2D

2773 Kata
16.20 Sore itu Bree mengajaknya keluar untuk berkeliling. Dean punya pilihan untuk tetap tinggal, tapi dia tidak akan tahan barang semenit saja untuk duduk diam tanpa melakukan apa-apa. Perjalanan menuju pondok di seberang danau tidak akan memakan waktu lama. Bree hapal setiap detail jalur setapak yang dapat mereka tempuh untuk tiba lebih cepat disana. Sementara Dean berusaha mengingat-ingat tempat itu. Mereka melewati tiga pondok kayu kecil yang sama seperti yang dilihat Dean belum lama ini. Beberapa pekerja berkulit hitam berkeliaran di sekitar pondok itu. Masing-masing dari mereka melakukan pekerjaan yang sama seperti wanita asing yang dilihatnya pagi ini: memotong kayu menjadi dua bagian. Dean mendapati bahwa seluruh orang disana, terutama mereka yang berkulit hitam, mengenakan pakaian dari kain yang sama. Anehnya, semua para pekerja itu adalah wanita. Dimana para laki-laki? Dean mendengar suara tangisan bayi dari salah satu pondok kecil di dekat sana. Ketika ia menghentikan langkahnya untuk mendengar lebih jelas, tiba-tiba, dua orang wanita asing yang sedang melakukan pekerjaan mereka di dekat pondok langsung menatapnya. Kedua mata mereka terbuka dengan awas. Bulir keringat jatuh di pelipisnya. Dua wanita itu sangat kurus. Dean menatap mereka dan keheningan yang janggal singgah selama beberapa detik sebelum dipecahkan oleh suara ketukan keras ketika kapak diayunkan dan kayu terbelah menjadi dua bagian. Dean merasakan jantungnya mencelos, tapi di saat yang bersamaan bibirnya membisu. Dua wanita berkulit hitam itu masih menatapnya dengan awas, mereka mematung seolah ada yang begitu aneh tentang Dean. Sementara itu, suara tangisan bayi sudah menghilang. Dean bertanya-tanya apa suara itu hanyalah bagian dari halusinasinya saja? Tapi rasanya mustahil. Suara itu begitu jelas dan Dean sadar ketika ia mendengarnya. Insting alami memintanya untuk mendekati penduduk pribumi itu, tapi kemudian Bree mencegahnya dan menarik Dean menjauhi mereka. “Apa yang mau kau lakukan?” bisik Bree di telinganya. “Hei, apa kau tidak mendengar tangisan bayi?” Bree sejenak berhenti untuk memandanginya dengan heran. Ketika mereka sudah berada cukup jauh dari penduduk pribumi itu, Bree mengedarkan pandangannya ke sekeliling kemudian menggeleng. “Aku tidak mendengar apapun.” Oke, Dean mungkin hanya membayangkannya saja. Jadi ia melanjutkan perjalanan. Di belakangnya Bree menyusul. Wanita itu harus berusaha keras untuk mengimbangi langkah Dean yang panjang. Sementara itu Dean merasakan darah di sekujur tubuhnya mengalir deras, adrenalinnya berpacu dan nafasnya mulai tidak terkendali. Tarik nafas dan hitung sampai lima kemudian embuskan. “Hei, apa yang terjadi?” tanya Bree kemudian. “Bukan apapun.” “Kau baik-baik saja?” Dean hendak berbohong untuk menghindari topik itu, tapi malah menghentikan langkahnya kemudian memutar tubuh untuk menatap Bree. “Sebenarnya aku punya pertanyaan, kenapa orang-orang disini bersikap aneh?” “Apa maksudmu?” “Kau melihatnya sendiri. Kau melihat bagaimana mereka menatap kita. Itu sangat jelas, Bree. Ada sesuatu yang aneh dari cara mereka menatap kita.” Bree menjulurkan kedua tangan untuk menangkup wajahnya. Wanita itu kemudian bergerak mendekat sehingga Dean dapat mencium aroma sabun yang sama seperti yang digunakannya pagi itu, menempel di atas kulit Bree. Dean masih tidak bisa memungkiri kalau aroma itu tercium sangat aneh. Seperti bau belerang yang tajam. “Dean, kau baru saja datang ke tempat ini, kurasa kau belum terbiasa dengan orang-orang disini.” “Jadi kau menganggap tidak ada yang aneh dari cara mereka menatap kita?” “Kupikir begitulah cara mereka menatap orang-orang baru.” “Tidak, kupikir tidak begitu. Kupikir mereka tampak begitu ketakutan..” Sekarang Bree menertawainya. “Ketakutan?” “Ya. Tidakkah kau melihatnya? Ketika aku mencoba berbicara dengan wanita di dekat pondok pagi tadi, dia sangat ketakutan. Dia mengerti apa yang kukatakan tapi dia tidak bicara apapun.” “Mereka tidak dibiasakan berbicara dengan bahasa kita. Maksudku mereka mengerti, tapi orang-orang disini memang jarang berbicara dan mereka menggunakan bahasanya sendiri.” “Apa kau juga menggunakan bahasa yang sama? Maksudku, kau lahir dan dibesarkan disini, kau pasti menggunakan bahasa yang sama seperti mereka, bukan?” “Tidak.” “Tidak? Kenapa?” Bree memejamkan mata kemudian membenahi kalimatnya dengan cepat, “maksudku aku menggunakannya dulu saat aku masih kecil, tapi sekarang tidak lagi. Bahasa itu digunakan khusus untuk penduduk pribumi berkulit hitam.” Dean menerung, kemudian menganggukkan kepala. “Aku mengerti. Bagaimana dengan para laki-laki? Aku tidak melihat mereka sejak aku tiba disini. Dimana mereka?” “Para laki-laki? Selama musim panas mereka semua pergi untuk berburu.” “Semuanya? Termasuk anak-anak?” Bree menatapnya dengan tidak senang seolah Dean sudah mengajukan begitu banyak pertanyaan. “Itu tradisi,” ucapnya untuk mengakhiri percakapan mereka. Sebelum Dean membuka mulut untuk menanggapinya, Bree sudah menariknya untuk melanjutkan sisa perjalanan mereka. Di hadapannya ada dua jalur setapak, satu yang mengarah ke pondok milik keluarga Bree satu yang lain mengarah ke tempat lain di dalam hutan. Disana ada pagar kayu dan papan tanda larangan masuk. Dean menatap papan kayu yang sudah menghitam di ujung sana kemudian membaca tanda larangan itu dengan cepat: AREA TERTUTUP, DILARANG MASUK! Di dalamnya, ada banyak semak-semak liar dan sulur-sulur tanaman yang menggantung beberapa meter di atas permukaan tanah. Sulur-sulur itu menyembunyikan sesuatu di baliknya. Dean mengamati tempat itu selama beberapa saat kemudian berbalik untuk menyusul Bree yang berjalan melintasi jalur setapak yang lain. Dalam waktu kurang dari lima belas menit, mereka akhirnya sampai di dekat pondok. Saat itu sudah pukul lima sore, langitnya sedikit mendung, namun masih cukup cerah untuk menggelar pesta berbeku kecil-kecilan. Meja berbentuk persegi yang dilapisi oleh kain putih polos diletakkan di pekarangan rumah bersama dengan tujuh kursi kosong yang mengelilinginya. Lilin-lilin telah disusun pada tiap-tiap sudut meja, bersamaan dengan perlengkapan makan yang terbuat dari batok kelapa seperti yang dilihatnya di pondok yang ia tempati. Seseorang membuat meja makan terlihat penuh dengan rangkaian bunga. Alat pemanggang yang tidak pernah ia lihat sebelumnya sudah tersedia di dekat tangga, lengkap dengan semua peralatan yang dibutuhkan. Barisan gelas yang sudah terisi penuh oleh cairan berwarna merah gelap sudah tersusun rapi. Masing-masing anggota mendapat segelas anggur. Dean penasaran apa cairan itu sama seperti anggur, tapi ketika ia mengendusnya ia mencium aroma beri yang lebih tajam dari jenis anggur apapun yang pernah diminumnya. Ketika ia datang, seluruh anggota sedang sibuk menyiapkan makan malam. Dean dan Bree membantu mereka meletakkan piring-piring yang terisi penuh oleh sayuran, sejumlah buah beri hitam yang jarang dilihatnya, dan semangkuk makanan aneh mirip alpukat yang dilumuri oleh saus kental. Mereka mengandalkan lilin dan cahaya remang-remang bulan untuk penerangan. Dean tidak heran mengingat keterbatasan penggunakan listrik. Namun yang paling aneh dari semua itu adalah tradisi yang mengharuskan mereka semua menggunakan kain putih ketika akan memulai pesta. Yang mengejutkan, Bec sudah menyiapkan kain untuk setiap anggota. Kainnya cukup tebal dan selembut beledu dengan renda hitam di seputar lingkar pinggang. Kain itu harus dililitkan dari pinggul kemudian melintang ke atas bahunya. Dean merasa konyol. Ia tidak pernah menggunakan pakaian tertentu ketika akan memulai pesta kecil-kecilan. Namun, di antara semua anggota keluarga yang hadir disana, tampaknya hanya Dean yang merasa demikian. “Kenapa semua orang harus menggunakan kain itu?” tanya Dean ketika ia akhirnya mendapat kesempatan untuk menemui Bree sendirian di dapur. Bree yang mengenakan celemek hijau sedang memotong daging segar menjadi bagian-bagian tipis kemudian meletakkannya di atas wadah besar untuk dibakar nanti. Dean mengendus wangi ketumbar dan bawang menguar di atas daging segar itu. Aroma itu menusuk hidungnya dengan tajam. Selama sejenak, matanya memandangi daging dengan nanar sampai-sampai ia nyaris lupa apa yang hendak disampaikannya. “Karena itu adalah tradisi.” “Ya, tapi.. apa maksudnya? Kenapa harus menggunakan kain putih?” Bree menumpahkan saus nanas di atas daging mentah itu sembari menyeringai lebar. Menggunakan tangannya yang dilapisi oleh plastik bening putih, wanita itu mengaduk potongan daging kecil di dalam wadah hingga sausnya tersebar secara merata. Kemudian Bree berjinjit untuk mencium pipinya dan berbisik. “Seperti kataku, itu tradisinya. Sekarang tolong bantu aku, Bec membutuhkan selai apel. Selainya tersimpan di lemari, persis di belakangmu. Ambil itu dan cepat pergi sana!” Dean menyipitkan kedua mata, masih kebingungan, tapi tetap menuruti Bree untuk membawakan selai apel pada Bec yang sedang berada di pekarangan. Ketika sampai disana, Dean melihat si kembar sedang menggantungkan pajangan kecil pada tanaman hias di sudut pekarangan. Kemudian mereka berkerjasama untuk melilitkan benang putih pada dua tiang setinggi tiga meter yang berdiri belakang semak-semak. “Hei, Dean! Bisa kau bantu kami?” “Tentu.” Irine duduk di kursi kayu. Kedua tangannya sibuk merajut simbol di atas kain putih polos, tapi Dean dapat merasakan ketika Irine menatapnya dengan awas dari atas kursi. Wanita itu tampak tenang, nyaris tidak berbicara apa-apa, sesekali ia hanya mengerutkan keningnya, tampak putus asa, kemudian dengan cepat ekspresinya kembali kosong. Dean mendapati dirinya penasaran pada kakak perempuan Bree itu. Sejak kedatangannya kesana, Irine nyaris tidak mengatakan apa-apa. Menunjukkan emosinya saja jarang, tapi Dean merasa wanita itu punya lebih banyak hal yang tersimpan di kepalanya dari pada yang dia ucapkan. - Pesta berbeku di mulai pada pukul tujuh. Semua anggota keluarga duduk menempati kursi mereka. Momen itu terasa ganjil untuk Dean karena ia menjadi satu-satunya laki-laki yang duduk disana. Sementara para anggota keluarga menikmati hidangan mereka, Dean hanya duduk menatap makanannya dan bertanya-tanya apa Bree mengatakan yang sebenarnya tentang musim berburu? Tapi bagaimana mereka tahu saat musim berburu sudah tiba? “Sebenarnya aku punya pertanyaan,” ucap Dean, tanpa sadar menyela seluruh percakapan di atas meja. Kini seluruh pasang mata tertuju padanya. Bec yang pertama bicara. “Semuanya, tenang! Calon pengantin pria punya pertanyaan.” Dean menatap Bree yang mengedipkan kedua mata saat mendengarnya. Irine, masih duduk di kursi paling ujung, tampak tenang dan menunggu. Jill dan Jess tersenyum lebar, seolah bersiap untuk mendengar kelakar, sementara Janet menyipitkan kedua matanya. Dean cukup yakin wanita itu akan menjadi orang pertama yang menjawab pertanyaannya. “Ini bukan sesuatu yang serius, aku hanya penasaran tentang musim berburu. Kapan kalian mengetahui saat musim berburu tiba?” “Ketika musim dingin di utara sudah tiba,” sahut Bec dari kursinya. “Semua hewan bermigrasi ke selatan,” Janet melanjutkan tanpa mengidahkan reaksi Bec. Wanita itu tampak menggebu-gebu. Rahangnya ditarik begitu lebar setiap kali ia berbicara, seolah-olah senyum itu sudah ada di sana sejak ia dilahirkan. “Disini kawasan tropis..” Janet melanjutkan. “Tidak terlalu panas, tapi.. tidak dingin juga. Musim berganti setiap dua tahun sekali, jadi hutan disini adalah kawasan yang tepat bagi semua pemburu.” “Tapi aku masih tidak mengerti mengapa semua laki-laki pergi berburu?” “Oh, Bree belum mengatakannya, ya?” Para wanita itu saling bertukar pandang. Dean duduk di kursinya untuk mengawasi mereka sembari menyipitkan mata. Tanpa sadar dadanya membusung. Nikki tahu secara pasti bahwa Dean hanya akan membusungkan d**a dan menyipitkan kedua matanya saat sedang bersiap untuk bersikap defensif. Di sampingnya, Bree menggindikkan kedua bahunya dan berkata, “bagaimana aku harus menjelaskan tradisi?” Selama sejenak keheningan yang mencekik mengisi suasana sampai tawa Jill dan Jess meledak. Dean nyaris tersentak kaget saat mendengarnya, tapi ia hanya mengerutkan dahi dengan skeptis ke arah mereka. Apa aku baru saja membawa topik yang konyol ke atas meja? “Bree benar,” Bec membenarkan. “Itu tradisi kami disini. Kau mungkin masih asing dengan beberapa hal, tapi kau akan segera terbiasa. Sekarang, Dean, kenapa tidak kau katakan bagaimana anggurnya menurutmu?” Dean baru tersadar kalau ia tidak menyentuh minuman di dalam gelasnya barang sedikitpun. Disaat yang bersamaan ia langsung mengangkat gelas itu mendekati bibir dan menyesap minumannya dari sana. Sensasi aneh langsung tersebar di seluruh mulutnya ketika cairan hitam itu menyentuh lidah. Dean merasakan sesuatu yang lebih ringan dari anggur, tapi terasa memabukkan. “Aku jarang minum alkohol saat makan malam, tapi anggur ini lumayan juga.” “Kau suka?” tanya Janet. Dean memandangi Janet dan Bec secara bergiliran, menyadari bahwa mereka sedang menanti jawabannya, jadi langsung saja ia mengangguk. “Ya.” Untuk mengusir ketegangan yang dirasakannya, ia meraih garpu dan pisau untuk membelah barbeku-nya menjadi potongan-potongan kecil. Bree meletakkan saus nanas di atas daging itu dan ketika Dean menelannya, sensasi manis dan pedas langsung memenuhi mulutnya. “Apa ini daging babi?” “Rusa.” Dean tidak pernah makan daging rusa, tapi anehnya ia melahap seluruh bagiannya sampai habis. Dean makan dengan cepat sampai-sampai tidak sadar kalau seluruh orang disana menjadikannya pusat perhatian. “Maaf tapi aku benar-benar kelaparan.” Bree tertawa keras. “Ya, dia hanya minum kopi dan makan roti lapis selama seharian.” “Ceritakan pada kami lebih banyak tentang kau, Dean!” Dean meneguk cairan anggur terakhir dalam gelasnya, tidak menyangka kalau ia akan menghabiskan minuman itu dalam sekejap. Namun sensasi memabukkan yang tertinggal di lidahnya membuat ia berharap untuk terus menerus mengecap rasa anggur itu, meneliti komposisinya dengan jelas, kemudian meneguknya sekali lagi, dan lagi, dan lagi. Tidak hanya itu saja. Anggur itu juga bereaksi cepat dalam tubuhnya. Tanda-tandanya sudah jelas. Di tengah remang-remang cahaya bulan, segalanya mulai terlihat kabur. Dean harus mengedipkan mata berkali-kali untuk dapat melihat wajah orang-orang di sekitarnya dengan lebih baik. Di balik meja beralaskan kain putih polos, ia menyaksikan Irine mengangkat wajah dan mulai menatapnya. Sudut bibirnya terangkat dan wanita itu mulai tersenyum. Dean kembali mengedipkan mata, berusaha untuk memastikan apa yang dilihatnya benar-benar nyata. Namun segalanya sudah tampak kabur kala itu, sementara ia tetap berusaha menjaga pikirannya tetap waras. “Maaf, apa katamu tadi?” tanya Dean sembari menatap Bec – atau Janet, ia tidak yakin. Tiba-tiba saja wajah mereka terlihat mirip. “Ceritakan pada kami tentang dirimu!” “Kupikir.. um.. kupikir Bree sudah mengatakan semua yang perlu diketahui tentang aku. Tapi jika dia belum mengatakan apa-apa, aku akan mengatakannya.. um..” Di sampingnya Bree menjulurkan lengan kemudian mendekati Dean dan berbisik, “kau baik-baik saja? Kalau kau merasa tidak enak badan, kita bisa kembali ke pondok sekarang.” Dean mengangkat satu tangan, dengan pelan menolak wanita itu kemudian tersenyum ke arah Bec. “Tapi pertama-tama, apa aku bisa mendapatkan anggurnya lagi?” “Dean..” “Tentu!” potong Bec dengan cepat. “Irine, tolong tuangkan anggurnya lagi untuk Dean.” Irine bergerak mendekatinya dalam bayangan yang samar. Kemudian selagi wanita itu menuangkan cairan hitam dari dalam teko ke dalam gelasnya, Dean mengendus aroma tajam yang menguar dari kulit Irine. Wanginya seperti sabun yang ia gunakan pagi ini, hanya saja lebih tajam. Dean baru sadar kalau tingkahnya berlebihan. Tubuhnya dicondongkan ke arah Irine begitu dekat. Saat kesadaran itu menamparnya, Dean langsung menyentak tubuhnya ke belakang, berharap tubuhnya terikat disana sehingga ia tidak khawatir kalau-kalau ia semakin goyah dan jatuh ke permukaan tanah. “Um.. ya, jadi.. seperti yang sudah kukatakan, aku adalah pelatih renang.” “Berapa lama kau menjadi pelatih renang?” Pertanyaan itu datangnya dari seberang kiri mejanya. Suaranya terdengar melengking. Pasti salah satu dari si kembar. Sementara itu Irine baru saja kembali ke kursinya. Tatapannya masih mengawasi Dean. “Tiga belas tahun.” “Itu waktu yang lama. Berapa usiamu sekarang, Dean?” “Tiga puluh tujuh.” “Jadi kau sudah menjadi pelatih di usia yang masih cukup muda, ya?” “Ya.. bisa dibilang begitu.” “Bagaimana dengan kehidupan pribadimu? Ceritakan pada kami bagaimana kau sebelum bertemu dengan Bree?” “Sebenarnya aku sudah menikah.” Seluruh orang yang hadir disana – kecuali Bree dan Irine, tentu saja – terkejut saat mendengarnya. “Tapi.. itu sudah berakhir.” “Kapan?” Dean merenung, tiba-tiba merasa seakan seseorang baru saja menusuknya dengan pisau yang tajam. “Dua bulan yang lalu – kurang lebih.” “Dua bulan bukan waktu yang lama untuk memisahkan diri dari pernikahan.” “Benar.” “Sudah berapa lama kau menikah?” tanya Janet. Dean tidak perlu menebak, suaranya yang keras sangat mudah dikenali. “Tujuh tahun.” “Apa kau punya anak?” “Ya. Seorang anak perempuan berusia lima tahun. Namanya Samanta. Aku memanggilnya Sam.” “Bagaimana Sam?” “Dia umm.. dia sangat mirip seperti ibunya. Kecuali warna matanya, tentu saja. Hanya itu yang tersisa dariku. Tapi aku menyayanginya. Sam seperti bagian dari diriku yang tidak akan bisa digantikan dengan yang lain.” “Tidak termasuk Bree?” suhut Jill atau Jess di seberang meja. Saat itu Dean memutar wajahnya. Bree hanya berupa bayangan samar disana, namun Dean dapat merasakan kehadiran wanita itu ketika ia meremas tangannya. “Itu berbeda,” ucap Dean. “Aku memiliki ruang sendiri untuknya.” Semua orang di atas meja menatapnya dengan haru. Sementara kepalanya kian terasa pening. Anggur mampu membuat ia lebih banyak berbicara dari biasanya, meskipun setelah itu Dean tidak bisa mengingat apa saja yang sudah dikatakannya. Segalanya menjadi kabur. Dean hanya mengingat samar-samar ketika ia muntah setelah minum tiga gelas anggur. Bree membimbingnya kembali ke pondok. Anehnya perjalanan pulang terasa lebih cepat. Sesampainya di pondok, wanita itu melepaskan kain putih yang melilit tubuh Dean kemudian membaringkannya di atas kasur. Setelah berbaring telengkup sembari menatap langit gelap di luar jendela kamarnya yang terbuka, Dean sudah tidak ingat apa-apa lagi.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN