DAY 5

2856 Kata
06.10 Pagi itu masih gelap ketika Dean mendengar suara musik yang menggema di kejauhan. Kedengarannya seperti dentuman tabuh yang dipukul secara bersamaan. Tiga kali dentuman keras yang cepat, dua dentuman pelan, kemudian lima kali dentuman keras, satu dentuman yang menggema, dua dentuman pelan, kemudian diulang lagi dari awal. Gema suara itu lantas membangunkan Dean dari tidurnya. Ia menatap ke sekeliling ruang tengah, baru sadar kalau ia tertidur di atas sofa untuk kali kedua. Kemudian Dean berusaha mengingat-ingat. Malam kemarin sehabis makan, Dean mengatakan pada Bree kalau ia hanya akan duduk di sofa sebentar untuk memeriksa beberapa e-mail yang masuk ke laptopnya. Nyatanya Dean terlalu lelah sampai tertidur disana. Ia menatap jam di layar ponselnya. Pukul enam lewat sepuluh menit. Masih terlalu awal untuk memulai aktivitas apapun di luar sana. Langit cerah pagi mengintip dari balik tirai jendela kemudian menjalar ke setiap sudut ruangan. Dean mengusap kedua matanya dengan tangan kemudian menyandarkan tubuhnya di punggung sofa selagi mencerna suara musik yang mengalun di kepalanya. Namun suara musik itu bukannya tidak nyata dan semakin lama suaranya kian mengeras. Bagaimana mungkin seseorang tidak mendengarnya. Karena penasaran Dean berjalan mendekati jendela dan menyibak tirainya. Tatapannya langsung tertuju lurus ke arah hutan. Dean menyipitkan kedua mata sembari mengernyitkan dahinya, kemudian mencondongkan tubuh untuk melihat lebih jelas. Di kejauhan sana samar-samar ia menyaksikan barisan orang berpakaian sama sedang beriringan menuju sebuah tempat. Mereka mengenakan bulu yang tampak seperti kulit rusa di lehernya dan menghias wajahnya dengan cat putih yang melintang dari dahi sampai bawah dagu. Di atas kepalanya mereka menggunakan sesuatu seperti topi atau mahkota sementara tabuh yang besar mengantung di lehernya. Beberapa di antara mereka adalah wanita dewasa, sisanya hanyalah anak-anak dan remaja. Semuanya perempuan dan masing-masing dari mereka berjalan tanpa menggunakan alas kaki. Seorang wanita di depan yang memimpin barisan memberi isyarat dengan kedua tangannya, kemudian tiga orang wanita di barisan depan memukulkan kayu di atas permukaan tabuh dengan keras sebanyak tiga kali sebelum sisa dari iringan itu mengikuti persis seperti yang dilakukannya. Anak-anak dan remaja hanya berjalan mengikuti tetuanya. Derap langkah kaki mereka terdengar bahkan dari kejauhan. Obor yang dinyalakan mengepulkan asap tipis yang mengintip dari balik pohon-pohon tinggi kemudian menghilang ditelan kabut tebal. Mereka berjalan menuju sebuah tempat: hutan terlarang dan mereka melakukannya untuk sebuah alasan. Seiring berlalunya waktu, suara musik dari irigan itu kian memudar. Saat itu juga Dean beranjak meninggalkan birai jendela dan berlari ke halaman rumah untuk melihat mereka. Tapi iringan musik itu tidak lagi terdengar sementara matanya terus menatap ke kejauhan, mencari-cari kemana perginya orang-orang itu dan ketika Dean tidak kunjung menemukannya, dengan putus asa dia berlari memasuki hutan, menembus semak-semak belukar dan dahan-dahan pohon yang menggantung rendah di atas kepalanya. Kulit kakinya tertusuk oleh duri dari semak-semak liar. Baru disadarinya kalau ia hanya mengenakan alas kaki berupa sandal hitam. Masih mengenakan kemeja dan jins yang sama seperti malam kemarin, Dean berjalan menyusuri hutan dan memercayakan kedua telinga untuk membawanya ke arah dimana suara musik itu berasal. Jantungnya berpacu kuat dan nafasnya memburu. Ia sudah tahu kalau itu adalah gejala awal yang akan dialaminya ketika ia tidak mengosumsi obat-obatan dalam beberapa hari. Kegelisahan itu bisa muncul kapan saja dan ketika mengalaminya, rekasi itu bisa disusul oleh gejala lain seperti serangan panik dan sesak nafas. Seharusnya egonya tidak terlalu besar sehingga ia bisa mendengarkan Nikki tanpa berpikir buruk. Seharusnya ia tidak pergi ke hutan dan menghampiri bahaya apapun yang mungkin saja sedang menunggunya di depan sana. Tapi masa bodoh dengan semua itu! Dean sudah muak dengan semua teka-teki yang harus dihadapinya selama ia berada disana. Jika ia tidak dapat memercayai siapapun termasuk Bree, maka Dean hanya dapat memercayai dirinya sendiri. Setelah berjalan jauh menyusuri hutan itu Dean sempat tersesat di tengah kabut tebal. Ia dikelilingi oleh pohon-pohon tinggi dan udara yang tipis. Semakin ia melangkah jauh, semakin sedikit oksigen yang tersisa untuk dapat dihirup. Untuk memperburuk segalanya, kabut putih tebal menutupi jalur setapak sehingga Dean tidak dapat melihatnya dengan jelas. Langkahnya terhenti ketika ia sampai pada titik buta dimana tidak ada hal lain yang dapat dilihat selain asap putih tebal yang mengelilinginya. Apa aku sedang bermimpi? Kemudian ia mendengar suara gemerisik dari semak-semak. Insting alaminya memintanya untuk mengikuti suara itu, berharap yang sedang bergerak di dekatnya hanyalah seekor kijang atau anjing liar. Tapi berkat suara itu Dean berhasil keluar dari perangkap kabut putih tebal. Perlahan-lahan kedua matanya mulai menyesuaikan diri untuk melihat apa yang hadir di sekitarnya: pohon-pohon tinggi, dua dahan pohon yang menjorok ke bawah, dua jalur setapak. Dean menunggu sampai suara samar-samar iringan musik itu kembali terdengar sebelum akhirnya memutuskan jalur setapak mana yang hendak diambil. Lebih mudah memercayai apa yang dikatakan instingnya ketimbang apa yang benar-benar dilihatnya. Aneh memang, tapi itu sudah menjadi kebiasaannya. Dan instingnya tidak selalu salah.. Setelah berjalan jauh, Dean akhirnya mendemukan dua batu besar yang berdiri bersisian, mirip seperti gapura atau pintu masuk. Di bawahnya ia melihat jejak kaki yang masih tertinggal di atas permukaan tanahnya yang basah. Jejak kaki itu memberinya petunjuk arah sepajang ratusan meter jauhnya dan tanpa ragu-ragu Dean melangkah melewati dua batu besar dan masuk ke bagian hutan yang belum pernah dilihatnya. Kemudian jejak kaki itu menyempit di jalur kecil yang mengarah ke terowongan gelap. Persis ketika Dean sampai di depan terowongan batu yang menyembunyikan tempat lain di sisi hutan yang dalam, saat itu juga langkahnya terhenti. Dean memutar wajah ke samping kanan, ke kiri, kemudian ke belakang. Tidak ada siapapun. Hutan sehening dan setenang kelihatannya. Kabut perlahan menipis seiring dengan cahaya matahari yang perlahan merangkak di ufuk langit. Pilihannya hanya ada dua: berputar dan kembali ke pondok atau menyusuri terowongan itu dan melihat apapun yang hendak dilakukan oleh para iringan itu. Sudah jelas Dean mengambil pilihan kedua. Lebih mudah untuk menjerumuskan diri ke dalam bahaya ketimbang menghindarinya. Jauh di depan sana, cahaya putih dari ujung terowongan telah menunggunya. Dean menatap ke belakang dan melihat sisi lain hutan yang tampak gelap dan basah. Rasanya seperti memasuki terowongan menuju sisi dunia lain yang sepenuhnya berbeda. Langit di depannya cukup cerah, mungkin alasannya karena tidak ada cukup banyak pohon yang menghalangi sinar matahari. Permukaan tanahnya lebih kering dan diselimuti oleh kerikil dan tak jauh di ujung sana terdapat terbing bebatuan tinggi yang dikelilingi oleh iringan penduduk pribumi yang dilihatnya tadi. Orang-orang berbaris menatap tetua mereka yang berdiri di atas tebing untuk membawakan pidato dalam bahasa yang terdengar asing. Masing-masing dari mereka menegadahkan wajah, menatap, dan mendengarkan dengan khidmat seolah-olah kalimat yang disampaikan oleh sang tetua merupakan sebuah do’a. Kala itu Dean bergerak mendekati batang pohon besar dan bersembunyi disana untuk mendengarkannya juga. Matanya terus mengamati barisan orang-orang pribumi berkulit hitam itu. Kemudian ia menyadari kalau ada barisan lain yang berdiri di paling ujung. Barisan itu merupakan barisan wanita berkulit putih yang menganakan pakaian berbeda di antara penduduk pribumi berkulit hitam: sebuah sutra berwarna putih dan bulu halus yang melingkari lehernya. Tidak seperti penduduk pribumi yang tampak kumuh dengan pakaian dan penampilannya, para wanita berkulit putih itu berpenampilan rapi. Mereka menggerai rambut mereka untuk satu alasan, berdiri disana dan mengikuti upacara itu untuk satu alasan. Jumlahnya hanya belasan di antara puluhan penduduk yang berkulit hitam, namun sepertinya orang-orang berkulit putih itu diperlakukan secara khusus. Mereka diberi pakaian yang bagus dan alas kaki yang cukup nyaman. Di belakangnya, terlihat sejumlah barisan penduduk pribumi berkulit hitam yang siap melayani mereka kapanpun dibutuhkan. Sementara itu sang tetua terus mengucapkan kalimatnya dengan keras. Suaranya menggema ke setiap sudut tempat. Orang-orang yang mendengarnya mulai menundukkan kepala, kecuali mereka yang berkulit putih. Upacara sakral itu tampaknya lebih menyerupai pertunjukan bagi mereka yang berkulit putih. Sementara dari tempatnya di balik pohon Dean terus mengamati. Ketika angin berdesau kencang, dahan-dahan pohon yang menggantung rendah melambai di kejauhan. Gaun sutra putih yang digunakan barisan wanita berkulit putih itu bergerak-gerak dan menyibak sepasang kaki beralaskan sepatu berwarna senada. Rambut yang tergerai itu terangkat menyapu wajah, dan saat itulah Dean menyenali satu di antara belasan wajah wanita berkulit putih yang sedang berdiri disana. Bibirnya terkatup rapat, kedua matanya yang sendu tampak kosong. Wanita itu tidak memerhatikan apa yang disampaikan oleh sang tetua – pikirannya berada di tempat lain. Irine. Dean hendak melangkah menghampirinya, tapi menghentikan niat itu persis ketika tetua lain yang mengenakan jubah hitam bergabung dengan tetua yang pertama di atas tebing. Tapi wanita itu tidak datang sendirian. Ia bersama seorang anak yang tubuhnya dibungkus oleh jubah merah dan kepalanya ditutupi oleh tudung jubah itu. Dean tidak dapat memastikan, tapi ia cukup yakin kalau anak yang dibawa oleh sang tetua ke atas tebing itu adalah gadis berusia delapan atau mungkin sepuluh tahun. Tubuh sang gadis kurus kerontang, jari-jarinya yang hitam dan kotor menyembul di balik lengan jubah yang kebesaran dan kedua matanya yang putih terbuka lebar. Sang tetua yang pertama berhenti berbicara. Kemudian orang-orang di bawah sana mulai menatap ke atas tebing dengan gelisah. Ketakutan terlukis dalam raut wajah mereka, tapi tidak ada satupun dari orang-orang itu yang berniat untuk meninggalkan upacara. Kalaupun ada yang berniat demikian, mereka tidak cukup berani untuk melakukannya. Dean hanya berdiri diam dan menunggu sembari terheran-heran. Di ujung sana Irine enggan mengangkat wajahnya, seolah-olah sudah tahu apa yang akan terjadi dan tidak merasa penasaran. Momen hening itu berlangsung lama selagi tetua yang kedua menyiramkan air hitam kotor ke tubuh sang gadis kemudian membawa gadis itu ke tepian tebing. Jantung Dean berpacu cepat. Ia sudah punya firasat tentang apa yang hendak mereka lakukan, tapi sesuatu seolah-olah memaku kedua kakinya untuk tetap berdiri diam di tempat. Baru ketika tetua itu mendorong sang gadis dari atas tebing, Dean berlari meninggalkan pohon untuk menghentikannya. Sudah terlambat. Dari awal Dean tahu usahanya akan sia-sia. Sang gadis jatuh dari atas tebing dan mendarat persis di atas permukaan batu kasar. Tengkoraknya hancur, tubuhnya terkulai. Darah memuncrat di atas tanah dan orang-orang yang hadir menyuarakan kegerian mereka. Namun tidak ada satupun yang berani beranjak dari tempat mereka. Para tetua masih mengawasinya, barisan wanita berkulit putih itu tersenyum penuh kemenangan. Orang-orang itu sudah gila! “Tidak! Tidak!!” teriakan Dean yang keras mengalihkan seluruh perhatian orang-orang yang ada disana. Kini seluruh pasang mata tertuju padanya. Dean tidak peduli. Ia terus berlari menerobos kerumunan untuk sampai di depan batu besar tepat dimana kepala gadis malang itu mendarat. “Kalian gila! Kalian gila!” teriaknya. “Seseorang tolong dia! Apa yang kalian lihat? Kenapa diam saja? Ini pembunuhan. Aku akan menghubungi polisi!” “Siapa dia? Tangkap! Tangkap dia!” teriak seseorang dari sudut barisan. Dean belum sempat melihat siapa yang mengucapkan kalimat itu ketika secara tiba-tiba lengannya ditarik kecang dan kerumunan wanita berkulit hitam itu mulai mengerubunginya. “Tidak! Apa yang kalian lakukan? Tolong gadis itu!” Sia-sia saja berbicara dengan mereka. Dean merasa gelisah. Pakaiannya ditarik saat ia berusaha memberontak. Dengan dahi berkeringat dan nafas memburu, Dean mengerahkan seluruh tenaganya untuk membebaskan diri dari kerumunan itu. Jari-jari yang terjulur ke arahnya itu mencakar kulit wajah, menarik pakaian, dan berusaha menghentikannya. Namun Dean lebih kuat ketika melawan mereka. Begitu ia terbebas dari cengkraman orang-orang itu Dean mengambil kesempatan untuk berlari secepat mungkin dan masuk ke dalam hutan. Nafasnya tersengal. Rasanya ia sudah berlari ratusan meter menjauhi kerumunan, namun Dean masih sanggup mendengar derap langkah di belakangnya. Ia kemudian bergerak ke arah semak-semak dan tanaman sulur yang tumbuh lebat. Di dekat pondok kayu tua, Dean mengehentikan langkahnya untuk mengatur nafas. Jantungnya masih berdegup kencang tapi perlahan kepanikan itu mereda. Ketika Dean mengintip ke balik pondok, orang-orang yang tadi mengejarnya sudah tidak lagi terlihat. Langsung saja ia mengambil kesempatan itu untuk membuka ponselnya. Dean mengabaikan peringatan di layar utama yang mengatakan kalau baterainya hanya tersisa dua persen dan memutuskan untuk langsung menghubungi Kate. Dua garis sinyal muncul, tapi panggilannya tidak dijawab. Kemudian dengan cepat Dean mengetikkan nomor Nikki dan mendengar nada dering di seberang telepon mengalun. Ayolah Nikki.. angkat teleponnya! “Dean?” Suara itu munculnya dari seberang telepon. Dean langsung dibanjiri perasaan lega saat mendengarnya, tetapi rasa gelisah yang lebih serius mengocok seisi perutnya, membuatnya ingin muntah saat itu juga. “Nikki! Ini aku..” nafas Dean masih tersengal dan Nikki langsung menyadari itu ketika bertanya. “Dean apa yang terjadi? Kau baik-baik saja?” “Tidak.. tidak! Aku baru saja melihat seorang gadis dibunuh..” “Apa? Dean kau yakin?” “Ya! Aku benar-benar melihatnya dengan mata kepalaku sendiri. Mereka.. mereka menggelar sebuah upacara.. semua orang berkumpul disana. Kemudian seorang gadis dibawa ke atas tebing, dia di dorong hingga jatuh dan tengkoraknya hancur. Gadis itu mati dan tidak ada siapapun yang menolongnya. Ini.. ini gila, Nik..” “Tenang.. tenangkan dirimu!” “Sialan, apa yang salah dengan semua orang itu?” “Dimana kau? Apa Bree ada bersamamu?” “Tidak.” “Dia tidak tahu semua itu?” “Aku tidak tahu! Aku tidak yakin. Salah satu keluarganya terlibat dalam upacara itu. Aku yakin karena aku melihatnya sendiri.” “Oke, oke. Kau harus segera keluar dari tempat itu, oke!” “Aku harus memperbaiki mobilku dulu.” “Apa?” “Bannya pecah dalam perjalanan kesini dan aku terpaksa meninggalkannya di sana.” “Apa kau bisa kembali ke sana untuk memperbaikinya?” “Ya, kurasa aku bisa. Kate bilang dia menyimpan buku manual. Aku akan mencobanya.” “Berapa lama kau bisa sampai disana?” “Aku tidak yakin, aku tidak mengenal tempat ini cukup baik, mungkin sekitar satu atau dua jam kalau aku beruntung.” “Apa kau kenal seseorang yang bisa membantu?” “Sial, aku tidak tahu siapa yang bisa kupercaya. Tidak ada laki-laki lain di tempat ini!” “Dean, tenanglah! Ingat kali terakhir kau terkena serangan panik?” Dean memejamkan mata sembari bergerak mondar-mandir di sekitar pondok kayu itu. Kali terakhir ia mengalami serangan panik sekitar satu tahun yang lalu dan ia harus berakhir di rumah sakit, berbaring tak berdaya dan bergantung pada tiga selang dan juga tabung oksigen demi memperpanjang usianya. “Aku tidak tahu apa aku bisa mengendara dengan cepat, tapi aku akan menyusulmu kesana.” Ucapan Nikki barusan membuat Dean menghentikan langkahnya secara tiba-tiba. “Tidak! Jangan coba-coba!” “Kau butuh bantuan..” “Ya, tapi aku tidak ingin kau terlibat.” “Lalu apa yang bisa kulakukan?” “Coba temui Kate dan katakan aku butuh bantuan.” “Oke, akan kukatakan padanya. Tapi aku juga perlu memastikan kau baik-baik saja.” “Tidak, Nik, tolong.. jangan!” “Aku tidak perlu izin darimu.” “Bagaimana dengan Sam?” “Dia aman bersama Lorrie. Jangan khawatir.” “Dengar jika sesuatu terjadi dan aku tidak sempat memberitahumu. Beritahu Sam kalau..” “Tidak! Kau akan memberitahunya sendiri apapun yang ingin kau katakan. Sekarang aku perlu tahu dimana kau berada?” “Baterai ponselku mau habis dan kau mungkin akan kesulitan menemukan tempat ini di maps. Titik lokasi terdekat terletak ratusan kilometer jauhnya..” “Ada cara lain untuk tetap terhubung?” “Ya, sebenarnya aku membawa walkie talkie milik Sam.” “Well, kita bisa berkomunikasi lewat mesin itu.” “Ya, dan ada alat pelacak di mobil. Kate memintaku untuk mengaktifkannya. Aku akan mencoba memeriksanya nanti ketika aku sampai di mobil.” “Itu bagus, aku masih menyimpan mesin pemantaunya.” Entah bagaimana fakta itu mengejutkan Dean. “Kau punya?” “Ya, sebenarnya hanya mesin cadangan.” “Kau tidak pernah memberitahuku?” “Memang tidak..” Nikki kedengaran ragu-ragu dan Dean sangat penasaran untuk mengetahui penjelasannya, tapi itu bukan waktu yang tepat. Sementara itu suara derap langkah kaki seseorang di belakang kembali terdengar. Tubuhnya tersentak waspada. Dean kembali ke tempat persembunyiannya di balik pondok. Kemudian, seseorang meneriakkan sesuatu dengan keras. “Disana!” Dua anak panah memelesat ke arahnya, nyaris mengenai tubuhnya. Dean berlari untuk menghindar, tapi anak panah ketiga telah dilepas dan menancap persis di tulang belikatnya. Rasa sakit membuatnya berteriak keras. Ponsel jatuh dari genggamannya dan ia ambruk di atas tanah. Ketika dua penduduk pribumi yang membawa busur dan panah itu berlari mendekatinya, Dean terburu-buru mencabut panah itu dari kakinya. Rasa ngilu akibat ujung runcing panah yang mengoyak dagingnya membuat Dean memejamkan mengerang kesakitan. Ia menggigir bibir dengan keras selagi mencabut anak panah itu kemudian dengan sisa tenaga yang dimilikinya Dean berderap di atas tanah, meraih ponselnya, dan bangkit berdiri untuk berlari memasuki hutan. “Dean?!” teriak Nikki dari seberang telepon. Wanita itu masih terhubung dengannya, tapi Dean tidak punya waktu untuk menjawab. Ia harus berlari cepat kecuali ia mengambil risiko akan terkena sasaran panah berikutnya. “Dean apa yang terjadi?” Dean akhirnya menemukan tempat persembunyian yang tepat di belakang batu besar. Ia menghempas tubuhnya di atas permukaan tanah sembari menggigit bibir untuk menahan rasa sakit. Sekujur tubuhnya berkeringat sedangkan satu kakinya mati rasa. “Dean, bicaralah denganku! Apa yang terjadi?” “Seseorang mengenaiku..” desis Dean di antara sela-sela giginya. “Apa?” “Darah.. kakiku berdarah..” Pandangannya mulai kabur. Dean melihat darah mengalir keluar dari luka di kakinya. Lantas ia merobek jins-nya untuk melihat seberapa parah luka itu. Panah telah mengoyak dagingnya, menciptakan lubang seukuran ibu jari yang terbuka di kakinya. Darah segar mengalir keluar dari sana. Sementara kepalanya berdenyut-denyut tak keruan. Apa yang hadir di sekelilingnya kini hanya tampak seperti bayangan yang kabur dan ketika Dean hendak mendekatkan ponsel ke telinganya untuk berbicara pada Nikki, kesadarannya justru ditarik menjauh dan dia jatuh pingsan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN