Jakarta, Indonesia
“Tiga puluh tahun, Adelia! Mau jadi apa kamu umur segini belum menikah?” Rasti membelalakkan matanya. Isyarat bahwa dia sedang tidak main-main dengan setiap kata yang dia ucapkan. “Tidak kerja, tidak menikah! Kamu mau apa sebenarnya, Sayang?”
“Adel kerja kok, Ma.” Adelia sebenarnya sudah lelah menceritakan tentang pekerjaannya sebagai seorang ilustrator. Bagi Rasti, ibunya, tidak berangkat ke kantor artinya tidak bekerja.
“Kerja apa kamu? Ngepet?” Rasti kembali mendelik kepada putrinya itu.
“Adel kerja, Ma! Ini saja Adel baru pulang dari perjalanan dinas ke Jepang.” Begitu mendarat di Jakarta Adelia langsung menuju ke rumah ibunya untuk membawakan oleh-oleh dari Jepang, tetapi yang didapatkannya malah petuah-petuah tentang betapa pentingnya menikah dan memiliki pekerjaan di usianya yang sudah kepala tiga ini. Padahal dia kan kerja. Dengan penghasilan yang bisa dikatakan di atas gaji bulanannya saat bekerja di kantor dulu. Adelia bahkan bisa mendapatkan dua kali lipat dari gaji bulanannya untuk setiap proyek ilustrasi yang dikerjakan olehnya. Ya, meskipun proyek tersebut tidak tiap bulan dia peroleh. Pekerja seni memang tidak memiliki penghasilan tetap. Tapi, Adelia senang menjalaninya. Ini adalah pekerjaan impiannya. Dia bahkan masih tetap dapat mengerjakan proyek ilustrasi jika suatu saat nanti mewujudkan impian masa kecilnya untuk keliling Eropa. Bukankah itu adalah hal yang sangat menakjubkan?
“Jadi, kamu tidak muncul di rumah Mama seminggu ini karena baru balik dari Jepang?” untuk pertama kalinya Rasti menyimak dengan baik perkara ‘perjalanan dinas ke Jepang ini.’
“Iya, Ma. Ini, Adel bawakan oleh-oleh untuk Mama.” Adelia dengan semangat mengeluarkan aneka penganan dan souvenir yang khusus dibelikan untuk ibunya. Sementara Rasti justru memicingkan mata pada putrinya itu.
“Dapat uang dari mana kamu ke Jepang?” Pertanyaan Rasti sukses membuat Adelia melongo. “Kamu kan sudah menganggur, dua tahun nggak kerja. Dapat uang dari mana? Nggak jual diri kan kamu, Adel? Astaghfirullah, Adel…”
“Mama!” Adelia berseru berusaha menghentikan segala pikiran buruk yang ibunya itu tujukan padanya. “Ya, nggak mungkin lah Adel jual diri, Ma!”
“Oh, ya? Mama nggak percaya! Besok kamu ikut Mama ke dokter kandungan, ya!”
“Dokter kandungan? Untuk apa sih, Ma?”
“Untuk periksa selaput dara kamu. Masih perawan nggak sebenarnya!?”
“Astaga Mama! Tega amat nuduh anak gadis sendiri yang bukan-bukan!” Adelia protes. Dan selaput dara menunjukkan seseorang perawan atau tidak, bukankah itu pengetahuan yang sudah sangat usang? Ah, Mama ini bagaimana, sih?
“Mama nggak perlu khawatirkan Adel. Adel tau bagaimana menjaga diri. Kalau ada yang perlu Mama khawatirkan, itu Mario! Coba telpon dia. Adel jamin sekarang dia lagi bawa perempuan ke kos-kosannya.”
“Adel! Hati-hati kalau bicara!” Berganti Rasti yang protes. Pikirannya lantas melayang pada Mario, putranya, saudara kembar Adelia, yang saat ini sedang bekerja di Manado. Mario, putranya itu memang sedikit badung. Tapi, apa benar dia sering bawa perempuan ke kos-kosannya? Ah, ada-ada saja Adelia!
“Kalau nggak percaya coba Mama video call dia!” Adelia beranjak dari ruang tamu dengan kesal. Menuju ke kamarnya.
“Eh, eh. Adel mau ke mana? Mama belum selesai ngomong!”
“Mau ngomong apa lagi sih, Ma?” Adelia menghentikan langkahnya tepat di ambang pintu kamar.
“Bagaimana Mama ngga berburuk sangka sama kamu. Kamu nggak kerja, tapi sering bepergian. Bisa sewa flat pula. Sudah gitu kamu bikin tato di tangan kamu itu! Kenapa kamu tambah nakal gitu sih, Adel?”
“Aduh, Ma!” Adelia menggaruk kepalanya yang tidak gatal sehingga rambutnya yang panjangnya sepunggung itu berantakan. “Mau berapa kali Adel bilang kalau Adel itu kerja. Kerja! Dan Adelian sharing sama Rinai untuk menyewa flat itu. Jadi, nggak mahal-mahal amat.” Adelia lantas mengamati tato di lengan kanannya. Tato yang iseng-iseng saja dia buat bersama Rinai sebelum mereka ke Jepang, “Terus ini tuh temporary tatoo. Sebulan juga hilang gambarnya. Jangan khawatir. Adelia tetap anak perempuan Mama yang baik.”
“Kalau baik, nurut dong sama Mama. Nikah ya. Mau ya.”
“Ma….”
“Mama cuma ingin lihat kamu bahagia, Adel.”
Adelia mengembuskan napasnya dengan keras menunjukkan betapa kesalnya dia dengan pembahasan tentang pernikahan ini, “Ma, kalau pernikahan adalah hal yang membuat Mama menderita, kenapa Mama begitu yakin hal itu akan membuat Adel bahagia?” Rasti tampak terkejut dengan ucapan Adelia, namun putrinya itu rupanya sudah enggan terlibat pembicaraan itu dengannya lagi, karena beberapa detik kemudian terdengar suara pintu kamar yang menutup dengan keras.
Berganti Rasti yang mengais-ngais oksigen di udara karena dirasakan dadanya begitu sesak. Ucapan Adelia serupa belati yang tepat menghujam ke ulu hatinya. Pernikahan memang membuat Rasti menderita. Pernikahannya yang kandas dengan ayah dari anak kembarnya memang adalah sesuatu yang tak pernah berhenti dia sesali dalam hidup. Pengkhiatan yang dilakukan oleh orang terkasih memang akan membekaskan rasa getir tanpa penawar.
***
“Tiga puluh enam tahun, Shandy! Mau tunggu empat puluh tahun baru menikah? Atau lima puluh tahun sekalian? Demi Allah, Mami sudah ingin gendong cucu!” Fahria menjeda pembicaraan bisnis yang sedang dilakukan oleh Shandy dan Ibrahim, suaminya. Hari ini Shandy datang kembali ke Indonesia setelah tinggal setahun di Tokyo untuk memperlajari beberapa hal terkait rencana ayahnya memproduksi barang elektronik sendiri. Tidak lagi mengimpornya dari negara lain. Dan begitu bertemu pertama kali dengan putra sulungnya itu, Fahria langsung memberondongnya dengan pertanyaan tentang pernikahan. Harus segera karena Shandy tidak akan lama berada di Indonesia.
“Mami, aku baru datang tapi langsung ditanya-tanya kapan menikah. Mami tidak mau peluk aku dulu? Mami tidak rindu?” Shandy beranjak dari sofa ruang tengah dan membentangkan lengannya. Bermaksud memeluk sang ibu yang terlihat uring-uringan.
“Mami tidak butuh peluk kamu. Mami butuh peluk cucu!” Fahria mencibir yang langsung disambut oleh tawa dari Aidan dan Jusuf yang juga sedang berada di ruang tengah rumah kediaman orang tuanya itu. Dia memang diberkati dengan tiga anak laki-laki yang tampan dan penurut. Tapi, kebahagiaannya seolah masih kurang saja karena ketiga putranya yang hanya terpaut masing-masing empat tahun itu sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda hendak menikah. Semuanya gila kerja. Persis seperti Ibrahim Van Gobel, ayah mereka.
“Tuh, Aidan mungkin sudah kebelet menikah. Mami minta cucu dari dia saja.” Shandy melirik ke arah adik nomor duanya. Si anak tengah yang selain andal di perusahaan juga jago berkuda. Dia akan menghabiskan waktu luangnya mengurus kuda-kuda di peternakan keluarga mereka. Dia lebih memilih menghabiskan waktu dengan kuda-kuda dibanding dengan gadis mana pun.
“Enak saja! Aku tidak akan melangkahi Abang untuk urusan nikah-nikah ini. Si Jusuf aja suruh menikah tuh!” Aidan mengalihkan permasalahan tersebut ke anak paling bontot dalam keluarga. Jusuf Gobel. Sama. Padanya juga Fahria tidak bisa menggantungkan harapan perihal cucu, karena Jusuf lebih memilih tenggelam dalam buku-buku di perpustakaan keluarga dibandingkan menghabiskan malam minggunya di luar.
Jusuf hanya melirik sambil mendengkus dan menggeleng-gelengkan kepalanya. Perniakahan memang tidak menarik minatnya untuk saat ini. Dia sedang mempersiapkan diri untuk melanjutkan sekolah S3 di luar negeri.
“Aduh! Mami pusing sama kalian ini! darah tinggi Mami bisa kumat kalau udah pikirin kalian. Apa Mami cariin saja kalian jodoh? Mami jodohin, ya! kalian ini kok kalah dari Andromeda! Lihat dia sudah punya anak. Mami kan juga ingin gendong anak kalian.”
Jusuf kembali menggelengkan kepalanya, “Kalau begitu, Mami gendong saja anaknya Andro.”
Aidan tergelak mendengar ucapan adik bungsunya itu, sementara Shandy justru melotot ke arah Jusuf, berusaha memberinya kode bahwa ucapannya tadi agak keterlaluan untuk diucapkan pada ibu mereka. Meski, sebenarnya dalam hati Shandy sudah tidak sanggup untuk menahan tawanya.
“Sudah. Sudah.” Ibrahim berusaha menengahi. Dia tidak terlalu ambil pusing perihal hubungan asmara anak-anaknya. Dia sendiri menikah di usia pertengahan tiga puluh. Di saat sudah meraih semua ambisi masa mudanya. Di saat sudah settle dalam bisnisnya. Dalam prinsip Ibrahim, seorang lelaki tidak masalah menikah di usia berapa pun. Asal sudah sukses, yang lain bisa menyusul.
“Papi, mumpung kita ini masih kuat gendong cucu. Papi mau dapat cucu kalau sudah terlanjur jompo? Mau gendong cucu tapi sendi-sendi sudah berkarat semua!” Fahria Jocom tak henti-hentinya mencibir.
Shandy tersenyum. Dia berjalan mendekati ibunya, merengkuh wanita satu-satunya di rumah mereka, dan berujar, “Mami tenang saja. Aku sudah punya calon. Nanti aku kenalin, ya?”
“Apa? beneran kamu Shandy?” Fahria perlu mendongakkan kepalanya untuk memeriksa raut wajah sang anak. Tinggi Shandy yang hampir 185 cm dan menilai air wajahnya yang selalu tenang itu adalah perkara yang sedikit rumit, “Kamu tidak bohongin Mami, kan?”
Tentu saja Shandy berbohong. Selama di Indonesia dia sibuk mengurusi perusahaan milik Jocom karena perintah kakeknya, lalu ketika tiba di Tokyo, Ibrahim tak henti-hentinya memberinya pekerjaan yang menguras waktu dan tenaganya. Mana ada waktu untuk dihabiskan berinteraksi dengan wanita-wanita? Tapi, demi membuat ibunya tenang, bohong sedikit tidak masalah, bukan?
“Awas saja kalau sampai kamu bohong. Ingat, Mami akan turun tangan untuk carikan kamu jodoh!” Fahria mengancam dan di pikirannya segera terlintas sebuah nama. Teman masa kuliahnya dulu yang pernah dilihatnya datang ke reuni angkatan mereka bersama anak gadinya. Anak gadisnya itu sangat cantik. Sepertinya, Shandy akan suka.[]