Nama belakang Subagja yang melekat pada Melani bukanlah yang membuat gadis dua puluh tujuh tahun itu mendapatkan privilege di setiap kesempatan. Andi Subagja, ayahnya, memang adalah seorang pengusaha, namun kiprahnya tak akan pernah diperhitungkan jika dia tidak menikahi putri seorang konglomerat, Herlin Hidayat. Nama besar ibunya itulah yang membuat Melani menikmati semua kemewahan yang dia miliki saat ini.
Siapa yang tak kenal Irawan Hidayat? Pengusaha farmasi besar di negeri ini. Irawan Hidayat hanya memiliki seorang putri tunggal yang bernama Herlin. Dia jatuh cinta pada teman kampusnya yang tak lain dan tak bukan adalah Andi Subagja. Irawan memiliki kekayaan yang tak akan habis dimakan tujuh turunan jadi dia tidak terlalu memusingkan dengan siapa Herlin akan menikah. Sepanjang lelaki itu bisa membuktikan bahwa dirinya mampu menghidupi Herlin dengan kaki dan tangannya sendiri. Selama Irawan Hidayat masih hidup, dia tidak akan pernah memberikan sepeser pun bantuan kepada anak dan menantunya. Itu prinsipnya. Dia ingin menguji ketangguhan menantunya sebelum mempercayakan seluruh perusahaan ini kepada mereka.
Hingga kini, Irawan Hidayat yang sebenarnya telah berusia hampir 80 tahun seolah tidak lekang digerus usia. Dia masih sehat, bugar dan cakap dalam mengembangkan bisnisnya. Sementara Andi Subagja, meski tertatih, selama hampir 30 tahun ini untuk terus berusaha meyakinkan sang ayah mertua bahwa bisnis telepon seluler yang dirintisnya sudah cukup layak untuk diperhitungkan. Dia juga ingin membuktikan bahwa dia sudah sangat pantas diberikan kesempatan bergabung dengan kerjaan bisnis sang ayah mertua.
“Apa ini semacam perjodohan?” Melani mengerling penuh selidik kepada Andi dan Herlin yang duduk memangku kaki di sofa ruang tamu mereka yang megah. “Mama dan Papa mau menjodohkan Melani dengan anak dari teman kalian?”
“Mel, bukan begitu. Ini hanya makan malam.” Herlin berusaha membujuk putri semata wayangnya itu.
Andi Subagja adalah pemuda yang tampan ketika masih muda dulu. DNA-nya yang unggul menurun pada ciri fisik Melani. Gadis itu memiliki hidung yang menjulang, mata yang cemerlang dan jangan lupakan postur tubuhnya yang juga proporsional. Namun, tak seperti Irawan Hidayat yang membebaskan Herlin memilih siapa calon suaminya, Herlin terobsesi untuk memberikan Melani calon suami yang menurutnya pantas, Dan putra sulung Ibrahim Van Gobel dan Fahria Jocom adalah orang yang lebih dari pantas untuk Melani. Selain itu, Galaxy Elctric Group juga sepertinya adalah jalan keluar tersingkat baginya dan Andi Subagja untuk membuktikan bahwa mereka sudah pantas mewarisi bisnis raksasa sang ayah. Pernikahan Shandy dan Melani nantinya bukan hanya akan memepersatukan dua keluarga, tetapi juga mempersatukan dua perusahaann besar. Bukankah electronic company akan selalu pas jika disandingkan dengan bisnis telepon seluler?
“Tapi, Melan tidak kenal sama…siapa tadi namanya? Shandy itu!” Melani terus melanjutkan protesnya. Sang Ayah hanya tersenyum menanggapi.
“Cobalah dulu, Sayang. Tidak ada salahnya datang memenuhi undangan makan malam darinya. Percayalah kamu akan menyukainya.”
“Tuh kan!” Melani kembali menggerutu. “Mama sama Papa beneran mau jodohkan Melani sama Si Shandy Shandy itu. Ma, c’mon. Ini bukan jaman Siti Nurbaya lagi.”
“Jangan-jangan kamu sudah punya pacar, Melan?” Herlin mendelik curiga.
“Ma, Melan sudah punya pacar atau belum, Melan tetap tidak ingin dijodohkan!” Melani menghentakkan kedua kakinya ke lantai dan beranjak meninggalkan orang tuanya di ruang tamu. Menuju ke kamarnya, membanting pintu demi melanjutkan aksi protesnya.
Herlin hanya bisa menggelengkan kepala melihat kelakukan putri tunggalnya itu.
“Sudahlah, Ma. Kalau Melan tidak mau….”
“Tidak!” Kalimat Andi Subagja belum pula tuntas, namun Herlin sudah terlebih dahulu menyergah. “Ini satu-satunya cara kita untuk meyakinkan Papa kita sudah pantas mewarisi perusahaannya. Melani tak mengerti kita melakukan semua ini demi dia. Dia tidak perlu hidup menderita kalau kita bisa mewarisi bisnis Papa.”
“Apa maksud kamu? Kamu pikir bisnisku sendiri tidak bisa menghidupi keluarga kita!?” Andi Subagja menyela.
“Kamu tau benar apa maksudku, Andi!”
Andi mendengkus sembari tersenyum kecut. “Kamu mau bilang menyesal menikah denganku?”
“Ini lagi!?” Herlin geram. “Kalau aku menyesal menikah denganmu, aku tidak akan mengambil tindakan apa pun saat kamu pergi bersama w***********g itu!”
“Herlin!” Mata Andi melotot dan napasnya memburu menandakan gejolak emosi yang setengan mati dia berusaha redam. “Dia bukan w***********g dan dia punya nama.”
“Apa? setelah puluhan tahun berlalu, kamu masih mau membelanya? Kamu ingat bagaimana orang tuaku sudah berkontribusi besar terhadap kemajuan bisnis kamu?”
“Yang Papa kamu berikan kepadaku adalah pinjaman. Dengan bunga pula! Aku tidak berutang apa pun pada orang tuamu!”
“Oh, ya? sekarang kamu berani bilang seperti itu? Coba kamu ingat baik-baik siapa yang berani meminjamkanmu uang di saat perusahaanmu itu masih baru akan merintis? Bank-pun tidak akan mau meminjamkan!”
Andi Subgja bisa merasakan bagaimana giginya bergemeletuk di dalam rongga mulutnya. Dia telah mengorbankan segalanya demi bisa bersama Herlin. Segalanya. Tapi, wanita yang berstatus istrinya itu terus saja bersikap arogan.
“Melani harus datang ke undangan makan malam Shandy!” Herlin kembali menegaskan kalimatnya. Dan itu adalah sebuah ultimatum. Baik Andi Subagja atau pun Melani sendiri dipastikan tidak akan berani membantahnya.
***
“Ya, Mi?” Shandy menjawab ponsel yang deringannya terdengar tak sabar. Di sisi lain ruangan Adelia segera menajamkan antenanya meski matanya pura-pura lekat pada dokumen di atas meja. “Makan malam? Dengan siapa? Melani? Aku….Oke Mi. Aku balik apartemen untuk ganti baju lalu ke sana sekarang.”
Pembicaraan Shandy di telepon itu hanya berlangsung tak lewat dari lima menit tapi Adelia yakin, untuk durasi waktu yang singkat itu, ibunya telah memenangkan situasi dengan telak. Eh, tunggu sebentar, apakah malan malam ini adalah tindak lanjut dari pembicaraan kemarin waktu ibunya menerobos masuk ke dalam ruangan saat sesi wawancara mereka yang tak benar-benar terlaksana sedang berlangsung? Jadi, beneran ya dia mau dijodohkan sama ibunya? Adelia terkikik demi memikirkan hal itu. Ya ampun! Hari gini masih ada ya acara jodoh menjodohkan ini! kalau nggak laku ikutan acara Take Me Out atau apa kek sana. Usaha sendiri dong! masa masih minta bantuan Mami-nya, sih?
“Ada yang lucu?”
“Hah!?” Adelia tersentak dan refleks mendongakkan kepalanya. Shandy Gobel sudah berdiri menjulang di depan mejanya.
“Aku lihat kamu ketawa-ketawa sendiri. Ada yang lucu?” Shandy bertanya.
“Aku ketawa?” Sial! Dia lihat aku ketawa ketiwi, ya?
Shandy mengernyitkan keningnya sejenak namun kemudian segera menetralisir ekspresi wajahnya. Benar-benar cewek aneh! Memangnya apa yang lucu dari dokumen company profil vendor sampai dia cekikian seperti itu? “Aku duluan. Kalau kamu sudah selesai dengan pekerjaanmu, kamu juga bisa pulang. Atau mau pulang sama-sama? Apartemen tempat tinggal kita kan searah.”
“Eh! Tidak usah! Aku masih harus mengerjakan beberapa hal. Nanti aku pulang sendiri.” Adelia gegas menyahut. Pulang bersama? Bisa jadi garing kalau semobil sama orang ini!
“Kalau kamu mau, aku bisa minta supir perusahaan untuk mengantar kamu.”
“Tidak perlu!” tandas Adelia. “Aku bisa naik taksi online.”
Shandy tidak terbiasa membiarkan seorang wanita pulang sendirian, apalagi jika hari sudah beranjak malam. “Kamu yakin?”
“Iya. Aku sudah biasa.”
“Oke kalau begitu. Hati-hati, ya.” Shandy berbalik setelah mengucapkan hal itu.
“Iya. Kamu juga Good luck untuk dinner-nya, ya.”
Dan langkah Shandy seketika terhenti. Dia lantas berbalik, “Kamu nguping pembicaraanku di telepon?”
“Hah?” Adelia kembali melongo dan segera memasang tampang polosnya.
“Bisa-bisanya kamu menguping pembicaraan orang lain!”
Adelia menyunggingkan senyum sinis, “Aku tidak berniat nguping, tapi satu ruangan sama kamu membuatku tidak bisa menghidari mendengar pembicaraanmu di telpon tadi. Kalau tidak mau aku mendengar hal-hal pribadi kamu, bagaimana kalau kamu meminta perusahaan ini untuk memberikanku ruang kerja yang terpisah?”
Shandy mengembuskan napas dengan sedikit jengah. “Aku pergi dulu!” rasanya percuma saja berdebat dengan cewek aneh ini.
Adelia hanya bisa menggelengkan kepalanya sambil mengamati punggung Shandy yang menghilang di balik pintu kaca, “Kenapa sih perusahaan yang sebesar ini tidak bisa memberikanku ruangan terpisah? Bagaimana mau curi-curi waktu menggambar kalau setiap detik harus bersama-sama dengan orang itu? Atau, kapan-kapan aku coba bicara sama Cindy, deh!”
***
“Melani?”
“Ya?”
“Maaf, aku terlambat. Kamu sudah lama menunggu?”
Melani tak menjawab. Di hadapannya kini berdiri sosok pemuda yang beberapa detik lalu menyapanya. Dia terpaku. Jantungnya tiba-tiba berdegup lebih kencang dari biasanya. Pemuda di hadapannya itu kini mengulurkan tangan kepadanya. Melani gegas berdiri demi menyambut uluran tangan itu.
“Shandy. Shandy Gobel.” Pemuda itu kembali berujar.
“Ah!” Melani berusaha mengembalikan dirinya kepada kesadaran. “Aku Melani.” Mereka kini berjabat tangan.
“Aku tau.” Shandy tersenyum ramah. Tapi, bukankah dia memang selalu ramah pada siapa pun?
Senyum Shandy segera menular pada bibir Melani. Apakah ini Shandy yang disebut-sebut oleh ibunya sejak tadi siang? Benarkah? Melani merasakan gelombang aneh merambat ke dalam dadanya. Dia mungkin tidak akan menolak rencana perjodohan itu.[]