Adelia melirik ke sisi lain ruangan di mana meja kerja Shandy berada. Sudah tiga hari berlalu sejak kejadian pertemuannya dengan Beno di restoran yang berakhir Adelia menangis hebat di dalam mobil Shandy dalam perjalanan mereka kembali ke kantor. Adelia tidak mendapatkan kabar apa pun dari Beno sejak hari itu. Dia juga tidak bercerita apa pun kepada Rinai. Untuk apa bahkan dia harus bercerita? Bukankah Beno hanya masa lalu yang sudah lama ingin dia singkirkan dari pikiran?
Sementara itu, Shandy sama sekali tidak pernah menanyakan alasan di balik tangisan Adelia. Dia bahkan tak pernah memancing Adelia untuk bercerita. Tapi, sejak saat itu pula Shandy kerap menatap Adelia dengan intens sambil sesekali bertanya, apakah Adelia baik-baik saja. Demi Tuhan, Adelia merasa alangkah jauh lebih baik jika Shandy menanyakan saja apa yang terjadi dibanding ditatap secara intens dengan sorot mata yang tampak prihatin dan penuh rasa kasihan. Sorot mata yang seolah menganggap Adelia adalah makhluk yang begitu rapuh sehingga jika disentuh sedikit saja akan pecah berkeping-keping. Oh, Tuhan, tatapan Shandy berbicara lebih banyak daripada yang mulutnya bisa lakukan.
Brak!! Adelia menggebrak meja saat beranjak dari kursinya. Membuat Shandy sekaligus dirinya sendiri terkejut.
“Kenapa kamu?” Shandy refleks menoleh ke arahnya.
“Eh, itu…aku mau ke kafetaria. Beli es kopi. Mau titip?” Adelia menyahut kikuk.
Shandy menggeleng. “Tidak. Terima kasih.”
Adelia gegas keluar ruangan. Tujuannya sebenarnya bukan ke kafetaria kantor. Tapi, dia memutuskan untuk tidak ada salahnya membeli segelas es kopi dulu dari sana sebelum menuju ke ruangan HRD dan menemui Cindy. Dia harus meyakinkan Cindy akan sesuatu yang sifatnya penting dan mendesak.
“Apa kamu bilang?” Cindy memandangi Adelia melampaui bingkai kaca matanya, “Kamu minta ruangan terpisah dari Bapak Shandy?”
Adelia mengangguk sambil menyeruput es kopi dari gelas kertas di genggamannya melalui sedotan. “Iya. Perusahaan sebesar ini pasti masih punya satu ruangan kosong untuk kugunakan sementara. Aku merasa privasiku agak sedikit terganggu kalau harus seruangan dengan Shandy. Maksudku, Bapak Shandy.”
Cindy tersenyum kecut, “Aku rasa tidak bisa.”
“Kenapa?”
“Karena Bapak Shandy yang ingin agar kamu seruangan dengan dia. Memudahkan koordinasi. Dia bilang begitu.”
“Dan kenapa kita harus mendengarkan kata-kata dia?” Adelia membantah membuat kedua mata Cindy terbelalak saking terkejutnya. “Kalau begitu aku mau menghadap ke atasannya Bapak Shandy untuk mengadukan permintaannya yang tidak masuk akal ini. Aku minta ruangan sendiri sebagaimana sekretaris pada umumnya mendapatkan ruangan mereka sendiri. Oke, tidak perlu ruangan sendiri kalau memang itu hal yang sulit dipenuhi oleh perusahaan sebesar ini. Cukup letakkan saja mejaku di luar ruangan itu.”
Cindy memijit pelipisnya karena dirasakan kepalanya mulai berdenyut, “Maksudmu, kamu mau bertemu dengan pemilik perusahaan ini hanya untuk meminta ruangan tersendiri?”
Adelia mengerutkan keningnya lalu balas bertanya, “Pemilik perusahaan? Maksud kamu?”
“Iya, kamu mau bertemu dengan atasannya Bapak Shandy, kan? Itu berarti pemilik perusahaan ini. Bapak Ibrahim Van Gobel.”
“Hah?” Adelia terkejut karena menyadari betapa pentingnya rupanya kedudukan Shandy di perusahaan ini. Atasannya adalah pemilik perusahaan ini? Bukan CEO atau Kepala Departemen atau seorang Direktur, misalnya?
“Aku malah terkejut kalau kamu belum pernah bertemu dengan Bapak Ibrahim. Bukannya kamu calon istri Bapak Shandy? masa belum pernah bertemu calon mertua sendiri, sih?”
“Calon istri!? Kata siapa?” Adelia kini sepenuhnya terbelalak. Dia tadi nyaris saja tersedak es kopinya.
“Waktu itu kalau tidak salah ibu kamu ke sini dan menyebut-nyebut Shandy sebagai calon menantu.”
“Ahhh! Itu….” Adelia mendadak salah tingkah. Dia ingin sekali bilang bahwa itu semua hanyalah salah paham semata tapi dia bingung harus menjelaskannya bagaimana. “Eh, tapi tunggu dulu. Apa tadi kamu bilang, Cin?”
“Yang mana?”
“Yang soal pemilik perusahaan.”
Cindy menautkan kedua alisnya, “Pemilik perusahaan? Bapak Ibrahim?”
“Ya! Ya! Bapak Ibrahim Van Gobel. Kata kamu tadi, dia bapaknya siapa?”
“Bapaknya Bapak Shandy.” Cindy menyahut, “Ah, kamu gimana sih Adel? Kamu kan calon istrinya. Masak kamu….”
Kalimat Cindy masih panjang lagi. Lebih tepatnya cerocosan. Tapi, tak ada satu pun dari kalimat-kalimat itu yang berhasil masuk ke dalam kepala Adelia, karena sekarang pikirannya sibuk mengolah kejutan yang baru saja dia dengarkan dari Cindy. Apa maksudnya tentang hubungan pemilik perusahaan ini dengan Shandy? Shandy Gobel anak dari Ibrahim Van Gobel? Ya! ya! tentu saja! Nama belakang mereka sama, bukan? Kenapa dia tidak menyadari hal ini sejak semula? Kenapa Shandy tidak pernah mengatakan apa-apa soal ayahnya yang adalah pemilik perusahaan? Ah, tapi mereka kan memang tidak begitu dekat sampai-sampai Shandy harus menceritakan tentang siapa ayahnya. Astaga! jadi, Shandy anak pemilik perusahaan berskala nasional ini?
“Del, Adel! Kamu baik-baik saja, kan? Kok bengong, sih?” Pertanyaan Cindy mengempaskan Adelia kembali ke alam nyata.
“Ah…iya, iya Cin. Ya sudah, ya. Aku balik ke ruangan dulu, Bisa gawat nanti kalau Bapak Shandy cari-cari aku.”
Cindy hanya bisa mengangguk. Lalu saat Adelia berbalik meninggalkan ruangannya, dia bertanya setengah berteriak, “Eh, Adel! Tapi, emangnya benar kamu itu calon istri Bapak Shandy?”
Tentu saja Adelia tak memberikan jawaban apa pun. Dalam perjalanannya kembali ke ruangan dia memutar lagi informasi yang baru diketahuinya dari Cindy. Astaga! Jadi, Shandy anak pemilik perusahaan ini? Pembawaan Shandy yang ramah dan bersahaja sama sekali tidak menggambarkan bahwa dia anak seorang pemilik perusahaan besar. Ah, tapi memangnya bagaimana seharusnya anak seorang konglomerat bersikap? Dan, oh astaga…apakah dia sudah melakukan kesalahan fatal dengan mengakui Shandy sebagai pacar di depan ibunya? Ya ampun! Adelia seketika merasa telah melakukan sebuah kekonyolan yang tidak termaafkan.
Adelia mendorong pintu kaca ruangan dengan sedikit dramatis. Dia harus mengonfirmasi langsung infromasi yang baru saja diperolehnya meski dia yakin Cindy tidak mungkin memberikan informasi yang keliru.
“Shandy, kamu kok tidak pernah bilang kalau kamu anak….” Kalimat Adelia terhenti karena menyadari ada sosok lain di dalam ruangan mereka. Seroang wanita paruh baya dengan penampilan berkelas dan wajah yang tampak familiar. Tunggu, bukannya ini wanita yang pernah menerobos masuk ke ruangan Shandy sebulan lalu saat mereka akan memulai wawancara? Ini, ibunya Shandy, kan?”
“Nah, ini dia orangnya, Mi.” Shandy beranjak dari sofa yang terletak di ruangannya, yang digunakan untuk menyambut kolega bisnis, vendor atau pun beberapa petinggi perusahaan yang butuh berbicara dengan Shandy.
“Eh….” Adelia menjadi kikuk dengan suasana di dalam ruangan. Shandy justru mengampirinya dan merengkuh pundaknya. Eh, tunggu. Ada apa ini? apa yang sedang terjadi?
“Kenalkan, Mi. Ini Adelia. Adelia, ini ibuku.”
Adelia, demi sopan santun, mengulurkan tangannya pada Fahira Jocom yang tengah menatapnya dengan penuh selidik. Dia membalas uluran tangan Adelia dan serta merta Adelia mencium punggung tangannya dengan takzim.
“Jadi, ini pacar kamu, Shandy?” Fahria akhirnya membuka suara.
“Iya, Mi.” Shandy menyahut santai. Semantara Adelia justru terlonjak.
“Apa!?” Gadis itu menoleh ke arah Shandy dengan mata yang terbelalak dan mengisyaratkan kode yang berarti cepat jelaskan apa yang terjadi karena kalau tidak aku tidak akan segan-segan memukulmu!
Shandy balas menatap Adelia sambil tersenyum menampilkan deretan giginya yang rapi. Di kehidupan yang lain, di semesta yang berbeda, bisa dipastikan 100% Adelia akan luluh pada senyuman itu. Tapi tidak di semesta yang mereka tinggali sekarang, terlebih pada situasi yang tak terbaca ini.
“Sayang, maaf kalau mendadak dan tidak sempat memberitahu kamu. Tapi, apa boleh buat. Mami ingin sekali bertemu dengan kamu. Kita tidak bisa merahasiakan ini lagi dari Mami.”
Tangan Adelia yang tengah mengenggam gelas es kopi tampak sedikit bergetar. Ucapan Shandy benar-benar mengguncannya. Adelia berjanji akan mengguyurkan es kopi itu ke kemeja Shandy begitu Mami-nya keluar dari ruangan mereka.
Fahria Jocom masih berdiri dengan ekspresi yang begitu dingin. Namun detik berikutnya senyuman lebar mengembang di wajahnya. “Astaga! jadi ini calon menantu Mami? Manis sekali. Adelia, kan?” Fahria bergerak maju dan dua detik kemudian Adelia sudah berada di dalam pelukannya yang terasa hangat.
Adelia melirik ke arah Shandy dan pemuda itu hanya membalas dengan cengiran sambil menggumamkan kata ‘sorry’ dengan tanpa suara sedikit pun. Saat itulah Adelia baru menyadari apa yang tengah menimpanya ini.
As-ta-ga!!!