, ia memegang  pedang yang entah kenapa dan entah bagaimana bisa berada di sana. Walau Key tidak pernah memegang pedang sebelumnya, tetapi tubuhnya merasa kalau pedang itu merupakan bagian dari tubuhnya yang menghilang.            Key menarik pedang itu dari sarungnya, kemudian menatapnya dengan lekat. Seketika, sebuah gambaran memperlihatkan seekor ular yang sangat besar, bahkan dirinya terlihat seperti kerikil kecil di dekat ular itu.            “Antares … pedang … taring Hydra …” gumam Key pelan. “The Oblivion …”            Kata yang dikeluarkan oleh mulut Key itu rasanya seperti sebuah kunci yang selama ini dicari-cari olehnya untuk membuka sebuah pintu rahasia yang selalu membuatnya penasaran.            Akhirnya ia kembali mengingat semuanya. Akhirnya ia kembali mengingat misinya.            Bakat Zeth benar-benar mengerikan … ia berhasil kembali ke ‘masa lalu’ dengan sebuah misi untuk menghilangkan kutukan yang dibuat oleh Grimlace. Untuk menghilangkan kutukan yang akan mengejarnya dan teman-temannya yang lain setelah p*********n bandit ini.            Tidak, bukan bandit. Lebih tepatnya … mayat hidup yang berpura-pura menjadi manusia … mayat hidup yang belum sadar kalau mereka sudah lama mati. []
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN