22 - Berakhirnya hubungan Crisstian dan Olivia.

1888 Kata
Dokter Vani baru saja pergi meninggalkan ruangan Crisstian sesaat setelah memeriksa kondisi Olivia sekaligus memberi tahu Crisstian tentang kondisi Olivia. Saat ini, Crisstian dan Steve berada di ruang kerja Crisstian, sedangkan Olivia masih berada di kamar, dan sampai sekarang, Olivia belum juga sadar. "Apa saja jadwal saya siang ini?" Tadi pagi, ia dan Olivia langsung meeting, lalu sekarang Olivia pingsan, jadi Crisstian belum tahu, apa saja kegiatannya hari ini. "Siang ini Anda tidak memiliki agenda apapun, Tuan." "Syukurlah." Crisstian lega. Olivia masih pingsan, dan Crisstian tidak mau pergi meninggalkannya. "Saya akan kembali bekerja, Tuan." Steve tidak mau membuang-buang waktunya, apalagi saat ini Olivia masih pingsan, itu artinya, pekerjaan Olivia harus ia ambil alih. "Ok, terima kasih atas semua bantuannya, Steve." "Sama-sama, Tuan." Steve keluar dari ruangan Crisstian, meninggalkan Crisstian sendiri. Crisstian mengunci pintu, lalu kembali ke kamar untuk memeriksa kondisi Olivia. Crisstian mempercepat langkahnya ketika mendengar Olivia berteriak meminta tolong. "Olivia!" Crisstian menaiki tempat tidur, mencoba membangunkan Olivia yang sepertinya sedang bermimpi buruk. Usaha Crisstian membuahkan hasil. Olivia akhirnya terbangun. Olivia langsung menoleh ke kanan dan kiri diiringi deru nafasnya yang memburu. "Olivia, itu hanya mimpi." Crisstian mencoba menenangkan Olivia yang terlihat sekali sangat ketakutan sambil menyeka keringat yang membasahi keningnya. "Hanya mimpi?" Olivia menatap Crisstian. Crisstian mengangguk sambil tersenyum. "Iya, Olivia, tadi itu hanya mimpi." "Ta-tapi terasa seperti nyata," balas lirih Olivia. "Percayalah, tadi itu hanya mimpi." Crisstian kembali meyakinkan Olivia. "Hanya mimpi," gumam Olivia pada dirinya sendiri, meyakinkan dirinya jika ia memang baru saja bermimpi buruk. Tidak terjadi apapun padanya. Crisstian memeluk Olivia, lalu melabuhkan banyak sekali kecupan di kening Olivia. Pelukan Crisstian berhasil menenangkan Olivia. Ketegangan dan ketakutan di wajah Olivia pun mulai menghilang. "Kamu pasti haus, minum dulu ya." Crisstian membantu Olivia untuk duduk. Crisstian meraih gelas yang ada di meja, kemudian memberikannya pada Olivia. Olivia menenggak habis air pemberian Crisstian. "Mau lagi?" Olivia menggeleng. Crisstian meraih kedua tangan Olivia yang masih bergetar sekaligus juga berkeringat. "Kamu mimpi apa?" "Mimpi bu-buruk," jawab Olivia terbata. "Tentang?" "Fe-felix." Olivia baru saja bermimpi tentang Felix, tapi bukan mimpi indah, melainkan mimpi buruk, sangat buruk. Dalam mimpinya, Felix menyiksanya dengan membabi buta, lalu memaksanya untuk melayani Felix di saat dirinya sendiri terluka. "Apa sebelumnya kalian berdua bertengkar terjadi, hm?" Crisstian yakin kalau sudah terjadi sesuatu antara Felix dan Olivia. Pertanyaan Crisstian malah membuat Olivia kembali mengingat kejadian tadi pagi. Olivia akhirnya memberi tahu Crisstian tentang mimpi buruk yang baru saja ia alami, dan tak lupa juga untuk memberi tahu Crisstian tentang kejadian tadi pagi, ketika Felix mencoba untuk memperkosanya. Crisstian langsung memeluk erat Olivia sesaat setelah mendengar semua penjelasannya. "Dasar pria b******k!" Umpat Crisstian dalam hati. Crisstian tahu kalau dirinya juga sangat b******k, tapi ia sama sekali tidak pernah mencoba untuk memperkosa atau memaksa Olivia supaya mau berhubungan badan dengannya. Rasanya Crisstian ingin sekali pergi menemui Felix, lalu memberi pria itu pelajaran. "Ya Tuhan, kenapa rasanya sangat nyaman?" Olivia memejamkan matanya, menikmati pelukan Crisstian yang terasa sangat nyaman seperti pelukan sang Daddy. Olivia menangis sejadi-jadinya dalam pelukan Crisstian. Crisstian membiarkan Olivia menangis, mungkin dengan menangis bisa membuat perasaan Olivia menjadi sedikit lebih baik. Crisstian melepas pelukannya, lalu merangkum wajah Olivia menggunakan kedua tangannya. Crisstian menyeka air mata yang sudah membanjiri wajah Olivia. "Boleh saya bertanya?" Olivia mengangguk pelan. "Apa kamu dan Felix belum pernah berhubungan ...?" Crisstian sengaja menggantung ucapannya, tapi yakin kalau Olivia pasti mengerti ke mana arah pembicaraannya. Crisstian menatap lekat Olivia, menunggu jawaban Olivia dengan jantung berdebar hebat. Olivia menundukkan wajahnya, menghindari tatapan intens Crisstian. "Kalau kamu tidak mau menjawabnya, tidak apa-apa." Crisstian mengangkat wajah Olivia menggunakan jari telunjuk tangan kanannya. "Maaf kalau pertanyaan saya membuat kamu merasa tidak nyaman," lanjutnya sambil tersenyum tipis. "Kita berdua belum pernah melakukan hubungan suami istri." Akhirnya Olivia menjawab pertanyaan Crisstian. Crisstian terkejut, tapi hanya sedikit. Sejak pertama kali berhubungan badan dengan Olivia, Crisstian tahu kalau dirinya adalah pria pertama yang menyentuh Olivia. Namun setelah tahu kalau Olivia adalah wanita yang sudah bersuami, Crisstian sempat ragu, dan sekarang, setelah mendengar pengakuan Olivia, Crisstian tahu kalau pemikirannya selama ini benar. "Jadi ... saya adalah pria pertama yang menyentuh kamu?" Olivia mengangguk. "Iya." Crisstian dan Olivia terus beradu pandang. "Olivia," bisik Crisstian dengan suara serak. "Ya," balas lirih Olivia sambil terus menatap lekat mata Crisstian. Crisstian memajukan wajahnya. Olivia memejamkan matanya, dan reaksi Olivia membuat Crisstian senang. Itu artinya, Olivia tidak akan menolak sentuhannya. Bibir Crisstian dan Olivia akhirnya beradu. Crisstian melumat pelan bibir ranum Olivia. Dengan gerakan yang masih terbilang kaku, Olivia membalas ciuman Crisstian. Crisstian menarik Olivia untuk duduk dalam pangkuannya, lalu menuntun kedua tangan Olivia ke lehernya. Bibir Crisstian dan Olivia terus beradu. Ciuman yang awalnya pelan berubah menjadi semakin cepat dan dalam, bahkan kini tangan keduanya mulai meraba satu sama lain. Tautan bibir Crisstian dan Olivia akhirnya terlepas. Deru nafas keduanya sama-sama memburu, dan kini keduanya sibuk mengisi pasokan udara mereka yang sudah sangat menipis. Crisstian menyeka bibir ranum Olivia yang basah oleh salivanya. "Sial! Dia sangat seksi!" Umpatnya dalam hati. Olivia mendorong Crisstian sampai akhirnya Crisstian terbaring di tempat tidur. "Olivia." Mata Crisstian melotot, terkejut dengan apa yang Olivia lakukan, tapi memilih diam, tidak menolak atau melarang Olivia untuk duduk di atas perutnya. "Apa berat?" Crisstian menggeleng. Olivia menyibak sedikit roknya supaya ia bisa duduk dengan nyaman. Crisstian tak bisa menahan diri untuk tidak membelai paha Olivia. Olivia mendongak dengan mata terpejam, menikmati sentuhan jemari Crisstian. Olivia menggigit kuat bibir bawahnya, menahan diri supaya tidak mendesah saat belaian kedua tangan Crisstian di pahanya semakin intens. Olivia menggerakan pinggulnya maju mundur dengan gerakan pelan, dan kini kedua tangannya sibuk membuka kancing kemeja Crisstian. "s**t, Olivia!" Umpat Crisstian dengan deru nafas memburu. Olivia tahu kalau Crisstian menyukai sentuhannya, sekaligus merasa tersiksa. Olivia menenggelamkan wajahnya di ceruk leher Crisstian, menghirup dalam-dalam aroma tubuh Crisstian. Crisstian terus mendesah saat Olivia menciumi lehernya, meninggalkan banyak sekali jejak basah di sana. Desahan Crisstian membuat Olivia semakin bersemangat. Semakin lama, ciuman Olivia semakin turun menuju d**a bidang Crisstian. Crisstian mendesah dengan tubuh sedikit terangkat ketika mulut dan lidah Olivia bermain-main di dadanya. Olivia menjauhkan wajahnya dari perut berotot Crisstian. Olivia menurunkan resleting dressnya, memperlihatkan tubuh bagian depannya yang kini hanya tertutupi bra berwarna merah, warna yang sangat kontras dengan kulit Olivia. "Olivia, apa kamu yakin mau melakukannya?" Olivia tidak menjawab pertanyaan Crisstian, tapi Olivia langsung memberi tahu Crisstian kalau ia mau melanjutkan apa yang sudah ia mulai. "Jangan menyesalinya, Olivia." Crisstian mulai melucuti satu pakaiannya sampai akhirnya ia dan Olivia sama-sama telanjang bulat. 15 menit sudah berlalu sejak Crisstian dan Olivia sama-sama mencapai puncak kenikmatan. Saat ini keduanya masih berbaring di tempat tidur dengan posisi saling berpelukan. Kelopak mata Crisstian terbuka ketika ia merasakan ada air mata yang jatuh membasahi bahunya. "Kenapa menangis, hm?" tanyanya sambil mencoba menjauhkan Olivia supaya ia bisa melihat jelas wajahnya, sayangnya Olivia menolak. Crisstian kembali memeluk Olivia. "Kamu menyesali apa yang baru saja kita lakukan?" Olivia menggeleng. "Lalu?" Olivia tidak menjawab pertanyaan kedua Crisstian. Olivia menangis karena membenci dirinya sendiri. Hatinya mengatakan kalau apa yang ia dan Crisstian lakukan salah, tapi nyatanya ia sangat menyukai apa yang baru saja terjadi. Tubuhnya tidak mampu menolak pesona yang Crisstian miliki. Crisstian menghela nafas gusar. Crisstian kembali memeluk Olivia, membiarkan Olivia menangis dalam pelukannya. Tak terasa, 1 jam sudah berlalu sejak Olivia menangis dalam pelukan Crisstian. Crisstian terkekeh ketika mendengar suara yang berasal dari perut Olivia. "Saya juga lapar," bisiknya setelah melabuhkan kecupan di kening Oliva. "Sebaiknya kita mandi dulu, setelah itu kita bisa makan siang." "Iya," balas lirih Olivia. Crisstian tiba-tiba menyibak selimut yang menutupi tubuhnya juga Olivia. Olivia terkejut, secara reflexs menutupi dadanya menggunakan tangan kanannya, sedangkan tangqn kirinya menutupi area intimnya yang terexpose. Crisstian terkekeh, sedangkan Olivia yang malu malah menundukkan wajahnya. Crisstian mengajak Olivia mandi bersama. Awalnya Olivia menolak, tapi Crisstian berhasil membujuknya. Crisstian dan Olivia kembali memakai pakaian yang sama seperti sebelumnya. Keduanya sama-sama tidak mau membuat orang-orang curiga. Olivia sedang mengeringkan rambutnya, sedangkan Crisstian sedang memesan makanan. Setelah memesan makanan, Crisstian menghampiri Olivia. Tanpa banyak bicara Crisstian merebut haid dryer yang sedang Olivia gunakan. Olivia membiarkan Crisstian mengeringkan rambutnya. Tiba-tiba Olivia membayangkan, seandainya ia menikah dengan Crisstian, apakah hidupnya akan bahagia? Apakah ia bisa memiliki keluarga kecil seperti apa yang selama ini ada dalam bayangannya? "Jangan melamun, Olivia!" Teguran Crisstian membuat semua lamunan Olivia tentang keluarga kecilnya yang bahagia sirna. "Apa yang kamu pikirkan? Kenapa kamu tersenyum?" "Tersenyum?" "Iya, kamu tersenyum, Olivia." Crisstian memutar kursi yang Olivia duduki sampai akhirnya mereka pun saling berhadapan. Crisstian mensejajarkan tingginya dengan Olivia. "Rahasia." Olivia tidak akan memberi tahu Crisstian apa alasan dirinya tadi tersenyum. "Boleh aku bertanya?" "Mau tanya apa, hm?" Crisstian menggenggam erat kedua tangan Olivia, lalu menciumnya. "Sampai kapan kita akan terus seperti ini?" Suara Olivia sangat pelan, tapi Crisstian bisa mendengarnya dengan jelas. Olivia menunggu reaksi Crisstian dengan jantung berdebar hebat, merasa penasaran sekaligus juga takut. Senyum di wajah Crisstian luntur. "Saya mencintai kamu, Olivia," ucapnya penuh penekanan. Olivia terkejut. Saking terkejutnya, sekujur tubuhnya sampai menegang. "Apa kamu yakin kalau itu ci-cinta, Crisstian?" Crisstian merasa tersinggung atas pertanyaan Olivia. Crisstian melepas tangan Olivia dari genggamannya. "Kamu meragukan perasaan saya Olivia?" tanyanya sambil menatap tajam Olivia. Perubahan ekspresi wajah Crisstian membuat Olivia takut, namun Olivia mencoba untuk tetap santai. Olivia tidak menjawab pertanyaan Crisstian. Olivia malah menundukkan wajahnya, menghindari tatapan tajam Crisstian. "Apa yang sebenarnya kamu inginkan?" Dengan tegas, Crisstian bertanya. "Aku tidak mau melukai perasaan Daddy, Crisstian." Olivia menjawab lirih pertanyaan Crisstian. "Kalau sampai Daddy tahu tentang hubungan kita, dia pasti akan sangat terluka, kecewa, dan marah," lanjutnya sambil mengangkat wajahnya, menatap lekat Crisstian yang juga menatapnya. Crisstian diam membisu, tapi terus menatap Olivia. "Aku tidak mau kehilangan Daddy. Aku tidak mau mengecewakan Daddy, dan aku tidak mau melukainya, Crisstian." Pandangan Olivia mulai kabur oleh air mata yang kini menggenang di setiap pelupuk matanya, seolah berlomba untuk segera jatuh membasahi wajahnya. "Hanya Daddy, orang yang sejak dulu peduli padaku Crisstian, hanya Daddy," lanjutnya sambil terisak. Sejak kecil, hanya Hamond yang mencintainya dengan tulus, dan kalau sampai nanti Hamond tahu ia telah menodai pernikahannya dengan Felix, Hamond pasti akan sangat terluka, kecewa, dan juga marah, bahkan mungkin Hamond akan membuangnya. Olivia tidak mau itu semua terjadi. Olivia tidak mau kehilangan satu-satunya orang paling berharga dalam hidupnya. "Intinya adalah, kamu mau hubungan kita berakhir cukup sampai di sini?" Olivia mengangguk pelan. Olivia menundukkan wajahnya, tidak berani menatap Crisstian. Crisstian sudah mengetahui betapa menderitanya kehidupan Olivia, dan Crisstian tidak mau menjadi salah satu orang yang menambah beban penderitaan Olivia. Crisstian mau, Olivia bahagia, dan jika memang Olivia bisa bahagia setelah lepas darinya, maka Crisstian akan mengabulkan permintaan Olivia. Crisstian tiba-tiba berdiri. "Baiklah, mari kita akhiri hubungan kita." Kata-kata yang Olivia tunggu dari Crisstian akhirnya terucap juga. Olivia terkejut, tak menyangka kalau Crisstian akan berkata demikian meskipun sebenarnya itulah yang Olivia harapkan. "Seharusnya gue bahagia, kan? Tapi kenapa, kenapa hati gue malah sakit?" Teriaknya dalam hati. Tanpa sadar, Olivia meremas kuat dressnya. Crisstian berbalik memunggungi Olivia. Crisstian meraih rokok yang ada di saku celananya, kemudian menempatkan 1 batang rokok di antara bibir seksinya, sebelum akhirnya membakar rokok tersebut. "Keluarlah, saya mau istirahat," ucapnya sesaat setelah membuang asap rokoknya ke udara. Olivia terus menatap Crisstian yang kini melangkah menjauhinya. Crisstian menoleh saat sadar kalau Olivia masih diam di tempatnya. "Kenapa masih diam? Apa kamu tidak mendengar ucapan saya?" tanyanya dengan nada bicara sangat tegas. Olivia tidak mau membuat Crisstian marah, jadi Olivia bergegas keluar dari kamar Crisstian, meninggalkan Crisstian sendiri.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN