Boo menggaruk kepalanya, menjawab pertanyaan seperti itu sebenarnya bukan keahliannya, namun dia masih harus menjawab karena dia juga tahu bagaimana Ruby berusaha memahami dan belajar caranya berinteraksi dengan manusia lainnya.
Boo menarik nafas. “Manusia memang seperti itu, memiliki kesan pertama yang berbeda tergantung dari karakter dan juga situasi yang mereka hadapi. Contohnya penjaga toko tadi, dia bersikap begitu ramah karena memang memiliki tugas untuk menyambut para pembeli. Tapi beberapa juga bersikap ramah untuk tujuan tertentu.” Boo menghela nafas. “Manusia itu adalah makhluk yang paling sulit di tebak. Dan juga, berhentilah menyebut kami manusia seolah kau bukan bagian dari kami.”
Ruby tidak menyahut dan hanya sibuk mencerna setiap ucapan Boo. Dia mulai berpikir bagaimana dia akan berperilaku saat tiba di kerajaan. Haruskah dia bersikap ramah atau tetap menjadi dirinya sendiri?
“Lalu menurutmu, sikap yang paling baik saat bertemu seseorang pertama kali adalah bersikap ramah?” tanyanya.
Boo berpikir sembari mengelus dagunya. “Aku tidak menyarankanmu untuk berpura-pura ramah, karena beberapa orang akan muak padamu, terlebih saat kita tiba di kerajaan,” jawabnya santai.
Ruby mendengarkan dengan seksama.
“Berlakulah seperti dirimu yang sebenarnya namun tetap sopan. Dan juga, aku menyarankanmu untuk berhenti memanggil nama Pangeran dengan begitu santai.”
“Kenapa?”
“Dia seorang Putra Mahkota, calon Raja yang akan memiliki semua daratan dan perairan di Kerajaan Timur, derajatnya jauh di atas kita. Kita sebagai masyarakat biasa sudah seharusnya mengagungkan keberadaannya.” Boo tersenyum tipis.
Sedangkan Ruby telah menunduk ‘Tapi Azure berkata kami adalah teman,’ gumamnya dalam hati.
Boo yang sedang mencari di antar ratusan buku lainnya mulai menjauh dan berputar hingga kini berdiri berseberangan dengan Ruby dengan rak buku di tengah-tengah mereka.
Saat Boo mendongak, dan tatapannya langsung bertemu dengan kain putih yang menutup mata Ruby. Tiba-tiba saja rasa penasaran yang dia pendam membuncah, sanga gatal ingin bertanya namun tidak berani.
“Tanya apa pun yang ingin kau tanyakan.” Ruby yang memang selalu peka, menyadari bahwa remaja itu terus menatapnya sejak tadi.
“Benarkah, apa kau akan menjawab semua pertanyaanku?”
Ruby mengendikkan bahu. “Tergantung pertanyaan apa yang kau tanyakan,” ujarnya.
Boo berdehem “Bolehkah aku bertanya tentang apa yang terjadi pada matamu?”
Gerakan Ruby terhenti.
“Kau bisa membaca buku, maka kau seharusnya bisa melihat, tapi kenapa kau terus menutup matamu?” Selagi bertanya, Boo tidak melupakan tugasnya dan terus mencari semua buku tentang ilmu pengobatan.
“Kau tidak akan mau tahu alasannya.” Ruby menjawab ambigu dan meletakkan buku kembali ke rak.
Gerakan Boo terhenti. “Huh? Apakah bentuk matamu mengerikan?” Dia melirik Ruby dari balik deretan buku.
Ruby tersenyum tipis. “Tidak saja mengerikan, tapi akibatnya juga sangat mengerikan.”
Boo memiringkan kepala tidak mengerti namun memaksakan diri untuk mengerti agar tidak menyinggung perasaan Ruby. “Oh, kau tidak seharusnya malu dengan kekuranganmu, semua orang memiliki kekurangan mereka sendiri. Lagi pula...” Boo melirik Ruby melalui ekor matanya. ”Bahkan jika matamu cacat atau kurang menarik, dengan penampilan dan bentuk wajahmu, kau tidak akan terlihat terlalu buruk.”
Mendengar itu, Ruby segera tertawa pelan “Aku benar-benar berharap mataku hanya sebuah kecacatan,” bisiknya.
Setelah Boo memilih semua buku tentang pengobatan, tanpa dia sangka, dua tumpukan tinggi telah menggunung di hadapan mereka.
“Apakah kita akan membeli semuanya?” Boo menoleh pada Ruby dan bertanya.
Ruby mengangguk dan menghampiri penjaga toko yang sedari tadi hanya mengawasi mereka dari jauh, merogoh saku pakaiannya dan mengeluarkan berlian kecil yang dia ambil di bawah tanah waktu itu. ”Apakah ini cukup untuk membayar?” tanyanya.
Boo dan Penjaga toko buku menganga hingga rahang mereka hampir terjatuh.
“C-cukup, s-sangat...” Penjaga toko itu mengulurkan tangan dengan gugup.
“Tidak cukup!” Boo menarik Ruby mundur dan melindungi berlian itu dari jangkauan penjaga toko yang matanya telah berubah menjad berlian. ”Sebongkah berlian sebesar ini bahkan bisa membeli semua isi toko ini, bagaimana bisa kau menggunakannya hanya untuk membayar ratusan buku?”
“Huh? tapi aku mendengar bahwa berlian bisa di gunakan sebagai alat pertukaran.”
“Memang bisa, tapi tidak sejumlah besar seperti itu.” Boo memasukkan Berlian itu kembali ke dalam genggaman Ruby lalu mengeluarkan kantong uangnya sendiri dan menyerahkan semuanya pada penjaga toko itu.” Ini seharusnya cukup, dan bahkan lebih.” Dia mengangkat dagu dan membusungkan d**a ketika melihat penjaga toko itu hendak berdebat. “Kami adalah rombongan dari ibukota, jadi jangan membuat masalah dan antar semua buku ini ke penginapan royal dia ujung jalan sana, atas nama Boo.” Setelah berkata seperti itu, Boo menarik Ruby keluar dari sana secepatnya sebelum penjaga toko itu membuat masalah.
“Kau menggunakan semua uangmu?” Setelah berjalan cukup jauh, Ruby akhirnya bertanya.
“Bukan masalah, kau bisa membayarku kembali setelah menukar berlian itu dengan uang.” Boo tersenyum lebar. “Kau sangat berani, mengambil berlian dari tambang yang akan menjadi milik kerajaan. Pangeran Azure juga sangat keren karena mengisinkanmu membawanya. Dengan begini kau tidak perlu takut kehabisan uang.”
“Di tukar?”
“Yah, jika kau ingin membelanjakannya, kau harus menukarnya terlebih dahulu, atau harganya akan sulit di tentukan.” Boo menarik ujung baju Ruby agar mereka tidak terpisah di kerumunan.
“Di mana kita menukarnya?”
“Di toko perhiasan.” Boo menjawab dan berbelok ke sebuah gang dengan kepadatan yang sedikit lebih longgar dari jalan utama.
Mereka berjalan beberapa ratus meter sebelum Boo menghentikan langkahnya di hadapan sebuah toko perhiasan besar dengan desain mewah. “Ayo masuk.”
Sekembalinya mereka dari pasar, Ruby memeluk sebuah tas besar tambahan di tangannya.
“Dari mana kalian?”
Demien tiba-toba muncul di hadapan mereka begitu pintu terbuka dengan wajah yang masam, mengejutkan Boo hingga harus mengelus dadanya beberapa kali.
“Pasar.” Boo menjawab dengan riang.
Sedangkan Ruby tidak merepotkan diri untuk melayani tatapan tajam Demien dan berjalan terus melewati keduanya lalu naik ke lantai dua.
“Apa yang dia bawa?” Demien mengalihkan perhatiannya ke arah Boo
“Uang,” jawab Boo
Demien menyipitkan mata. “Dari mana dia mendapatkannya?”
“Menukar berlian yang di berikan oleh Pangeran Azure di bawah tanah waktu itu.” Boo menatap Demien yang masih sesekali menatap ke arah tangga dan menghela nafas. “Demien, cobalah sedikit memberinya kepercayaan. Jangan selalu melihat sisi buruknya. Dia mungkin pendiam dan terkadang tidak hormat. Tapi itu murni karena di belum tahu bagaimana caranya berinteraksi dengan benar.”
Demien menoleh padanya dan mendengus. “Apa yang kau tahu tentangnya, kalian hanya mengenal selama beberapa hari, kepercayaan seperti apa yang bisa aku berikan padanya?”
“Itu benar, kita masih terlalu asing untuk memberinya kepercayaan penuh, tapi setidaknya aku tahu, dia sedang berusaha keras menyembuhkan Pangeran kita, orang yang hanya dia kenal beberapa hari.” Setelah berkata seperti itu dengan serius, Boo kembali tersenyum cerah dan berlari menyapa seorang prajurit yang sedang duduk berkumpul di sebuah meja.
Bersambung...