Buku sihir itu memiliki kesadaran, Ruby menyadarinya setelah mencoba membukanya sekali lagi setelah di kejutkan di perpustakaan.
Sebab setelah membuka buku itu pertama kalinya di perpustakaan, Ruby seolah memiliki koneksi dengan buku sihir itu.
Lebih tepatnya, buku itu memilih Ruby sebagai tuannya.
Jadi bahkan jika Ruby meninggalkannya di perpustakaan istana saat pertama kali menemukannya, buku itu muncul di kamarnya di keesokan harinya.
Dan hari ini, buku itu bahkan menyelip di antara baju yang di berikan Ratu Sophia.
Ruby mengira, karena buku itu memiliki koneksi dengannya, maka buku itu juga akan merasa akrab dengan Azure. Siapa yang menyangka bahwa buku itu tiba-tiba saja menyerang Azure di depan matanya.
Memikirkan itu membuat darah Ruby kembali mendidih karena marah. "Katakan, kenapa kau menyerang Yang Mulia?" tanyanya.
"...."
Tidak ada jawaban, bahkan buku itu berhenti bergetar.
"Jangan pura-pura, aku tahu kau bisa menjawabku."
"...."
Masih tidak ada reaksi.
Ruby menyipitkan mata dan mengangkat kepalan tangannya. "Kau mau di pukul lagi?"
Buku sihir di atas meja tiba-tiba terbuka dan memperlihatkan tulisan "Tidak!" di halamannya yang kosong.
Raut wajah Ruby tidak berubah meski melihat adegan tidak biasa itu.
"Kenapa kau menyerang Yang Mulia?" tanyanya lagi.
Buku itu menghilangkan tulisan pertama dan menulis kalimat baru.
'Hikss... A-Aku hanya tidak suka orang asing menyentuhku... Hiks maaf, jangan pukul lagi.'
Meski Ruby mengetahui jawaban buku itu melalui tulisan, namun entah mengapa dia juga bisa merasakan emosi buku itu ketika menjawabnya.
"Lain kali, biarkan dia menyentuh." Tatapan Ruby mengintimidasi dan buku itu kembali bergetar. "Jika kau menyerang lagi, akan kulempar dari jendela."
Gambar mata bercucuran air mata terlihat. 'Ta-pi kami sangat sensitif... Hiks... Tidak suka jika orang... Hiks... Lain selain pemilik kami... Hiks... Menyentuh kami... Huhuhu... Hicup... Dan seranganku adalah gerak refleks... Hiks... Aku tidak dengan sengaja menyerangnya... Huwaaaa... Hicup... '
Sudut bibir Ruby berkedut membaca semua tulisan Hiks, huhuhu, huwaaaa dan hicup itu. Dia seolah bisa mendengar seorang anak menangis merengek-rengek di telinganya.
"Berhenti menulis kata-kata mengganggu itu. Mataku sakit melihatnya."
'Ma.. Hicup... Af. Tapi aku tidak bisa menghentikan air mataku... Hiks."
Ruby "...." Apa kau bahkan punya air mata?
Ruby memutar mata dan memutuskan untuk diam. Menunggu hingga gambar mata menangis di atas kertas menghilang sebelum kembali bertanya lagi.
"Kau mengatakan 'kami', apa kau punya teman buku sihir lain?"
'Tidak tahu, tapi setelah aku bangun, aku tidak melihat ada buku lain di sekitarku.' Buku sihir itu menjawab.
Ruby lanjut bertanya. "Mengapa mengikutiku?"
'Humm, karena kau adalah tuanku tentu saja.'
"Bagaimana bisa aku menjadi tuanmu?
Tidak ada jawaban, buku itu tetap kosong selama beberapa saat.
'Aku tidak tahu. Aku hanya melihatmu pertama kali setelah membuka mata dan kau jadi tuanku.'
Bukankah karakteristik itu seperti anak ayam yang baru saja menetas?
Ruby menatap buku itu dan mulai bosan. Sejak tadi dia masih belum mendapat jawaban yang berguna.
Tapi Ruby juga memiliki banyak pertanyaan yang ingin dia tahu. "Siapa yang membuatmu?"
'Tidak tahu.'
"Dari mana kau berasal?"
'Tidak tahu.'
Ruby memijat pelipisnya. "Tidak tahu, tidak tahu dan tidak tahu. Lalu kau tahu apa saja, hah?"
Merasakan emosi Ruby mulai tidak baik, buku sihir itu dengan cepat mencari informasi dirinya sendiri
'Namaku Momo.'
Senyum lebar tergambar di atas kertas.
"Momo?" Ruby mengangkat alis.
Buku itu bergetar seolah mengangguk dengan antusias.
"Kau mengatakan tidak tahu siapa yang membuatmu, lalu siapa yang memberimu nama?"
Hening.
Ruby mendengus. "Kau tidak tahu lagi."
Gambar air mata yang familiar kembali terlihat.
Ruby tidak peduli. "Lalu dari mana kau tahu namamu Momo?"
Momo menutup buku dan memperlihatkan sampulnya, lalu sebuah tulisan aneh di dalam kristal merah di tengah perlahan terlihat jelas di mata Ruby.
Tulisan yang ada di sana sangat aneh, bukan tulisan dari Kerajaan Timur mau pun kerajaan lain. Namun anehnya, Ruby bisa membacanya dengan baik.
'Momo : Master of Rune and formation'
Rune?
Ruby tahu bahwa Rune adalah tulisan kuno yang di gunakan dalam membuat formasi sihir. Seperti simbol yang mengelilingi bulan kembar pada kutukan bulan kembar.
Perpustakaan istana cukup kaya akan pengetahuan, namun sejarah seperti tulisan kuno bernama Rune biasanya tidak begitu di gemari. Karena itulah Ruby hanya menemukannya di dalam tumpukan buku-buku tua yang hampir di buang sedangkan buku tentang sihir sama sekali tidak ada.
Ruby ingin bertanya lagi, namun menyadari bahwa Momo yang tadinya berwarna merah kini kembali warna awalnya, kristal merahnya menghilang sedang tanaman merambatnya kembali tersebar.
Saat dalam kondisi seperti itu, buku sihir Momo hanyalah buku bergambar biasa. Ruby belum menemukan penyebabnya, namun buku sihir di depannya seperti tertidur ketika dalam bentuk ini dan kali ini durasi Momo untuk bangun sedikit lebih singkat dari sebelumnya.
Ruby tiba-tiba mengingat serangan Momo pada Azure.
"Apakah serangan itu menyebabkannya lebih cepat tertidur?" Ruby menggosok dagunya. "Lalu energi seperti apa yang dia gunakan untuk bangun?"
Ruby menatap talapak tangannya dan mulai berpikir bahwa mungkin saja sesuatu di tubuhnya bisa membangunkan Momo.
Apakah sihir?
Ruby menggelengkan kepala karena tidak bisa menebak apa pun. Jadi untuk membunuh waktu dan menunggu Azure terbangun, Ruby merapikan semua kue dan teh di atas meja lalu mengeluarkan peta kuno yang dia pinjam dari Azure dan membentangkannya di atas meja untuk di amati.
Menjelang dini hari, napas tenang Azure berubah.
Ruby yang tahu bahwa pria itu tak lama lagi bangun, segera menggulung peta di hadapannya dan menempatkannya dengan hati-hati.
"Ruby? Kau duduk di sana sejak tadi?" Azure terbangun dan bangkit dari tempat tidur.
"Hmm.. " jawab Ruby. "Bangun dan cuci muka, aku akan menyuruh pelayan menyediakan makan siang."
Azure mengerut kening. "Kau butuh istirahat."
"Aku tidak lelah." Ruby merenggangkan otot-ototnya yang kaku karena duduk terlalu lama.
"Tapi...
"Aku akan istirahat di malam hari." Ruby memakai penutup matanya dan beranjak untuk keluar dari kamar.
Azure menghela nafas lalu beranjak ke kamar mandi.
Saat dia keluar lagi, Ruby baru saja selesai merapikan tempat tidurnya.
"Ruby, itu kerjaan pelayan. Kau tidak perlu melakukannya." Azure bersandar pada kusen pintu. "Aku membawamu bukan untuk menjadikan pelayan."
"Aku tahu. Aku hanya tidak mempercayai orang dengan mudah. Termasuk pelayan yang ada di kastilmu." Ruby bersandar pada tiang ranjang dan berhadapan dengan Azure.
Meski jarak mereka di pisahkan cukup jauh, keduanya masih bisa mendengar kata-kata yang lain dengan jelas.
"Tunggu sampai aku menyeleksi pengawal baru yang dapat di percaya dan aku akan jauh lebih senggang," kata Ruby lagi.
"Pengawal baru?" Azure mengangkat alis.
Ruby mengangguk. "Aku akan menjelaskan nanti setelah makan siang. Ayo."
Azure tersenyum pasrah dan mengikuti Ruby keluar dari kamar.
Bersambung...