5B

1371 Kata
11.40 Samar-samar ia mendengar suara derap langkah kaki seseorang yang berjalan mendekatinya. Dean mengerjapkan mata, berusaha menyesuaikan pandangannya yang masih kabur. Siluet hitam yang kian membesar itu membentuk bayangan tubuh seseorang - tidak! Ada lebih dari satu orang, mungkin tiga atau lebih. Yang pasti mereka semua membawa tongkat kayu di satu tangannya, menghiasi wajahnya dengan cat putih, menunduk terlalu dekat ketika mengamatinya. Nafas mereka tercium tidak sedap, seperti bau daging yang membusuk dan genggaman mereka begitu kuat sampai-sampai hendak meremukkan lengannya. Orang-orang itu mengerubunginya seperti lalat, kemudian menyeret tubuhnya di atas tanah. Dean masih berusaha mengamati wajah mereka yang tampak kabur dan ketika tubuhnya di seret di atas tanah, Dean menyaksikan dahan-dahan pohon yang menggantung rendah melambai-lambai pelan, menyembunyikan langit cerah di balik sana. Rasa sakit pada kakinya masih berdenyut-denyut, tapi sebagian tubuhnya yang lain mati rasa. Dean masih dapat merasakan udara yang tipis di hutan mencekiknya, kerikil yang menggores kulitnya kala penduduk pribumi itu menyeretnya, dan mendengar suara gemerisik daun-daun kering yang ikut terseret bersamanya. Orang-orang itu tidak mengatakan apa-apa sedangkan Dean mati-matian berusaha membuka mulutnya. Percuma saja, bagian tubuhnya yang itu mati rasa. Dean kehilangan kemampuannya untuk berbicara dan tiba-tiba saja ia teringat ponselnya. Ia sedang berbicara dengan Nikki sebelum hilang kesadaran. Sekarang Dean pasti membuat wanita itu kebingungan, tapi panah yang mengoyak kulitnya itu mengantarkan racun yang menyebar ke sekujur tubuhnya, mematikan sebagian fungsi organnya dan membuatnya kehilangan tenaga. Pada satu titik ketika rasa pening itu sudah tidak bisa ditanggung lebih lama lagi, Dean kembali pingsan. - Seseorang menyiram cairan dingin di atas luka pada kakinya. Secara naluriah Dean berteriak kencang, namun teriakannya teredam karena seseorang meletakkan kain untuk menyumpal mulutnya. Ketika Dean membuka mata, seorang gadis remaja berkulit hitam sedang menunduk di hadapannya. Gadis itu yang menumpahkan cairan dingin di atas lukanya dan sekarang gadis itu berusaha menutupinya dengan perban. “Siapa kau?” Dean merasa linglung saat menatap ke sekelilingnya. Ia sedang duduk di atas kursi kayu di sebuah ruangan tertutup yang luasnya tidak seberapa, dengan satu jendela kayu yang dibiarkan terbuka, bersama gadis remaja yang bahkan tidak dikenalinya. Masih mengenakan pakaian yang sama, jins-nya sudah di potong sampai bawah lutut, dan tiba-tiba ingatan tentang ritual di tengah hutan itu membanjirinya: orang-orang berkumpul di lapangan, masing-masing dari mereka menatap ke arah tebing - menyaksikan seorang gadis di lempar dari atas sana. Tubuhnya tersentak. Dean bangkit berdiri sebelum remaja itu selesai mengikat perbannya. “Siapa kau?” tudingnya dengan curiga. Kedua matanya membeliak lebar, sementara gadis itu terus menunduk, menolak untuk berbicara. “Siapa kau?!” Dean mencoba lebih keras. Tiba-tiba pintu kayu dibuka lebar, dan Bree muncul disana. Wanita itu langsung berlari menghambur ke pelukan Dean. Tapi Bree tidak sendirian. Ia bersama Bec dan Janet. Mereka tampak waspada. “Bagaimana kondisimu?” bisik Bree di telinganya. Dean menyentak wanita itu dengan kasar. Sikapnya membuat Bree bertanya-tanya, tapi ia mengabaikannya dan menuding mereka dengan pertanyaan kasar. “Apa artinya semua ini?” “Dean, apa yang kau bicarakan?” “Aku melihat seorang gadis di dorong dari atas tebing. Seseorang menembakku dengan anak panah, apa artinya semua itu?” “Dean..” Bree bergerak mendekat, tapi Dean langsung menghentikannya dengan teriakan keras. “Jawab saja pertanyaanku! Tempat macam apa ini?” Kini seluruh pasang mata menatapnya dengan awas. Tapi Dean punya firasat bahwa ada lebih banyak orang yang mengawasinya disana. Kemudian ia melihat bayangan saat seseorang bergerak di luar sana. Wanita yang mengenakan dress biru pucat itu adalah Irine. Ia sedang melangkah dengan tenang mendekati danau. Emosinya tertutup sampai-sampai Dean penasaran bagaimana mungkin seseorang dapat terlihat setenang itu setelah menyaksikan pembunuhan di depan wajahnya sendiri. Dean ingat dengan pasti, Irine berdiri di antara barisan wanita berkulit putih, mengenakan sutra berwarna putih polos dengan rambut tergerai. Tampilannya mungkin berbeda dengan rambut merah panjang yang membingkai wajah tirusnya, tapi tetap saja Dean mengenali wanita itu. Bahkan, Dean berani bersumpah kalau wanita yang dilihatnya disana benar-benar Irine. Untuk membuktikan ucapannya, Dean berjalan keluar melewati pintu. Langkahnya tersuruk-suruk karena luka pada kakinya masih berdenyut-denyut. Kedua tangannya yang terkepal siap untuk meghantam sesuatu dan wajahnya memerah saat ia berteriak ke arah Irine. “Hei! Hei!” Bree menyusul di belakangnya dengan tergesa-gesa. Wanita itu menjulurkan tangan selagi berusaha menghentikan Dean. Namun, Dean sudah terlalu marah untuk dicegah – sudah terlalu frustrasi untuk dihentikan. Al-hasil ia hanya terus menepis Bree hingga membuat wanita itu kesal. “Dean, apa yang kau pikirkan?!” Dean mengabaikan pertanyaan itu ketika menjulurkan tangan untuk memutar tubuh Irine. Dengan kuat jari-jarinya mencengkram pundak wanita jangkung itu kemudian ia mengguncang tubuh Irine sembari mengecamnya dengan berkata, “kau ada disana! Kau melihatnya juga. Katakan pada mereka. Kau melihat gadis itu didorong dari atas tebing hingga tewas. Katakan!” Irine tidak bereaksi kecuali memutar bola matanya untuk menatap Bree, Becca, dan juga Janet yang berdiri disana. Seorang pelayan berkulit hitam yang tadi membantu Dean mengobati lukanya meninggu di depan pintu pondok dengan kepala tertunduk. Dean baru sadar kalau itu adalah gadis yang sama seperti yang dilihatnya untuk kali pertama di dekat pondok. Gadis itu bernampilan seperti seorang pelayan yang ketakutan, tidak mau bicara, dan bersikap aneh. “Irine!” tegas Dean dengan suara keras. “Katakan apa yang kau lihat disana! Kenapa kau ada disana?” Hening, kemudian wanita itu menatapnya, dalam. “Kau hanya bermimpi,” ucap Irine dengan pelan. Dean mengerutkan dahi, kedua matanya menyipit, dan dengan tidak percaya, ia membantah wanita itu dengan keras. “Tidak! Aku tidak mengada-ada. Luka di kakiku..” “Kau berlari di hutan dan jatuh tersangkut ranting-ranting pohon,” potong Bree sebelum Dean menyelesaikan kalimatnya. Dean memutar wajah menatap Bree yang sudah berdiri di belakangnya dengan tidak percaya. Sulit untuk dipercaya! Wanita yang ia pikir dapat dipercayainya selama ini tidak lain hanyalah pembohong besar. “Tidak,” bisik Dean pelan. “Aku tahu apa yang kulihat dan aku tidak mengada-ada.” “Kau punya bukti?” Dean tertegun, kemudian menggeleng. “Tidak, tapi Irine tahu. Dia ada disana, dia menyaksikan apa yang kusaksikan..” “Dean, hentikan semua ini!” Bree memeringatinya, tapi Dean menggeleng untuk menolak gagasan apapun yang hendak dikatakan wanita itu. “Seperti kataku, aku tidak mengada-ada dan aku tahu aku benar. Wanita ini..” satu jarinya terangkat menunjuk ke arah Irine. “.. dia berbohong. Dia berbohong padaku, dan juga berbohong kalian semua. Kecuali – kalian semua menyembunyikan sesuatu dariku. Aku tahu sejak awal. Sesuatu yang salah terjadi di tempat ini dan kalian berusaha menyembunyikannya. Maksudku, apa benar semua laki-laki pergi berburu? Kalian hanya mengada-ada, bukan? Tidak ada laki-laki di sini!” “Dean!” teriak Bree dengan keras. “Hentikan!” Alih-alih mengidahkan peringatan itu, Dean melanjutkan kalimatnya tanpa berpikir panjang. “Mungkin.. mungkin kalian mengubur mereka semua di hutan itu dan menulis simbol aneh di atas makamnya: Joar, miursah de aimas. Apa artinya itu?! Kematian?” “Cukup!!” Bec berjalan menghampirinya dengan ekspresi mengeras, kala itu Dean tahu kalau ucapannya sudah membuat wanita itu kesal. Tapi Dean terlambat menyadari bahaya yang sedang mendekatinya. Bec menggenggam sesuatu di tangannya, mirip seperti jarum suntik dengan cairan hitam dan wanita itu sudah bersiap mengayunkannya ke arah Dean sebelum Bree berlari untuk menghentikannya. “Tidak! Tolong, jangan!” Dalam seketika keributan antara ibu dan anak itu pecah. Irine tersentak mundur karena terkejut. Janet langsung berusaha menyingkirkan Bree, sementara si kembar Jill dan Jess muncul dari belakang untuk melakukan hal yang sama. Dean masih terkejut dengan reaksi itu, tapi ia tidak berlama-lama dan langsung melangkah maju untuk menolong Bree. Hasilnya tidak begitu baik, seseorang dari belakang lebih dulu memukul tengkoraknya menggunakan kayu. Sepertinya Janet karena Dean samar-samar melihat wajahnya ketika ia ambruk di atas tanah. Bree berteriak kencang. Wanita itu menjadi histeris dan ia terus memohon-mohon agar mereka membebaskan Dean. Bec tidak mengacuhkannya, sementara Jill dan Jess langsung berlari untuk mengekakang Bree dari aksinya untuk menyelamatkan Dean. Ketika Dean hendak bangkit berdiri melawan rasa sakit di kepalanya, pandangannya mulai kabur. Bayangan tubuh Bec ketika wanita itu bergerak mendekatinya kian memudar dan tiba-tiba saja ia merasakan sengatan tajam saat jarum suntik itu menembus kulitnya. “Tidak!! Tolong..” Bree masih berteriak keras. Dean masih bisa mendengar suaranya, tapi hanya beberapa detik sebelum suara itu berubah menjadi dengungan yang samar-samar, dan sebelum ia sempat melawan, tubuhnya kembali ambruk di atas tanah.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN