4D

1832 Kata
Irine berjalan pergi meninggalkan Dean dengan sejumlah pertanyaan yang masih menggantung di kepalanya. Tapi beberapa hal tentang wanita itu mulai terasa jelas. Pertama sikapnya. Ada cerita yang tersembunyi di balik sikap diamnya yang misterius. Satu hal yang pasti: Irine mengetahui sesuatu tentang tempat itu dan wanita itu berusaha untuk memeringatinya. Meskipun begitu Dean tidak bisa memercayainya begitu saja. Jika Irine berniat menolongnya, kenapa juga wanita itu menyembunyikan sesuatu dan menghindari pertanyaannya? Boleh jadi sikap itu adalah serangkaian jebakan yang telah direncanakan untuk menjerumuskan Dean lebih jauh. Jangan mudah untuk memercayai siapapun, Dik.. Kate pernah mengatakan hal itu padanya. Aku tidak peduli sekalipun kau mengenal orang itu seumur hidupmu. Jangan memercayai siapapun lebih dari keluargamu! Getaran ponsel di saku celananya kemudian membuyarkan lamunan Dean. Dean memeriksa sejumlah pesan yang masuk secara berebutan ke ponselnya. Beberapa pesan berasal dari Nikki, beberapa yang lain adalah balasan pesan dari Kate. Kate sedang online. Tidak mau menyia-nyiakan kesempatan itu, Dean langsung menekan tombol hijau untuk menghubungi Kate. Panggilannya langsung dijawab pada deringan ketiga. “Ban mobilmu meletus?” sembur Kate segera setelah mereka terhubung. “Tidak, serius Kate! Aku membutuhkanmu untuk mencari tahu lebih jauh tentang tempat ini.” “Aku tidak mengerti, apa yang terjadi?” “Aku tidak bisa menjelaskannya sekarang. Jika kujelaskan, kau akan berpikir kalau gila.” “Santai saja, Dik. Masalahnya aku tidak bisa melacaknya kecuali kau mengaktifkan GPS-mu.” “Tidak ada sinyal disini.” “Kau sudah mencoba mengaktifkan lagi alat pelacak yang kutinggalkan di mobilmu? Radarnya lebih jauh dan kau tidak membutuhkan internet untuk mengaktifkannya.” “Jadi kelihatannya aku harus kembali kesana untuk mengaktifkannya.” “Ya.” “Baik, aku akan menghubungimu lagi ketika aku sudah mengaktifkannya.” “Aku akan menunggu.” “Dengar, Kate. Untuk berjaga-jaga kalau aku tidak menghubungimu lagi, itu artinya ponselku kehabisan daya.” “Apa? Tidak ada listrik?” “Tidak. Disini sangat sulit menemukan sumber listrik.” “Kalau begitu dengarkan baik-baik, kalau kau menemukan tanda-tanda bahaya, coba bongkar mesin mobilmu dan sambungkan kabelnya pada lubang di ponselmu. Ada tiga kabel merah yang mengalirkan listrik. Aku tidak pernah mencobanya tapi kudengar cara itu pernah berhasil.” “Bagaimana aku tahu kabel yang harus digunakan.” “Sialan, umm.. posisinya ada di lantai mobil. Ada pengait kotak hitam kecil. Kabel itu ada di dalam kotak, kau membutuhkan benda tajam untuk membongkarnya. Cobalah periksa beberapa perkakas yang kusimpan di bagasimu.” “Oke baiklah.” Dean memejamkan mata ketika berusaha mengingat sesuatu yang hendak disampaikan. Sampai ketika pertanyaan itu muncul, ia segera mencetusnya dengan cepat. “Kate, sebenarnya ada hal lain. Aku butuh bantuanmu untuk mencaritahu apa pernah ada seseorang bernama Ian yang masuk dalam daftar orang hilang dalam dua tahun terakhir.” “Ian?” “Ya.” “Ian siapa? Dan kenapa juga aku harus mencarinya?” “Aku tidak tahu apa nama panjangnya..” “Menurutmu, Dik, itu mudah? Ada ratusan – mungkin ribuan orang bernama Ian di negara bagian ini..” “Aku tahu, tapi aku hanya memintamu untuk mencaritahu kalau ada laki-laki dewasa bernama Ian yang pernah masuk dalam daftar orang hilang. Itu saja..” Kate mengembuskan nafasnya, dengan berat hati mengatakan, “baiklah, aku akan mencarinya. Tapi begitu aku menemukannya, kau harus menjelaskan apa maksudnya semua itu.” “Tentu.” “Ada hal lain yang kau butuhkan, Dik? Katakan saja!” “Tidak, Kate. Itu sudah cukup.” “Kau bisa menguhubungiku kapan saja, kau tahu itu?” “Ya, terima kasih. Aku menghargainya.” Sambungan telepon diputus. Dean kemudian mengulang apa yang disampaikan Kate tentang mesin mobil dan kabel merah selagi berusaha mengingatnya. Kemudian ia mendengarkan pesan suara dari Nikki dan segera menghubungi wanita itu. “Dean?” “Nikki! Ini aku. Aku baru saja mendengar pesanmu..” “Ya itu..” Nikki berhenti berbicara ketika Sam menyerukan namanya dari seberang ruangan. “Tunggu sebentar..” wanita itu hendak membalas seruan Sam ketika Dean menghentikannya “Tunggu, itu Sam, kan?” “Ya!” “Tolong berikan ponselmu padanya, aku ingin berbicara padanya..” “Dean, kurasa ini bukan waktu yang tepat..” “Tolong, Nik.. aku perlu mendengar suara putriku,” Dean bersikeras. Ia dapat membayangkan Nikki menghela nafas sembari memutar bola matanya dengan kesal. “Baiklah. Cuma sebentar karena ada hal penting yang ingin kusampaikan padamu.” “Janji.” Dean menunggu sembari menatap layar ponselnya, untuk pertamakalinya berdoa agar garis sinyal itu tidak hilang. Kemudian ketika suara Sam muncul di seberang, jantungnya berdegup kencang dan ia langsung mendekatkan ponsel ke telinganya. “Ayah?” “Sam! Ini aku.” “Ayah! Dimana kau?” “Dengar, aku sedang berada di tempat yang jauh sekarang jadi aku tidak bisa menemuimu untuk beberapa hari ke depan.” “Dimana?” “Pegunungan.” “Kau pergi ke gunung dan meninggalkanku dan Mama?” “Aku ingin mengajakmu tapi disini tempatnya dingin sekali.” “Tapi aku juga ingin kesana..” rengek Sam dengan kesal. “Dengar! Pada kesempatan lain kau yang menentukan kemana kita pergi, oke?” “Festival atau pantai?” “Yang manapun kau suka.” “Kau janji?” “Ya.” “Kau tidak akan marah kalau aku menghabiskan koinnya, kan?” “Tidak, tentu saja tidak. Kau boleh menghabiskan koinnya dan aku akan membelikan lebih banyak jika kau ingin..” “Janji?” “Ya.” “Kapan kau kembali, yah?” Dean menghela nafas kemudian menjawab dengan suara pelan, “aku tidak tahu, Sam. Kuharap secepatnya.” “Aku merindukanmu, Yah..” “Aku lebih merindukanmu. Sekarang, Sam, tolong berikan ponselnya pada Mama, aku perlu bicara dengannya.” “Oke..” Dean menunggu sembari bergerak mondar-mandir di tepi danau. Tak lama kemudian suara Nikki muncul di seberang. “Jangan menjanjikan sesuatu yang tidak bisa kau tepati,” Nikki memeringati. “Kapan aku pernah menjanjikan sesuatu yang tidak aku tepati? Terutama untuk putriku?” “Mungkin kau benar. Kau selalu menepati janjimu, Dean, tapi sekarang situasinya berbeda.” “Omong-omong itu yang ingin kubahas denganmu. Jadi kau memintaku untuk menghubungimu? Kau memiliki sesuatu untuk dikatakan?” “Ya! Tentang simbol itu.. Aku menemukannya tapi itu benar-benar aneh.” “Cobalah untuk menjelaskannya!” “Di beberapa tempat masih ada masyarakat yang membentuk sekte-sekte pemujaan terhadap roh-roh orang yang sudah mati.” Dean tidak pernah merasa tertarik tentang hal itu tapi mengingat situasinya sekarang, ia mencoba untuk mencerna apa yang disampaikan Nikki tanpa mengomentarinya. “Hmm..” “Simbol itu adalah satu dari beberapa simbol setan yang dianggap mempunyai arti yang sakral.” “Simbol setan?” Dean membeokan. “Ya. Aku tahu apa yang kau pikirkan..” “Apa yang kupikirkan, Nik?” potong Dean dengan cepat. “Kau tidak suka mendengar mitos seperti ini.” “Mungkin, tapi mengingat situasinya, aku tetap ingin mendengar pendapatmu.” Ada kekosongan selama beberapa detik yang terasa panjang. Dean menunggu, bertanya-tanya apa yang sedang dipikirkan wanita itu. “Kau disana?” “Ya. Maaf. Sampai dimana aku tadi?” “Arti sakral. Apa arti simbol itu?” “Kematian.” Jawaban itu mulai terasa masuk akal. Kali pertama Dean melihatnya simbol itu ada di bangkai tubuh rusa yang tergeletak di tengah hutan. Rusa ditemukan dalam keadaan mati dan seseorang yang membunuhnya pasti sengaja melukis simbol itu sebagai tanda kematian. Kemudian bangkai burung yang ditemukannya tergeletak di antara semak-semak juga memperlihatkan simbol yang sama. Yang terakhir, simbol itu ia temukan di makam. Itu bukan sebuah kebetulan belaka kalau simbol itu ditemukan pada sesuatu yang tampaknya sudah tidak bernyawa. Jadi ya, Dean memercayainya. Lalu kenapa? Kalau penduduk disana punya kebiasaan melukis simbol pada benda-benda yang sudah mati, apa yang begitu berbahaya tentang semua itu? Seolah mampu membaca isi pikirannya, ucapan Nikki selanjutnya mempertegas situasi yang sedang dihadapinya. “Artikel yang k****a juga menyebutkan tentang ritual dalam penyembahan itu. Seseorang dibakar hidup-hidup dan ritual itu dimaksudkan untuk memperpanjang usia seorang wanita – aku tidak tahu siapa wanita itu, tapi sepertinya wanita yang memimpin sekte itu.” Kedua bahu Dean menegang dan nafasnya tercekat. Seolah-olah seseorang baru saja memberinya sebuah pukulan telak. Dean menundukkan kepala untuk menatap tanah kering di bawah kakinya, tiba-tiba kehilangan kata-kata. “Dean? Aku tidak tahu apa yang kau pikirkankan, tapi aku punya firasat buruk tentang semua itu. Tolong beritahu saja aku apa yang kau pikirkan! Aku perlu memastikan kalau semuanya baik-baik saja.” “Kau pasti berpikir kalau aku sudah gila, Nik..” “Apa yang terjadi?” tanya Nikki dengan curiga. “Dean! Katakan padaku apa yang terjadi?” “Kurasa aku mengalami satu episode halusinasi lainnya.” “Apa?” “Aku tidak tahu apa yang kualami itu nyata atau tidak, tapi semalam aku merasa kalau aku menemukan sebuah pintu menuju hutan terlarang itu. Aku berada disana, Nik. Itu tidak mungkin hanya halusiasiku saja, karena.. aku bersumpah rasanya begitu nyata! Aku melihat patung.. kelihatannya seperti patung wanita tanpa busana, dan.. ketika aku berjalan lebih jauh aku menemukan jasad yang menggantung di dahan pohon. Tulang-tulangnya hancur dan menghitam seperti hangus terbakar. Tidak ada yang tersisa untuk dapat dikenali dan tiba-tiba saja ada panah melesat ke arahku, nyaris mengenai wajahku. Aku berlari, tapi aku tidak cukup cepat. Seseorang mengejarku, dan aku tidak menyadarinya sampai dia memukul kepalaku dengan keras. Tapi saat itu juga aku pingsan. Ketika aku terbangun, semua itu hilang: pintu menuju hutan terlarang itu, dan semua foto yang kuambil disana. Bree mengatakan kalau aku hanya bermimpi, tapi.. aku bersumpah padamu, Nik. Itu terasa begitu nyata.” Nikki tidak berkomentar sampai Dean menegurnya. “Nikki? Kau mendengarku?” “Ya.” “Apa yang kau pikirkan?” “Aku tidak tahu, Dean. Apa kau mengambil obatmu beberapa hari belakangan?” Kini kedua bahu Dean kembali mengendur. Ia mengembuskan nafas dengan putus asa. Dean tidak berharap mendapatkan respons seperti itu dari Nikki, dan meskipun mereka sudah berpisah, tetap saja kekecewaan itu tetap ada. “Seperti kataku, kau akan menganggapku gila..” “Tidak! Aku tidak bermaksud begitu.. aku hanya ingin memastikan kau mengambil obat-obatanmu..” “Dengar, Nik! Aku menghubungimu karena kupikir kau akan mengatakan hal lain. Kupikir kau akan memercayaiku..” “Dean..” “Tidak apa-apa, Nik! Aku merasa lega sudah mengatakannya padamu. Setidaknya, ada sesuatu yang sudah kubagi. Omong-omong, terima kasih karena sudah mendengarkanku dan terima kasih juga karena sudah berusaha mencaritahu tentang simbol itu.” “Apa yang ingin kau lakukan?” “Aku akan mencaritahu.” “Dean, dengarkan aku..” Dean berdeham keras. Kedua tangannya terkepal. Rasa kecewa yang menamparnya dengan keras membuat ia tidak sabar untuk mengakhiri panggilan telepon itu dengan cepat. “Maaf Nik, tapi aku harus menutup teleponnya. Bree membutuhkanku.” “Oh..” “Senang bisa mendengar suaramu. Jaga dirimu dan sampaikan salamku pada Sam..” Nikki belum mengatakan apa-apa untuk menanggapi ucapannya tapi Dean sudah memutus sambungan telepon itu dengan cepat. Insting alaminya meminta ia untuk melempar ponsel itu ke tempat yang jauh, tapi akal sehatnya berkata lain. Wajahnya memerah sedang kedua tangannya yang terkepal siap untuk menghantam sesuatu. Untuk melampiaskan kekesalannya akhirnya Dean menyumpah kasar. “Persetan!”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN