Es Krim Nutella

1638 Kata
                        “Bagaimana makan malam kalian?” Fahria bertanya begitu sosok jangkung Shandy muncul di ruang makan kediaman keluarga Ibrahim. Pertanyaan itu sontak membuat langkah Shandy sedikit terhenti.             “Shandy baru muncul tapi hal tidak penting seperti itu yang kamu tanyakan.” Ibrahim setengah protes. Dia telah duduk di kepala meja dengan istri dan anak-anak lelaki mereka duduk mengitari sisi-sisi meja makan mewah itu.             “Loh, Papi! Ini juga penting!” Semua tahu Fahria Jocom tidak akan pernah suka dibantah.             “Makan malamnya lancar, Mi.” Shandy segera menengahi sambil tersenyum lebar. Dia mengambil tempat duduk berhadapan dengan ibunya. Saat mengatakan hal itu, Shandy bisa melihat dengan ekor mata bagaimana kedua adiknya, Aidan dan Jusuf, setengah mati menahan tawa. Mereka tahu Shandy dibuat kelimpungan dengan ambisi Mami mereka untuk menikahkan dia sementara Shandy belum memikirkan pernikahan sama sekali.             “Cantik kan, si Melani?” Fahria terus memberondong Shandy dengan pertanyaa, padahal Shandy tadi sudah hendak menyendok nasi ke atas piringnya. Tampaknya, makan malam keluarga kali ini sengaja dibuat Fahria untuk mengorek seberapa jauh perasaan Shandy pada Melani.             “Cantik.” Shandy berujar singkat sambil menatap ibunya itu. Fahria sudah akan tersenyum bangga karena merasa berhasil menemukan calon pasangan yang pas untuk Shandy, kalau saja tidak mendengar kalimat Shandy berikutnya, “Semua perempuan kan cantik. Mami juga cantik.”             Mendengar hal tersebut senyum Fahria surut bahkan sebelum terbit, sementara Aidan justru terbahak-bahak dan baru berhenti ketika Fahria melotot ke arahnya.             “Di matanya semua perempuan sama saja. Tidak ada yang istimewa. Mungkin Abang Shandy tidak suka perempuan, Mi.” Aidan berseloroh dan Shandy hanya menanggapi dengan kekehan yang tak kalah keras. Tentu saja hal itu hanya bercanda tapi si Adian b******k juga, ya. Kalau tidak ada Mami dan Papi, sudah dipastikan Shandy tidak akan sungkan-sungkan memiting leher adik pertamanya itu.             “Sudah! Sudah! Kalian kan baru pertama kali bertemu. Ayo coba dong, Shandy, kamu ajak Melani jalan lagi kemana kek. Makan, nonton di bioskop, kemana kek.” Fahria tampaknya tak ingin menyerah.             “Bang Shandy terakhir pacaran itu SMA, Mi. Saking lamanya tidak punya pacar, sekarang dia sudah lupa cara memperlakukan cewek.” Aidan kembali berseloroh.             “Shandy, Mami tidak mau tau! Kamu harus mengenal Melani lebih dalam. Dia pasangan yang cocok buat kamu. Atau kamu punya calon lain?”             Shandy menggeleng, “Tidak ada, Mi.”             “Nah! Makanya, kamu hargai usaha Mami carikan kamu calon istri. Ibunya Melani itu teman baik Mami. Mereka dari keluarga baik-baik.”             Tak ingin membuat ibunya kecewa atau pun cemas, akhirnya Shandy berujar, “Iya, Mi. Tenang saja. Nanti aku akan ajak Melani jalan.”             “Begitu, dong.” Fahria tampak lebih lega. “Besok saja kamu ajak Melani jalan, mumpung weekend.”             Shandy mengangguk.             “Sudah kan bahas calon-calonan ini.” Ibrahim menimpali, “Sekarang saatnya bahas bisnis.”             “Papi ini bisnis terus yang dipikirkan!” Fahria menggerutu.             “Jadi, kamu kapan mau lihat pabrik yang di Jawa Tengah?” Ibrahim tidak mempedulikan istrinya dan memilih untuk mengalihkan pembicaraan ke topik yang lebih serius.             “Sepertinya minggu depan, Pi.”             Ibrahim mengangguk sambil tersenyum bangga. Shandy memang sangat bisa diandalkan untuk urusan bisnis. Dia berkerja dengan cepat, sigap dan tidak pernah membuang-buang waktu. “Baguslah. Biar pabrik kita juga cepat running. Kamu pergi sendirian?”             “Mungkin dengan sekretarisku, Pi.”             “Sejak kapan Bang Shandy punya sekretaris?” Jusuf yang bertanya dan segera memancing rasa ingin tahu anggota keluarga lain yang ada di ruangan itu. Dirinya saja sebagai salah satu direktur di perusahaan tidak memiliki sekretaris, bagaimana bisa Shandy yang hanya seorang Project Manager sementara di perusahaan diberikan sekretaris?             “Shandy butuh sekretaris untuk mempercepat proyek ini. Dia hanya akan berada di Indonesia selama tiga bulan.” Ibrahim yang menjawab dan jawaban itu sukses membungkam mulut Jusuf.             “Siapa sekretaris kamu?” Fahria bertanya acuh tak acuh, “Mami sudah pernah ketemu belum?”             “Sepertinya sudah, Mi.” Shandy menajwab ragu-ragu. Memang apa pentingnya Fahria ingin bertemu dengan Adelia?             Tidak ada lagi yang menanggapi pembicaraan tentang bisnis ataupun tentang calon pasangan Shandy. Sisa waktu yang berlalu dihabiskan oleh keluarga itu untuk menyantap masakan Fahria yang tidak pernah gagal memanjakan lidah setiap anggota keluarga.   ***             “Aku senang kita bisa nonton sama-sama.” Melani tidak tahu bagaimana caranya menghentkan senyum di bibirnya. Dia tidak pernah merasa seperti ini sebelumnya. Dia tidak pernah merasa sebahagia ini saat bersama pria mana pun.             “Sejak makan malam di rumah orang tuaku semalam, ibuku tidak pernah berhenti mengingatkanku untuk mengajakmu jalan.” Shandy memasang seat belt dan mulai menghidupkan kenadaraannya. Mereka telah menghabiskan malam di bioskop dan dilanjut dengan dinner. Waktu sudah hampir menunjukkan pukul 10. Shany tidak ingin Melani tiba di rumah terlalu malam.             “Oh, jadi karena disuruh Tante Fahria?” Ada sedikit nada kecewa yang terselip dalam intonasi suara Melani.             “Maaf kalau tiba-tiba dan jadinya menganggu jadwalmu.” Shandy sepertinya tidak menangkap nada kecewa yang tersirat dari ucapan Melani barusan.             “Tidak!” Melani berseru dan begitu sadar bahwa ucapannya terkesan terburu-buru, dia segera menambahkan, “Aku sedang tidak ada jadwal, kok.” Bahkan sekali pun ada, aku akan mengosongkan seluruh jadwalku untuk bisa nonton dan makan malam dengan kamu. “Oh, ya. Mamaku mengajak kamu makan malam di rumah. Apa kamu bisa?”             “Hm? Kapan?”             “Tergantung waktu kamu saja. Kamu kan belum pernah bertemu langsung dengan orang tuaku. Mereka hanya mendengar tentang kamu dari Tante Fahria.”             “Oh, aku bisa kapan saja di minggu ini. Awal minggu depan aku harus ke luar kota.”             “Great! Aku akan hubungi kamu secepatnya untuk kasih tau kapan harinya. Semoga bisa di minggu ini, ya.”             “Oke.” Shandy menangguk.             “Oh, ya, boleh aku bertanya sesuatu?” sial! Melani tidak pernah merasa harus meminta izin sebelumnya ketika hendak bertanya atau mengutarakan pendapatnya. Tapi, kenapa ketika Shandy lawan bicaanya, dia menjadi sedikit tak percaya diri?             “Ya. Kamu bisa tanya apa pun.” Shandy menjawab tanpa mengalihkan tatapannya dari badan jalan.             “Bagaimana menurut kamu tentang hubungan kita.”             “Hm? Hubungan kita? Maksud kamu?”             “Maksudku, rencana kedua orang tua kita. Untuk menjodohkan kita, aku kira.”             Shandy tersenyum. “Maafkan ibuku soal itu.”             Kenapa dia selalu minta maaf kalau membahas ini, sih? apa itu artinya dia tidak tertarik padaku? “Maksudku, kalau tanggapanmu sendiri bagaimana tentang aku? Apa kamu tidak tertarik untuk mencoba apa apa yang orang tua kita rencanakan? Maksudnya, membawa hubungan ini ke arah yang lebih serius.” Sial sekali lagi! Melani yang selama ini selalu mengagung-agungkan harga dirinya sebagai perempuan berkelas di hadapan lelaki mana pun, kini seolah membuang begitu saja prinsipnya demi Shandy. Apa pun demi mengetahui bagaimana sebenarnya perasaan pemuda ini padanya.             Shandy terdiam beberapa detik karena tak pernah menyangkan pertanyaan seperti ini akan dilayangkan Melani kepadanya. “Aku,” Shandy tampak ragu sebelum kemudian melanjutkan, “Aku sebenarnya belum memiliki rencana untuk menjalin hubungan serius dengan siapa pun.”             Melani sebenarnya sudah bisa menebak tanggapan seperti ini, namun demi mendengarnya sendiri hatinya terasa sakit. Apakah itu artinya dia ditolak? Namun, bukan Melani namanya jika akan menyerah semudah itu, “That’s okay. Kita belum saling mengenal lebih jauh. Aku harap kamu bisa berubah pikiran suatu saat nanti.”             Shandy hanya menanggapi dengan senyum. Apakah yang diucapkannya barusan terlalu berlebihan bagi Melani? apakah seharusnya dia tidak mengatakan hal itu? Detik berikutnya Shandy menginjak pedal rem hingga Melani sedikit tersentak. Mereka masih jauh dari rumah Melani tapi, kenapa mobil Shandy berhenti?             “Ini sudah malam tapi, apa kamu mau makan es krim?” Shandy menoleh kea rah Melani.             “Es krim?” Melani tak mengerti.             “Ya. Kedai ini terkenal dengan aneka rasa es krimnya yang lezat.”             Melani mengikuti arah pandang Shandy ke sebuah bangunan bertuliskan ‘Rainbow Ice Bar’. Sudah malam, tapi kenapa kedai es krim ini masih buka? “Ya, boleh.” Melani baru saja akan melepas seat belt-nya ketika Shandy berkata, “Tidak, kamu tunggu saja di mobil. Aku akan membelikan es krim untuk kita. Dan kita bisa memakannya di dalam mobil.” “Oke.” Melani tersenyum sambil menangngguk. Pria-pria yang dikencaninya sebelum ini selalu berusaha membawanya ke hotel atau ke apartemen milik mereka usai dating mereka. Hanya Shandy yang membawanya ke kedai es krim usai kencan mereka. Tunggu, apakah ini bahkan layak disebut kencan? “Mau rasa apa?”             “Ah, aku….” Melani tidak terlalu suka penganan manis, tapi demi bisa lebih lama menikmati malam bersama Shandy, es krim bukan persolan besar.             “Baiklah. Aku akan membeli dua corn es krim Nutella. Rasanya enak sekali. Kamu harus coba.” Shandy bergegas turun dari mobil dan menghampiri kasir untuk memesan dua es krim. Namun tampaknya meski sudah beranjak malam, pelanggan kedai es krim ini tak juga berkurang. Masih ada sekitar tiga orang yang mengantre di hadapannya.             “Es krim coklat.” Seorang wanita di depannya berujar pada kasir karena sudah tiba gilirannya. Tapi, tunggu dulu. Sepertinya Shandy familiar dengan suara itu. “Take away.”             Kasir mencatat pesan di depan layar komputer di hadapannya dan tak sampai lima menit kemudian, seorang karyawan kedai muncul dari dalam sambil membawakan pesanan. “Satu corn es krim coklat.”             “Terima kasih.” Pelanggan itu menyahut. Tuh, kan, Shandy tidak salah. Dia familiar dengan suara ini. Shandy melangkah maju untuk melihat lebih dekat siapa wanita yang tengah mengantre di hadpaannya ini tepat ketika wanita itu justru berbalik dan tanpa bisa menghindar, menabrak tubuh Shandy bersama es krim dalam genggamannya.             “Eh, maaf! Maaf!” Wanita itu panik karena es krim itu kini telah berpindah ke baju pemuda yang baru saja di tabrak, “Lagian kenapa sih Bapak mengantrinya terlalu dekat di belakang saya?” Perempuan itu mendongak dan saat padangan mereka bertabrakan, dia memekik, “Shandy!?”             Shandy mengembuskan napas panjang dengan sedikit kesal. Kenapa setiap kali bertemu Adelia, bajunya harus jadi kotor begini?[]
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN