Graduation Ceremony

2481 Kata
Semilir angin begitu terasa syahdu memelukku, melingkupiku dengan kasih sayangnya. Pepohonan menjulang di pinggir jalan melambai terayun-ayun pelan. Angin pagi yang terasa sejuk dan damai. Hidup ini memang indah, sangat indah. Meski tak seindah yang kumau, meski tak sesempurna yang kuinginkan. Namun, sungguh, aku sangat menikmati setiap perjalanan hidup ini. Sungguh Allah, aku menikmatinya. Walau mungkin kadang Kau lihat air mataku menetes, tapi bukanlah itu berarti aku sedih. Itu semata karena aku juga manusia. Kupejamkan mataku sejenak, setitik jernih membasah kedua mataku. Namun, segera kuhapus. Aku tak boleh berlarut-larut, bukankah cahaya itu menungguku? Menunggu ada orang yang menyalakannya. Cahaya? Apa makna cahaya bagiku? Biarlah, aku kembali menyadari keberadaanku di dunia. Aku memakai sepatu yang semenjak kuliah belum pernah kuganti sama sekali. Kupakai dengan cinta, lembut dalam membuat simpul ikatannya. Lalu, kutatap matahari yang masih malu metampakkan sinarnya. Sejenak terasa jiwa tenang dalam anganku. Aku berdiri dan membentangkan kedua tanganku, bersejajar ke samping. Bagai manusia bersayap. Kegerakkan kedua tanganku pelan sambil mengatur napas, lembut dan udara paling sejuk, masuk dan mengaliri seluruh pori dan syarafku. Segar. Dan... kedua ujung bibirku refleks tergerak membentuk sebuah senyuman. Pastinya senyuman yang terindah jika kau melihatnya, sungguh. Walau aku tak bisa melihatnya sendiri, tapi aku yakin itulah senyuman yang begitu indah. Karena hatiku teramat bahagia mendendangkannya. Kuambil toga yang masih tergeletak di lantai depan kontrakan, kupegang erat sekali di tangan kiriku. Aku menatapnya lekat, ada tali yang tergerai dari tengah atas toga itu. Hanya satu gesekan ke kanan, maka acara formal wisuda akan selesai. Betapa banyak air mata dan darah yang menetes, hanya untuk memakainya? Hingga mungkin demi mengenakannya, ada yang rela membayar dengan uang berapa pun, tanpa harus susah payah mengikuti kuliah ataupun menyelesaikan tugas akhirnya sendiri. Tapi, biarlah. Bukankah Allah Mahaadil? Dan hatiku tenang kembali. Aku melangkahkan kaki kananku dengan penuh ketulusan dan doa, semoga inilah langkah yang akan menjadi manfaat bagiku maupun orang lain. Aku teringat buku Becoming Young Entrepreneur karya Pietra Sarosa, RFA (Registered Financial Associate) yang mengatakan bahwa semua hal besar, semua hal dahsyat bermula dari yang kecil. Kiatnya mudah: dream big, start small, act now! Berpikir serta bermimpi besar, mempunyai visi yang kuat, visualisasi yang jelas serta reliable untuk dapat diraih. Lalu, memulainya dari yang kecil, dari yang bisa dilakukan dengan segala keterbatasan termasuk keterbatasan finansial. Kemudian aksi nyata sebagai wujud kesungguhan terhadap mimpi besar, terhadap cita-cita yang ingin diraih. Tidak sebatas teori tanpa praktik atau hanya basa-basi dan retorika usang. ”Berangkat sekarang, Kak Arif?” Sebuah suara dari belakangku membuatku menoleh. Dia Andi Budiansah, adik tingkat kuliah. ”Iya, kamu juga ke sana, kan?” ”Iya, tapi nanti, Kak. Masih mau mencuci baju dulu.” ”Oke Bro, aku duluan aja ya?” aku mantap melangkah ke arah gerbang. ”Kak!” Aku menoleh ke arah Andi, ”Ada apa?” ”Selamat ya, Kak. Kak Arif memang hebat! Maka Kak Arif harus selalu bersemangat!” Andi meluruskan tangan kanannya di kening, mirip siswa SD saat upacara bendera. Aku tersenyum padanya dan mengangguk. Aku mulai melangkah melewati gerbang. Antrian jalan menuju kampus terlihat padat. Padat, karena kampusku terletak di antara Sekolah Dasar, SMP, dan SMA. Pagi ini, semua penuntut ilmu tengah berangkat ke sekolahnya masing-masing untuk memulai aktivitas belajarnya.  Dan aku, salah satu yang akan diwisuda pada hari ini. Dan tentu saja, aku melangkah dengan semangat tinggi, mungkin bisa disejajarkan dengan perjuangan semangat 45. Terakhir ini, aku tinggal di kontrakan bersama tiga teman. Kami patungan untuk membayar biaya sewa rumah kecil nan mungil itu. Dua orang penghuni kontrakan itu diwisuda hari ini; Adi Hermanto menekuni FKIP Matematika, dan satunya aku, Arif Maulana yang mengambil Jurusan Manajemen di Fakultas Ekonomi. Dua penghuni lainnya masih duduk di semester enam, yaitu Andi dan Darma Pamungkas. Aku terkenal oleh teman-temanku sebagai orang yang humoris dan banyak bergaul, aku juga bergelut sebagai trainer di organisasi pemberdayaan ekonomi. Lalu-lalang kendaraan di jalan yang kulewati setiap harinya itu bagaikan lebah yang keluar dari sarangnya. Duta-duta ilmu telah tersenyum, menyambut hari yang baru untuk memulai hari ini, memulai hari dengan menambah perbekalan ilmu. Ilmu pun tidaklah melulu harus di dapat di sekolah formal, namun setidaknya, sekolah merupakan salah satu bagian penting dalam proses menuntut ilmu. Jika engkau belum berkesempatan menuntut ilmu di bangku sekolah atau hanya tamat SD-SMA, tidak usah berkecil hati dan bersedih, karena kesedihan tidak akan banyak membantu. Engkau bisa mempelajari banyak hal. Ya, di sebuah sekolah informal yang bernama kehidupan. Setiap hari, di sekolah ini, engkau akan memiliki kesempatan untuk mempelajari banyak hal. Engkau mungkin menyenangi pelajaran itu, atau kadang engkau juga beranggapan bahwa hal tersebut tidak relevan dan bodoh. Ya, sebagaimana menjadi pemenang adalah pilihan. Tentu saja menjadi yang terbaik juga merupakan pilihan. Dan tentu saja menjadi pintar itu juga pilihan. Dan hidup ini adalah pilihan-pilihan seperti ilmu ekonomi yang kupelajari. Ilmu ekonomi adalah ilmu bagaimana memilih, memilih antara keinginan dan kebutuhan manusia. Aku terus melangkah dengan senyum merekah seindah mentari pagi. Motor-motor berseliweran membunyikan klaksonnya karena kemacetan yang luar biasa. Bagaimana tidak? Seluruh keluarga bersama wisudawan yang berjumlah enam ratus lebih datang ke tempat mintakat, belum lagi ditambah mahasiwa yang ingin menyaksikan jalannya acara wisuda. Pastilah padat. Namun, langkahku tak terhalang sedikit pun karena macet. Kakiku saling berkejaran saling menyalip, meliuk di antara celah, melewati celah-celah sempit di antara kendaraan, di pinggir jalan, di atas trotoar, atau di rumput di tepi trotoar. Ah! Nyaman dan asyik bukan? ”Arif!” Sebuah suara lembut memanggilku. Seorang wanita menyembulkan kepalanya dari pintu mobil APV-nya. Ia tersenyum, lesung pipinya terlihat. Jilbabnya yang panjang sempurna dipadu dengan baju wisuda. Dan aku pun tersenyum. ”Eh, kamu, Nur! Mengagetkan aku saja. Ada apa?” kulihat sejenak di dalam mobil itu terlihat banyak orang, pastilah keluarganya. Ramai sekali. Dari balik kaca hitam mobil, terlihat tawa senyum ceria. Sungguhkah kebahagiaan? ”Tidak apa-apa sih. Ingin menyapamu saja, karena bosan menunggu begini lama, macet. Melihatmu jalan sendirian, ya aku tegur. Memangnya tidak boleh?” Aku tersenyum, ”Bodoh!” batinku, aku menggelengkan kepalaku ke kanan, ”Terserah kamu!” dan tetap mempertahankan senyum konyolku. ”Kamu sendirian saja, Rif?” ”Emangnya kenapa? Biasanya superman juga selalu sendiri bukan?” ”Heh! Aku serius tahu!” wajahnya sedikit sewot. ”Dua rius bahkan sepuluh rius!” reaksinya semakin membuatku melebarkan senyumku. ”Dasar Arif! Oya, mana keluargamu? Apakah nanti menyusul waktu acara?” ”Ah! Acara wisuda kan hanya formalitas saja, tidak terlalu penting bagiku.” ”Tapi...,” ”Okelah! Aku duluan ya?” aku meninggalkannya sambil tetap menggelengkan kepalaku. Wanita itu bernama Nurul Fitriyani, dia adalah teman satu jurusan denganku. Biasanya aku selalu mengerjainya, tapi dia juga tak pernah marah. Karena dia tahu karakterku. Aku kembali melangkah ke arah matahari. Menatap surya yang memang selalu indah, berkilauan dari pantulannya. Beberapa pengendara bermotor yang lewat mendahuluiku ada yang mengenakan toga. Wajah-wajah mereka terlihat bahagia. Pintu gerbang kampusku semakin dekat, menyedot jiwaku untuk segera memasukinya, seperti panggilan jiwa yang mendayu-dayu. Inilah saat kehidupan berjalan, dan aku tidak boleh sedikit pun ragu dalam melangkah, karena keraguan sama saja bahwa aku tidak melangkah. Oleh karena itu, aku melangkah dengan penuh keyakinan. Karena hidup adalah pilihan, dan aku memilih untuk menjadi yang terbaik. Aku menyeberang jalan. Jalan sangat padat, hingga tiga orang satpam universitas membantu para penyeberang jalan. Orang-orang terlihat bergerombol, dan di setiap gerombol itu pasti ada seorang yang memakai toga, tentu keluarga-keluarga para wisudawan dan wisudawati. Aku menatap langit, tersenyum indah padanya dan tentu saja aku bersyukur pada Allah. Kembali kuteruskan langkahku menuju para wisudawan dan wisudawati yang tengah berbaris di depan rektorat. Bersiap-siap memasuki tempat acara pengukuhan. Kusapa teman-teman yang beberapa telah berbaris di deretan Fakultas Ekonomi. Sejenak sebelum acara dimulai, kami berfoto-foto ria. Senyum-senyum kami digelar, senyum-senyum kemenangan setelah sekian lama bersusah payah menyelesaikan skripsi. Sebuah keceriaan karena telah terlepas dari penjara bimbingan, serta berhasil melalui ujian skripsi yang mendebarkan, seolah diinterogasi di kantor polisi. Ah! Ada-ada saja. Bagiku, itu hanyalah biasa. Dalam otak manusia, setiap permasalahan dalam kehidupannya akan memiliki penafsiran yang berbeda, tergantung bagaimana kesiapan dan kelapangan d**a orang tersebut. Tergantung bagaimana keyakinan dan opini di otaknya. Bagaimana otak merespon setiap kejadian, maka itulah hasil yang akan terjadi sebagai aktualisasi dari pendapatnya. Karenanya, hidup itu adalah pilihan, disadari atau tidak. Suasana semakin ramai mendekati pukul delapan dan acara sebentar lagi akan dimulai. Nurul datang ke arah kami dan ikut berpotret ria. Baru sekali jepret, dan suara dari mikrofon terdengar menggema: ”Para wisudawan dan wisudawati diharapkan memasuki ruangan!” Seperti gladi kemarin, yang akan masuk pertama kali adalah Fakultas Teknik. Mereka melangkah dengan rapi dihiasi raut wajah yang bahagia. Ada yang melambaikan tangannya, pastilah dia melihat keluarganya. Mungkin saja baru datang. Sebentar lagi giliran Fakultas Ekonomi. Salah satu Dosen di Fakultas Ekonomi memberi aba-aba kepada kami untuk segera melangkah. Beberapa teman-temanku juga melambaikan tangan ke arah keluarga mereka. Senyum mereka merekah, ada kelegaan terpancar dari roman muka mereka. Ada yang masih menengak-nengok, mencari-cari di antara ribuan orang yang akan menyaksikan pengukuhan wisuda itu. Pastilah mereka sedang mencari keluarga mereka, khawatir kalau sampai tidak datang. Dan sedetik atau beberapa detik kemudian, wajah mereka sumringah karena pandangan mata mereka menemukan apa yang dicari. Dan aku tidak sedang atau akan mencari-cari seseorang. Satu-satunya orang yang kuharapkan datang dalam acara ini tak akan mungkin datang. Namun, aku yakin di sisi-Nya sana, dia sedang tersenyum melihatku. Kakek. Janjiku telah kupenuhi, meski aku tak bisa memperlihatkannya padamu sewaktu kau masih di dunia. Tapi lihatlah, Kek! Aku telah memenuhi janjiku, aku telah memenuhi janjiku, bukan? Air mataku tak bisa kutahan, terjun bebas, hangat, mengalir hingga ke pipi, mendekat ke bibir. Tanganku segera sigap dan menghapusnya. Aku Arif! Aku selalu tegar! Aku berjanji kepada Kakek untuk selalu tegar, apa pun yang menghadang. Gelombang, badai, gempa, beliung ataupun topan! Aku Arif yang tegar, iya kan, Kek? Aku menatap langit, mencoba meredakan dan menenangkan hatiku. Aku membuka mataku kembali, langkahku pelan mengalun mengikuti teman-teman di depanku. Alunan lagu mengiringi langkah-langkah para wisudawan dan wisudawati menuju tempat pengukuhan. Mereka semua terlihat bahagia, melangkah penuh kemenangan. Mataku terpaku, menajam ke delapan orang di depan barisanku. Seseorang dengan saksama melihatku penuh keheranan. Berarti, dia melihatku meneteskan airmata? Mataku melihatnya sekilas. Wajahnya teramat heran, seolah berkata kepadaku dalam isyarat itu, ”Kenapa kau menangis? Aku tak pernah melihatmu sekali pun bersedih. Kenapa?” Wanita itu berbalik menghadap ke depan kembali, dan tangannya mengusap air matanya. Dia meneteskan air mata untukku? Di antara senyum yang saling menyatu antara keluarga para wisudawan, aku tak perlu lagi mencari siapa-siapa. Aku mencapai tempat dudukku, tertera nomor dan namaku di kursi itu, persis seperti gladi kemarin. Saat semua wisudawan dan wisudawati sudah menempati posisi duduknya, wajah mereka menunggu-nunggu, menunggu dipanggil perorang untuk dikukuhkan langsung oleh Rektor Universitas. Namun, pikiranku tak bisa lepas dari wajah wanita yang meneteskan air mata itu. Kini, dia duduk tiga baris di depanku, hanya saja semenjak duduk tadi, dia sama sekali tidak pernah menolehkan kepalanya ke belakang. Bukankah orang lain hanyalah cerminan bagi kita? Kita tidak bisa mencintai atau membenci atau perasaan apa pun, atau sesuatu tentang diri orang lain kecuali ia merefleksikan hal yang kita perbuat. Cinta atau benci dalam diri kita sendiri. Intinya, semua sikap orang lain yang diarahkan kepada kita, adalah akibat dari sikap kita kepada orang tersebut. Acara selanjutnya sangat membosankan bagiku, celoteh dan sambutan yang berunut satu-persatu; dari mulai Dekan, Rektor dan akhirnya pejabat Walikota setempat. Punggungku pegal, seolah habis mengangkat barang-barang berat. Aku memang tidak cocok kerja di kantoran yang memosisikan tubuhku untuk selalu duduk. Sungguh, aku tidak akan pernah betah. Makanya hingga kini, aku lebih betah menjadi entrepreneur dan trainer. Ya! Menjadi loper koran tiap pagi mengantarkan ke beberapa pelanggan koran juga termasuk wirausaha, kan? Bedanya wirausaha dengan employee adalah bingkai berpikirnya.  Biasanya employee kurang bisa mengembangkan kemampuannya, karena mereka sudah nyaman dengan posisinya, aman karena perbulan pasti mendapatkan gaji, keras atau tidaknya usahanya hanya berpengaruh sedikit. Beda dengan wirausaha yang harus bekerja keras dan cerdas untuk mendapatkan kelebihan dalam pendapatannya. Ia akan selalu melakukan inovasi dan kreatif dalam setiap kerjanya. Ah! Kenapa aku berpusing ria memikirkan entrepreneur vs employee? Enjoy aja lagi! Dan aku menikmati kembali snack yang diberikan panitia, menyeruput minuman dalam botol. Ah! Apa yang aku lakukan dalam hidupku sendiri terserah padaku bukan? Aku punya semua hal, dan tak kekurangan apa pun. Aku memiliki yang aku butuhkan dalam kehidupan. Semua pilihan terletak padaku. Benar. Tapi benarkah? Ah, bodoh! ”... tiga wisuda terbaik Universitas diharapkan maju ke depan, wisudawan terbaik ketiga Universitas dengan indeks prestasi 3,73, Adi Hermanto FKIP Matematika,” tepuk tangan riuh terdengar membahana. Adi adalah temanku di kontrakan, dia keluar dari barisan duduk Fakultas Keguruan, wajahnya sumringah. Aku ikut bahagia. ”Wisudawati terbaik kedua Universitas dengan indeks prestasi 3,81, Sri Purwaningsih dari Fakultas Hukum,” tepukan tangan kembali menggema. Dua pasang orangtua, keluar dari tempat duduk khusus yang telah disediakan panitia wisuda, mereka adalah orangtua Adi dan Sri. Orangtua mereka akan mewakili menerima sertifikat piagam dan trofi, yang diserahkan Rektor. Rektor turun dari barisan para Senat Universitas. ”Dan wisudawan terbaik pertama Universitas dengan indeks prestasi 3,87, Arif Maulana dari Fakultas Ekonomi.” Tepuk tangan semakin terlihat riuh dan antusias, kukuatkan kakiku menjejak dan berdiri. Aku melangkah pelan, beberapa teman-teman di barisan di depanku menepuk punggungku. Mereka berteriak-teriak kepadaku memberi semangat. Aku tersenyum dan kurasa senyumku terlihat konyol seperti biasanya. Namun,  senyumku hilang ketika aku melewati wanita itu, matanya kembali basah dan dia mengangguk kepadaku, sambil tersenyum. Aku tersenyum padanya dan ikut mengangguk, aku tak mau terlihat sedih lagi! Aku berjalan ke depan, seluruh manusia, ribuan di acara wisuda itu, pastilah melihat setiap langkah yang kuayunkan. Kini, aku menjadi sorotan semua orang. Aku menatap langit, dan tersenyum. Kakek, kupenuhi janjiku padamu. Allah, terima kasih untuk semuanya. Aku berbaris di sebelah kanan dari enam orang di sebelah kiriku. Orangtuaku tidak akan datang, dalam gladi kemarin hanya diberitahu bahwa orangtua harus turut serta maju, dan orangtuaku tak akan mewakiliku menerima trofi. Semua teman-temanku akan tahu kini, bahwa aku tidak memiliki orangtua, karena mereka telah meninggal. Bahkan, aku belum pernah melihat wajah keduanya semenjak aku dilahirkan ke dunia ini. Rektor turun dan menyerahkan piagam serta trofi langsung padaku, dia tersenyum padaku dan menepuk pundak kananku. ”Selamat ya, Arif Maulana. Semoga Allah selalu memberikan kebaikan kepadamu.” ”Terima kasih, Pak!” aku mengucapkannya tulus. Rektor bergeser ke kiri, dan menyerahkan piagam kedua dan ketiga kepada orangtua Sri dan Adi. Dan Rektor kembali ke tempatnya semula. ”Kepada wisudawan terbaik agar dapat memberikan sambutannya kepada para alumni.” Aku melangkah menuju podium. Tiba-tiba kakiku gemetaran, saat aku menyentuh mikrofon di podium, untuk kudekatkan di posisi dekat mulutku, tanganku dingin dan berkeringat. Gemetar. Aku serius kali ini. Kenapa? Aku tak pernah gemetaran kala aku memberikan materi di training-training, aku menatap ke seluruh penjuru di mana manusia melihatku. Aku kehilangan kata-kata, aku bingung. Bibirku kelu dan bergetar hendak bersuara. Jika sudah begini, jika dalam keadaan terjepit, jika aku dalam kebimbangan, jika aku mencari jawaban, jika aku betul-betul mencari jawaban. Maka, aku akan melihat langit, dan itulah yang kulakukan kini.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN