bab 6

1452 Kata
Samuel nyaris saja mencium bibir sang istri jika saja wanita itu tidak melarikan diri dari kungkungannya sambil tertawa membuat Samuel gemas melihatnya. "Aku gosok gigi dulu," kata Meisya sambil meledek sang suami dengan tawa renyahnya membuat Samuel juga tertawa meski sambil menggelengkan kepalanya, lelaki itu menatap sang istri yang memasuki kamar mandi dari atas ranjang yang ia duduki, baru saja tadi ia meletakkan sang istri yang memasuki kamar sambil di bopongnya tetapi baru saja ingin ia cium Meisya sudah lebih dulu meloloskan diri. "Sayang, kamu ingat anak magang yang kita lihat di lampu merah waktu itu?" tanya Samuel pada sang istri yang baru keluar dari kamar mandi, wanita itu lalu mengambil beberapa lembar tissu yang ada di atas meja rias lalu mengelap wajah yang baru saja ia cuci, Meisya menepuk-nepuk pelan pipinya dengan dahi yang sedikit mengerut mengingat-ingat gadis itu lalu memikirkan mengapa sang suami menanyakan hal itu. "Yang jualan kerupuk udang?" tanya Meisya memastikan. "Iya, yang jualan kerupuk udang yang kamu beli," jawab Samuel membenarkan, Meisya lalu duduk di meja riasnya untuk memakai serangkaian perawatan wajah rutinnya sedangkan sang suami masih di posisinya menyandarkan punggung pada sandaran ranjang. "Iya aku inget, emang kenapa?" tanya Meisya sambil menatap sang suami dari pantulan cermin dan mendapati lelaki yang begitu di cintanya itu sedang menatapnya. "Tadi waktu aku mau pulang, aku liat dia lagi di gangguin preman-preman lampu merah. Ya ... anak-anak seusia dia yang memang kerjaannya malakin orang," kata Samuel, spontan Meisya menoleh agar bisa menatap sang suami secara langsung. "Terus? dia enggak apa-apa kan?" tanya Meisya khawatir, memang wanita itu tidak mengenal gadis yang sedang Samuel ceritakan tetapi empatinya sebagai sesama manusia lah yang berbicara. "Ya enggak apa-apa, untungnya tadi aku ngeliat dan anak-anak berandalan itu pergi. Tapi kasian aja kayaknya dia ketakutan banget," jawab Samuel, kembali terbayang wajah pucat dan bibir gemetar Jenar di benaknya. "Syukur deh, untung aja kamu liat kejadian itu, Kak. yang berandalan itu pengen cuma duit kan, aku malah takut mereka ngelakuin hal lain anak itu kan cewek," kata Meisya yang sudah kembali melanjutkan kegiatannya. "Iya, tapi katanya dia enggak mau ngasih duit karena yang dia punya cuma pas buat bayar angkot makanya berandalan itu marah dan malah gangguin dia," jawab Samuel, Meisya kembali menatapnya. "Kasian banget, padahal kayaknya dia anaknya pekerja keras," gumam Meisya dengan rasa prihatin yang ia rasakan. "Iya. Jadi, selama dia magang dia selalu datang terlambat pas aku tegur dia bilang kalau dia terlambat karena harus bantuin neneknya masak dan jualan nasi sebelum berangkat ke kantor," kata Samuel karena tiba-tiba mengingat apa yang Jenar katakan tadi siang padahal saat Jenar menceritakan hal itu Samuel sama sekali tidak terlalu menghiraukannya. "Wah, benar-benar pekerja keras tapi kayaknya kehidupan sulit," kata Meisya yang sudah selesai dengan kegiatannya lalu berpindah duduk dari kursi rias ke samping sang suami. "Ya, sepertinya begitu. Tadi dia pulang terlambat karena bantu karyawan yang lembur makanya tadi aku kasih dia sedikit uang buat dia naik taksi pulang, kasian rumahnya jauh," kata Samuel sambil mengelus rambut sang istri yang tergerai menutupi sebagian bahunya. "Iya, kasian dia. Tapi ngomong-ngomong soal dia ... siapa namanya?" tanya Meisya yang merasa kurang nyaman membicarakan seseorang tanpa dia tahu siapa namanya. "Em ... siapa, ya ... lupa," jawab Samuel sambil tertawa kecil, sang istri hanya tertawa sambil menggelengkan kepalanya. "Ya pokonya anak itu, kerupuk udangnya enak. Bisa enggak Kak Sam beliin kerupuk udang itu buat aku?" pinta Meisya dengan tatapan sendu merayu, Samuel menahan senyum melihat wajah sang istri. Lelaki itu sudah begitu hapal tingkah wanita tercintanya itu jika sedang menginginkan sesuatu. "Em ... beli kerupuk di dia, ya. Tapi kan aku enggak punya nomer hapenya berarti enggak bisa pesan sekarang dong. Harus tunggu besok ketemu dia di kantor baru pesen," kata Samuel sambil menatap wajah cantik sang istri. "Iya enggak apa-apa, besok Kak Sam pesen biar lusa dia bawain kerupuknya ke kantor," jawab sang istri setuju, lelaki itu langsung menaruh tangan di kening dengan tubuh tegap. "Siap melaksanakan tugas nyonya komandan!" kata Samuel, Meisya tertawa geli lalu memeluk tubuh sang suami. Samuel juga ikut tertawa sambil membalas pelukan sang istri dan mencium keningnya. Di waktu yang sama di mana malam semakin merangkak naik, seorang gadis menyandarkan tubuhnya dia sebuah dinding yang di bangun setinggi satu meter di tengah jalan raya sebagai pemisah jalur dua arah di dekat lampu lalu lintas yang sedang menyala hijau, di atas dinding memanjang itu di tanami tanaman hias yang biasa di sebuah sebagai tanaman lidah mertua yang tidak terlalu subur. Gadis itu memegang kantung plastik berisi bungkusan kerupuk udang yang masih banyak tersisa, rasanya tubuh mungil itu merasakan lelah yang begitu mendera karena seharian tidak beristirahat hanya sekedar meluruskan punggung dengan berbaring saja ia tidak sempat. Namun, rasa lelah itu harus ia singkirkan jauh-jauh mengingat begitu banyak uang yang harus ia kumpulkan demi kelangsungan pendidikan dan kehidupannya, demi Jenar bisa meraih cita-cita Mbok Nah harus begitu keras berjuang berjualan nasi uduk dan bekerja serabutan setiap harinya tetapi semua itu tidak cukup untuk membayar biaya kelulusan sekolah menengah pertama Jenar dulu juga membayar biaya pendaftaran sekolah menengah kejuruan Jenar hingga wanita tua itu harus banyak berhutang yang belum juga lunas sampai sekarang. "Monggo Mas, Mbak, kerupuk udangnya." "Murah cuma sepuluh ribuan saja sebungkus." "Monggo Bu, kerupuk udangnya." Kata yang selalu Jenar ulang-ulang setiap mendekati kaca mobil yang berhenti di lampu merah, juga mendekati para pengendara motor yang ada di barisan paling depan bersaing dengan pedangan lain juga pengamen dan peminta sumbangan, memang tidak semua orang yang ia tawari dagangannya selalu berakhir sebagai pembeli tetapi Jenar tetap tidak menyerah untuk terus berusaha. "Mbak, kerupuknya dua bungkus lima belas ribu, ya," tawar seorang ibu pengendara motor, Jenar tersenyum karena ada yang tertarik dengan dagangannya tetapi juga bingung karena harga yang ditawar lebih rendah. "Maaf, Bu, sudah harga pas. Sepuluh ribu satu bungkus sudah murah, Bu. Pedagang lain juga segitu," jawab Jenar dengan ramah, wanita itu hanya memasang wajah datar mungkin kesal karena tidak berhasil menawar tetapi ia tetap memberikan pada Jenar uang dua puluh ribuan dan membeli dua bungkus kerupuk udang. "Terima kasih, Bu," ujar Jenar sembari memberikan kerupuk dan menukarnya dengan uang yang wanita itu berikan. "Mbak Jenar, pulang yuk, udah malem," ajak seorang anak perempuan yang usianya tidak terpaut jauh darinya, anak perempuan itu juga membawa kantong plastik besar berisi kerupuk seperti yang Jenar jual karena mereka memang mengambil barang dagangan pada bos yang sama. "Iya, udah sepi juga," jawab Jenar sambil melihat ke sekeliling di mana sudah banyak toko-toko di pinggir jalan yang tutup. Mereka berdua jalan beriringan menuju trotoar yang akan mereka lalui menuju rumah pengusaha kerupuk udang, agak lumayan jauh dari lampu merah tempat mereka menjajakan dagangannya. "Kerupuk kamu tinggal sedikit Nur," kata Jenar sambil menatap kantong plastik yang gadis bernama Nur itu bawa di pundaknya hingga menjuntai ke punggung, dengan cara yang sama Jenar membawa kantong kerupuknya. "Iya Mbak, punya Mbak Jenar masih agak banyak ya," kaya Nur menyayangkan. "Iya, kayaknya rejeki Mbak emang enggak begitu banyak dari jualan kerupuk hari ini, karena Mbak udah dapet uang bonus dari tempat magang tadi sore," jawab Jenar dengan gembira mengingat uang yang Samuel beri padanya. "Wah, dapet bonus banyak ya Mbak?" tanya Nur dengan wajah berbinar turut gembira. "Ya enggak banyak juga sih, cukup lah untuk bayar bank mingguan Simbok jadi besok Simbok enggak perlu bingung buat bayar bank mingguan," jawab Jenar yang turut sedih jika waktu jatuh tempo pembayaran hutang sang nenek tiba dan wanita itu belum memiliki uang. "Mbak Jenar nanti kalau sudah sukses kerja kantoran jangan lupa sama Nur ya," kata Nur sambil menatap Jenar dengan senyum polosnya. "Mbak enggak akan lupa sama Nur, Nur juga harus semangat walaupun enggak kerja kantoran setiap manusia pasti akan memilik kesuksesannya sendiri," jawab Jenar sambil merangkul bahu Nur dengan erat, Jenar tahu kalau sebenarnya gadis yang hanya lulus sekolah dasar itu juga memiliki semangat untuk melanjutkan sekolah tetapi keadaan yang tidak memungkinkan dan dukungan orang tua yang kurang membuat gadis itu tidak bisa melanjutkan pendidikannya. "Semoga nanti Nur juga bisa sukses jadi juragan kerupuk kayak Bu Susi," kata Nur cepat, Jenar tersenyum sambil mengaminkan apa yang gadis itu katakan. Mereka memasuki pintu gudang kerupuk udang yang masih terbuka, pintu itu akan tertutup jam sebelas malam, waktu yang di tentukan oleh Bu Susi sang juragan di mana semua pengecer sudah harus menyetor hasil dagangannya. Di dalam sama Jenar, Nur dan pada pengecer lainnya akan menghitung uang hasil dagangannya dan jumlah sisa kerupuk yang tidak terjual lalu mendapatkan uang bagi hasil jerih payah mereka. Jenar dan Nur berpisah dari gerbang itu setelah mereka selesai mendapatkan upah, Jenar mengendarai sepeda butut yang akan berderit setiap kali kakinya mengayuh pedal menuju rumahnya, dengan sepeda itu pula Jenar menuju sekolah setiap harinya. Hanya karena sekarang sedang magang di kantor Samuel saja sepeda itu kehilangan satu tugasnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN