Laras merasa kesal karena saat bangun tidur dia tidak melihat Ratu yang seharusnya sudah membuat sarapan. Dengan perasaan jengkel dia memaki-maki Ratu yang berani kabur. Kalau Ratu pergi, siapa lagi yang akan masak, bersih-bersih rumah, setrika, cuci pakaian, cuci piring, dan melakukan hal lain. Laras tidak punya cukup uang untuk menyewa pembantu. Ratu pergi dari rumah, sama saja dia kehilangan pembantu tanpa digaji.
Bagi Laras, Ratu hanya seorang anak yang ia lahirkan ke dunia ini untuk menuruti semua perkataannya.
Dari dulu Laras memang tidak pernah dekat dengan anak-anaknya. Kerjaannya dulu hanya berfoya-foya, habiskan duit suami, selingkuh sana dan sini, hingga akhirnya sang suami kerap melakukan kekerasan kepada istrinya, dan berujung pada perceraian. Tidak ada yang benar-benar peduli dengan anak-anknya.
Sang ayah menikah lagi dan pindah ke Kalimantan, sampai sekarang belum pernah ketemu lagi walau duit transferannya tetap masuk tiap bulan dengan nominal yang tidak terlalu besar, tapi Ratu tetap bersyukur.
Lalu setelah itu ibunya berangkat ke Hongkong untuk menjadi TKW katanya, dan baru pulang sekarang, namun uang transferannya tetap masuk kala itu.
Laras menunggu Ratu di depan gerbang sekolahnya, saat melihat Ratu, dia langsung mencekal tangan anaknya itu.
"Ratu!" murkanya dengan geram.
Ratu kaget dengan kehadiran Laras, lalu berusaha melepas cekalannya, namun tidak bisa karena tenaga ibunya jauh lebih besar. "Ma, please, lepas."
"Kamu pikir, kamu bisa kabur ke mana? Pulang kamu!"
Ratu diseret paksa oleh Laras, walau Ratu sudah berontak tapi tetap dia tidak bisa bebas. Ratu hanya menahan tanganya yang sakit karena ditarik paksa. Padahal tangan kakinya masih sakit akibat kecelakaan semalam.
Namun tak berapa lama kemudian, seseorang langsung menarik Ratu ke dalam dekapannya, hanya sekali tarik.
Ratu langsung menjauhkan tubuhnya dari laki-laki itu karena tanpa sadar mereka menjadi bahan tontonan anak SMP.
"Siapa kamu?" tanya Laras menyelidik. "Saya mau bawa pulang anak saya!"
Devan menatap datar tanpa senyuman. "Apa yang Anda mau sekarang? Tapi harus lepasin Ratu, biarin dia pergi dari rumah."
Laras tampak berpikir. "Uang 100 juta, dengan begitu saya akan biarin dia melakukan apa yang dia mau."
"Mama!" Protes Ratu karena meminta uang dengan nominal besar.
Devan mengeluarkan sebuah kartu nama dari dalam dompetnya. "Ini kartu nama saya, langsung chat aja nomor rekeningnya, biar saya transfer."
Laras menerima kartu nama itu dengan senyuman merekah.
"Oke, nanti saya chat." Laras menatap Ratu. "Ya udah sana kalau kamu mau pergi dari rumah, enggak apa-apa."
***
Devan memang ke sekolah Ratu untuk menemaninya cari kost, tapi sekarang niat itu ia urungkan.
Setelah dipikir-pikir bahwa Devan akan membiarkan Ratu tinggal bersamanya, lagipula Devan tidak tega membiarkan anak yang masih di bawah umur untuk tinggal sendiri, mengingat Ratu terlalu lemah untuk menghadapi kejamnya dunia, apalagi lihat ibunya tadi membuat Devan semakin tidak tega dengan Ratu.
"Kak Dev, kenapa lakuin itu?" tanya Ratu setelah dalam perjalanan pulang.
"Karena saya ingin."
Tanpa sadar Ratu meneteskan air matanya. "Aku benar-benar sendiri di dunia ini, Kak. Papa di Kalimantan yang enggak mau menengok aku, Mama yang sama sekali enggak peduli, dan juga Bang Dewa di penjara." Ratu menyeka air matanya yang semakin mengalir. "Kadang aku mikir, buat apa aku hidup? Toh, orang-orang enggak ada yang peduli. Aku enggak punya banyak waktu buat main-main, pagi sampai sore aku sekolah, malam aku kerja, terus pulang kerja aku belajar atau kerjain PR, aku bahkan sering ketiduran di kelas."
"Kamu bisa anggap saya sebagai keluarga."
Ratu menoleh ke arah Devan. "Dan aku berterima kasih kepada Tuhan karena mempertemukanku dengan orang sebaik Kakak. Seenggaknya aku sekarang punya alasan untuk bertahan."
Devan hanya kasihan dengan Ratu, dulu saat dirinya masih remaja, begitu mudah mendapatkan sesuatu, barang-barang mewah hanya dengan meminta kepada orangtua tanpa harus berjuang keras, kasih sayang yang selalu diberikan oleh orangtuanya setiap hari, dan apa pun yang ia mau bisa ia dapatkan, sangat berbanding terbalik dengan keadaan Ratu saat ini.
Baginya, uang seratus juta tidak ada apa-apanya daripada melihat dia harus tersiksa bersama ibu dan ayah tirinya.
Padahal mereka baru saling mengenal, tapi rasa ingin melindungi sangat besar. Melindungi seperti seorang adik, mungkin.
***
Saat sampai di apartemen, Devan kaget melihat Kinan saat ini. Memang, ibunya itu bisa dengan mudah masuk karena Devan memberitahu password. Namun, Devan tidak tahu kalau hari ini dia datang ke sini tanpa mengabari terlebih dahulu.
Kinan yang menyadari kedatangan Devan, langsung meninggalkan aktivitasnya yang sedang menata makanan di atas meja makan, dan menghampiri anaknya yang menjomlo itu.
Namun, wajah Kinan terkejut melihat kehadiran Ratu di sebelah Devan. Wanita paruhbaya itu memperhatikan seragam putih biru yang dikenakan oleh Ratu. Kalau saja yang dibawa oleh Devan adalah perempuan dewasa pasti Kinan akan senang, tapi ini anak yang masih bocah.
"Devan, kamu itu jangan p*****l!"
Devan mengembuskan napasnya. "Enggak, Ma. Dia anak SMP yang butuh bantuan aku, jadi aku berusaha melakukan layaknya seorang manusia yang menolong sesama, enggak ada maksud terselubung."
"Iya, saya bukan pacarnya Kak Dev." Ratu langsung mencium tangan Kinan. "Saya Ratu, Tante."
"Kinan," balasnya.
Kinan bernapas lega, ternyata anaknya masih normal untuk tidak memacari anak di bawah umur. Kinan cuma takut anaknya ini jadi belok karena kelamaan menjomlo, bukan kelamaan lagi, tapi jomlo dari lahir.
Kinan pun mempersilakan Devan dan Ratu untuk makan terlebih dahulu.
"Ma, kok datang enggak kasih tahu?" tanya Devan sambil mengambil ayam bakar kesukaannya.
"Kan Papamu ada proyek selama sebulan di Malaysia, jadi Mama mau nginap di sini aja, nemenin kamu," jawab Kinan setelah menyelesaikan kunyahannya.
"Kenapa enggak ikut Papa?"
"Malas ah, lagian Papa juga udah izinin Mama ke sini." Kinan menatap Ratu yang terlihat malu-malu. "Makan aja, Ratu, jangan malu-malu."
"Makasih, Tante."
"Jadi, ada apa sebenarnya yang terjadi denganmu, Ratu?"
Mengalirlah cerita hidup Ratu secara rinci. Kinan yang mendengar itu menangis, dia tidak menyangka anak sekecil Ratu harus menanggung beban seperti itu.
Kinan menyeka air matanya. "Ratu anggap saja saya ibumu."
Sekarang Ratu tahu, kebaikan hati Devan ternyata menurun dari ibunya, kelihatan jutek, tapi aslinya dia sangat baik dan ramah.
"Makasih, Tante."
"Tapi satu yang harus Ratu tahu, enggak ada satupun ibu kandung di dunia ini yang enggak menyayangi anaknya. Ibumu sayang sama kamu, mungkin cuma dia bingung menyampaikannya, karena kalian enggak pernah dekat."
"Enggak tahu juga, Tan. Tapi yang jelas apa pun itu Ratu enggak benci sama mama ataupun papa."
Kinan menatap Ratu dengan intens, lalu tersenyum tipis. "Andai kamu enggak terpaut jauh sama Devan, Tante pasti senang kalau Devan nikah sama kamu."
Devan yang mendengar hal itu langsung tersedak, kemudian dia meneguk air putih sampai tandas.
"Memangnya Kak Dev belum ada calon, Tan?"
Kinan menggeleng. "Tahu tuh Devan, belum pernah pacaran dari lahir. Belum ada kepikiran nikah juga, padahal umurnya udah 27, bentar lagi 28. Pedangnya kalau enggak diasah-asah takut tumpul."
Ratu bingung. "Kak Dev punya pedang? Ya udah, Tan. Biar Ratu aja yang asah biar tajam."
"Eh?" Devan langsung terkejut mendengar ucapan polos Ratu.
"Mana, Tan?"
"Ada di balik celananya Devan."
Ratu semakin bingung. "Celana mana, Tan?"
Daripada terus meladeni pertanyaan polos Ratu, Devan pun langsung menginstrusikan untuk segera menghabiskan makanan mereka.
***