Ratu bahagia karena hari ini adalah hari terakhir Ujian Nasional, setelah berhari-hari menjalani ujian yang menegangkan itu. Setelah ini tugas Ratu mencari SMA yang cocok untuk dirinya.
Ratu melihat tanggal yang ada di ponselnya, minggu depan ia ulang tahun ke 15 tahun, biasanya ada Dewa yang membawakannya sebuah kue, lalu mereka akan merayakan bareng. Sekarang Ratu benar-benar sendiri, tanpa keluarga.
"Tu ..., " Seorang teman sekelasnya menghampiri Ratu yang baru saja berdiri dari tempatnya. "Gue lihat tadi pagi lo keluar dari mobil om-om, gue enggak nyangka ternyata lo simpanan sekarang. Sekarang lo jadi bahan omongan tahu."
Ratu terkejut mendengar ucapan cewek yang bernama Tari itu. "Gue emang tinggal di sana, tapi bukan berarti simpanan ya."
"Tuh apa lagi sampai tinggal bareng, pasti udah mantap-mantap."
Ratu menarik rambut perempuan perempuan yang mengatainya itu. "Gue bilang enggak ya enggak!"
Tari balas menjambak rambut Ratu, orang-orang yang ada di kelasa bukannya melerai, malah menyemangati dan penasaran siapa yang akan menang dari perjambakan ini.
"Dasar murahan, masih SMP udah jadi p*****r!" Tari masih tidak kapok.
Sementara Ratu menahan sesak atas ucapan tidak benar itu.
"Lo jangan asal fitnah!"
Ratu pun langsung menendang Tari hingga ia terhuyung ke belakang.
"Teman-teman dia udah enggak perawan."
Sekarang bukan hanya Tari yang menghujatnya, melainkan seisi kelaas mengatakan hal yang sama. Ratu tidak bisa menghentikan bullyan mereka, yang Ratu bisa hanya menutup telinga.
"Cie Ratu, kuat berapa ronde?"
"Halah tampang aja yang polos!"
"Manusia suci tapi hina."
Ratu semakin kesal mendengar hujatan demi hujatan itu. Dengan kesal Ratu membanting salah satu meja yang ada di sebelahnya, membuat seisi kelas jadi hening.
Ratu berlari sekuat tenaga, dengan air mata yang menggenang, dirinya tidak seperti itu tetapi dihina. Manusia menyebalkan yang asal menjudge tanpa tahu kebenarannya.
Ratu berhenti di sebuah halte yang ada di depan sekolahnya, lalu menyeka air mata yang sudah membanjiri pipinya dengan kasar. Seseorang menyodorkannya sapu tangan.
Ratu menoleh, tidak pernah melihat laki-laki ini sebelumnya. "Tenang, ini sapu tangan baru kok."
Ratu menerima sapu tangan itu. "Thanks."
Laki-laki itu langsung menarik tangan Ratu untuk naik ke bus, mereka duduk di sebelah kanan, dengab posisi Ratu dekat jendela.
Saat Ratu mengembalikan sapu tangan itu, tapi ia menoleh. "Buat lo aja, kalau lagi nangis tinggal pakai itu."
Ratu mengangguk. "Nama lo siapa?"
"Nelvan, dari 9-U."
"Lo anak unggulan? Wih keren! Gue Ratu, dari 9-A. Tapi kok gue enggak pernah lihat lo ya? Mungkin karena jarak kelas kita yang jauh."
Nelvan terkekeh. "Udah tahu kok, sering merhatiin. Raru Azalea, dari 9-A, penyuka cilok dan fisika, benci matematika karena susah mecahin rumusnya."
"Kok tahu?"
"Lo tahu istilah, seperti jarak bumi dah matahari, padahak sedekat nadi. Gue sering merhatiin lo, like a cari tahu all about lo."
Ratu semakin bingung, apakah si Nelvan ini adalah peramal? Lalu, kenapa dia mencari tahu tentang dirinya?
"Kenapa enggak datang langsung ke gue?"
"Balik lagi ke status SMP yang masih terlalu dini untuk menjalin asmara. But i feel, rasa yang gue punya adalah cinta monyet."
Ratu tertegun mendengar ucapan panjang lebar si cowok yang bernama Nelvan itu. Tanpa sadar Nelvan sudah turun di halte barusan, sementara Ratu masih ada 3 hal lagi baru sampai.
"Jadi si cowok tadi itu bilang suka gue apa gimana sih? Kok gue enggak konek?"
Tak lama kemudian muncul chat dari Devan.
Kak Dev: Ratu, di mana?
Ratu: bus, Kak. Kenapa?
Kak Dev: oh ya udah hati-hati
Ratu: jam berapa pulang, Kak?
Kak Dev: bentar lagi
Ratu: oke
Perhatian kecil dari Devan seperti ini, selalu bisa membuat Ratu senyam-senyum. Ada rasa bahagia yang ia rasakan.
***
Setelah chat dengan Ratu, ia meletakkan ponselnya, dan kembali menatap laptopnya.
Seseorang yang tiba-tiba masuk ke ruangannya membuat Deva kaget, dia adalah Ara. Padahal Devan tidak memanggilnya, tetapi perempuan itu datang dengan senyuman di bibirnya.
Tunggu, ada yang beda, Ara hari ini datang dengan rambutnya yang panjang yang membuat Devan terpukau.

"Kamu pakai hair extensions?"
Ara mengangguk. "Tunggu panjang sendiri bakal lama, ya udah cara cepat aja. Cantik enggak?"
"Biasa aja."
Ara yakin pasti dalam hati Devan mengatakan bahwa dirinya cantik. Ternyata Devan termasuk tipe laki-laki yang memiliki gengsi untuk memuji lawan jenis.
Ara semakin mendekatkan dirinya kepada Devan, lalu berbisik, "Kata karyawan Bapak gay ya?"
Devan kaget, berita hoax darimana itu, jomlo bukan berarti gay, dasar netizen bermulut nyinyir terlalu kepo sama urusan orang lain.
Devan beranjak dari tempatnya, lalu menatap Ara. "Oh tentu tidak, Nona!"
Ara terkekeh pelan, seakan menggoda Devan seperti ini adalah hal yang paling menyenangkan, biasanya Ara yang selalu dibuat kesal, sekarang giliran Devan yang kesal.
"Tahu kissing enggak?" Ara meralat ucapannya. "Maksudku, kissing sama lawan jenis."
Devan tidak berkata apa-apa.
"Oh enggak pernah ya? Oke, thanks atas infonya bahwa bos di kantor ini adalah ga-"
Devan menyela ucapan Ara. "Dengar baik-baik, saya belum pernah berciuman bukan karena gay, tapi karena saya hanya ingin berciuman dengan wanita yang menjadi istri saya."
"Calonnya mana?" tantang Ara. "Hampir 28 tapi masih jomlo, saya rasa bukan karena enggak ada yang mau tapi karena bapak gay. Udah jujur aja."
Devan langsung menarik Ara, dan membantingnya di sofa, hingga mereka saling bertatapan. Jantung Ara berdetak dengan sangat cepat karena posisi mefeka yang sedekat ini, bahkan aroma mint dari mulut Devan masuk ke indera penciuman Ara.
Ara yang niat ingin membuat Devan kesal, sekarang ia yang dibuat deg-degan, ternyata dengan jarak sedekat ini Ara mengagumu ketampanan seorang Devan mahendra.
Devan tersenyum tipis melihat wajah Ara yang terlihat memerah, dan detal jantungnya tedengar begitu jelas. Devan berbisik ke telinganya. "Dengar, Ara. Saya bukan gay, saya bisa aja membuat kamu enggak bisa jalan sekarang juga, tapi saya enggak mau.
Devan menjeda ucapannya. "Karena saya terlalu mahal untuk melakukan hal itu dengan cewek murah."
Ucapan Devan sangat menusuk hati Ara, ia langsung mendorong tubuh Devan agar menjauh darinya.
"Jadi menurut Bapak saya murah?"
Devan terkekeh. "Seorang anak magang, datang ke ruangan atasannya padahal tidak ada keperluan, apa namanya kalau bukan menggoda?"
Ara rasanya ingin menghajar wajah Devan, dan menonjok mulut bon cabel level 30 itu.
"w*************a memang murah kan?"
Tidak tahan lagi dengan ucapan Devan, akhirnya Ara langsung menampar pipi Devan dan menendang organ vital dengan high heels yang ia pakai. Ara senang melihat Devan kesakitan seperti itu.
"Dengar Bapak Devan yang terhormat, saya enggak tertarik sama pria bermulut emak-emak seperti Anda. Permisi."
***