"Yang mulia!"
Boo dan Demien yang baru saja bangun menyadari bahwa pangeran Azure tidak berada di tendanya, segera mencari dengan panik namun yang tidak mereka sangka adalah mereka akan menemukan pangeran mereka sedang berada di bawah seorang wanita dengan pedang tajam yang mengancam nyawa di lehernya.
Ruby yang memang telah mendengar langkah kaki mereka menyipitkan mata lalu melompat menjauh tanpa gentar dengan pedang tajam yang bisa merobek lehernya kapan saja.
Dia berbalik memunggungi Azure dan dua pengawalnya lalu melepas kain merah di pergelangan tangannya sebelum melilitkannya ke matanya.
Ruby berdecak sebal, malam ini adalah malam peringatan kematian Luna dan juga merupakan malam di mana dia biasanya membuka penutup matanya selama setahun sekali di luar. Dan sekarang, dia harus menutup matanya lebih cepat karena kehadiran orang-orang ini.
"Orang asing? Mengapa kalian begitu suka mencari kematian?" gerutu Ruby tanpa berbalik. Rambut panjangnya yang terurai perlahan mengambang tertiup angin dan membelai dandelion biru di sekitarnya.
"Kaulah yang mencari kematian, beraninya kau menodongkan pedangmu kenapa pangeran kami!" Boo dan Demian kini berdiri di kiri dan kanan Azure, memasang mode waspada kalau-kalau gadis di hadapan mereka membuat serangan lagi.
"Pangeran? Dia?" Dari balik kain penutup mata berwarna merahnya, dahi Ruby berkerut sembari mengarahkan telunjuknya tepat ke arah Azure "Sayang sekali, karena kecerobohan kalian yang membiarkannya berkeliaran, dia akan segera menemui ajalnya."
"Jaga omonganmu!" Boo yang paling mudah tersulut emosi di antara mereka menghunuskan pedangnya dan hampir menyerang jika Azure tidak menghentikannya.
"Nona, maafkan tindakan para pengawalku dan juga tindakanku yang secara tidak sopan mengintip tarianmu." Sean maju dan memberikan gestur sopan. Meskipun gadis di hadapannya telah menutup mata, Azure yakin dia memiliki naluri tajam untuk mendeteksi sesuatu yang tidak bisa dia lihat di sekitarnya.
"Baguslah jika kau juga sadar bahwa tindakanmu sedikit kurang sopan." Ruby kemudian berjalan kembali ke bukit kecil tempatnya tadi menari, memungut jubah hitam lusuh yang dia letakkan di sama lalu menutup kulit tubuhnya yang mulai menggigil di terpa angin malam.
Boo lagi-lagi terprovokasi dengan tindakan tidak hormat Ruby pada Azure dan kembali menampakkan gestur menyerang namun Damien yang sejak tadi diam menghentikannya dan memperlihatkannya gambar penyihir yang mereka bawa lalu menunjuk penutup mata berwarna merah di mata di mata penyihir di perkamen lalu menunjuk pada penutup mata Ruby.
Boo menganga tak percaya, dia menatap pada menyihir di gambar dan Ruby bergantian lalu memijat pangkal hidungnya. Selain penutup mata merah di mata, poin lain tidak ada satu pun yang sama. Bahkan postur bungkuk penyihir di gambar tidak ada pada Ruby. Gadis di hadapan mereka ini jelas-jelas adalah manusia normal dengan kecantikan yang langka lalu mengapa gambar seperti ini beredar?.
"Bolehkah aku tahu siapa namamu Nona?"
Pertanyaan dari Azure menyebabkan gerakan Ruby yang sedang mengepang rambut panjangnya terhenti."Percuma saja memberitahumu namaku."
Azure mengangkat alis "Kenapa?"
"Orang mati tidak akan bisa mengingat nama seseorang."
"Apa maksudmu!?" Kali ini, bahkan Demian pun tersulut amarah dan maju untuk menodongkan pedangnya.
"Kenapa kau terus mengatakan bahwa aku akan mati?" Azure yang juga mulai merasa kesal sama sekali tidak menghiraukan dua pengawalnya yang menodongkan pedang pada Ruby dan menatap langsung pada kain merah di mata gadis itu seolah bisa menatap langsung ke mata merahnya.
"Bukankah kalian kemari untuk mencari penyihir di dalam gambar itu?" Ruby menunjuk langsung pada perkamen yang berada di tangan Demien "Dan sekarang kalian sudah bertemu dengannya, lalu mendapatkan kutukan karena keingintahuan kalian sendiri."
"Kutukan?"
"Ya, Kau baru saja mendapat kutukan dariku." Ruby menoleh ke arah Azure "Sebentar lagi kau akan mengalami kematian yang paling mengenaskan."
Kali ini, Boo dan Demian tidak menahan diri lagi dan maju menyerang Ruby secara bersamaan dan tidak main-main untuk menyerang langsung pada titik vital.
Namun Ruby bukanlah gadis yang mudah di tangani, hanya dengan lambaian tangan sepuluh pisau kecil yang tadinya tersebar untuk menyerang Azure kembali ke padanya dalam sekejap, dan tanpa menarik pedang panjang di tangannya, dia menangani Boo dan Demien dengan ahli hanya dengan gerakan tangannya tanpa perlu untuk berlari ataupun melompat.
Azure yang mengamatinya mengernyit, senjata aneh yang bergerak sendiri di udara itu tak pernah dia lihat sebelumnya. Dan setelah dia amati dengan seksama, Azure juga sama sekali tidak melihat benang maupun kawat yang menghubungkan jari gadis itu dengan pisau-pisaunya. Lalu bagaimana dia bisa mengendalikannya dari jarak jauh?
Selagi Azure serius mengamati, Boo dan Demian mulai kewalahan, delapan pisau itu benar-benar menyerang mereka dari segala arah dan tidak memberi mereka kesempatan untuk mendekati pengendalinya.
Ketika Boo tanpa sengaja menjadi lengah dan menangkis dua pisau yang mengarah ke d**a dan perutnya, tanpa dia sangka. Sepasang lagi telah melesat dan langsung menuju matanya.
Trang...
Azure tepat waktu menghalau laju pisau itu dan membuatnya terpental tak begitu jauh dan di saat yang sama dia juga menarik dua pengawalnya mundur berdiri cukup jauh dari Ruby.
"Cukup! Kami datang bukan untuk membuat keributan."
"Mereka yang menyerangku lebih dulu!" Ruby masih merentangkan sepuluh jarinya di udara dan delapan pisau ulnaris itu tergantung di udara dengan ujung pisau yang mengarah kepada ketiga pria itu.
"Aku akan meminta maaf untuk sikap mereka...
"Yang Mulia!" Demian tidak bisa mempercayai telinganya, pangeran Azure adalah keturunan kerajaan, seorang putra mahkota yang kedudukannya hanya selangkah dari seorang Raja. Bagaimana bisa orang terhormat seperti itu meminta maaf dua kali dalam semalam. Meski dia tahu, di antara putra dan Putri kerajaan timur lainnya, karakter Azure adalah yang paling lembut tapi bukan berarti dia adalah seseorang yang mudah meminta maaf untuk rakyat jelata seperti mereka terlebih penyihir yang tidak jelas asal usulnya ini.
Azure memberi perintah dengan gerakan ringan untuk membuat Demien diam. Sedangkan Ruby yang merasa bahwa suasana terasa lebih tenang, menurunkan tangannya dan diikuti oleh delapan pisau yang terbang ke arahnya dan terselip sempurna di antara jari-jemarinya. Sedangkan pedang panjang yang bertengger di pinggangnya sama sekali tidak pernah di gerakkan. Sangat jelas bagaimana matangnya teknik bela diri gadis muda itu.
"Sebaiknya kalian secepatnya meninggalkan hutan ini, tempat ini lebih berbahaya dari apa yang kalian pikirkan." Setelah mengatakan kalimat terakhirnya, Ruby berbalik dan berjalan menjauh lalu menghilang di balik bayang-bayang pepohonan.
"Yang Mulia, apakah kita akan melepaskannya begitu saja? Dia membunuh banyak orang." Demien menyarungkan kembali pedangnya.
"Aku menginginkannya." Azure masih belum mengalihkan tatapannya dari arah di mana Ruby pergi. "Dengan teknik bela dirinya, jika dia bisa bergabung dengan kita. Kurasa aku bisa tidur lebih nyenyak setiap malamnya."
"Tapi Yang Mulia, dia adalah pembunuh berdarah dingin yang berbahaya, sangat tidak aman membawanya bersamamu."
"Tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa dia adalah pembunuhnya, lagi pula jika dia bisa menjadi orangku, aku tidak peduli berapa banyak nyawa yang pernah melayang di tangannya."
"Dia terlihat tidak begitu ramah." Boo ikut mengeluarkan pendapat "Bagaimana kita akan membujuknya untuk ikut ke istana?"
Azure menampakkan senyuman tipis "Hal ini tergantung apakah aku bisa hidup hingga esok hari," ujarnya lalu berbalik ke arah yang berlawanan dari arah Ruby pergi.
Bersambung...