9. Tunggu Aku di Rumah

1250 Kata
"Sangat jarang Pak Denny mentraktir kita. Sebenarnya ada hal baik apa yang terjadi di sini?" Cindy menggeser tubuhnya ke dekat Serra yang berdiri di sebelah Pak Denny lalu bertanya sambil berbisik. Serra hanya mengedikkan bahu tanpa memberitahunya. Cindy langsung membuang muka dengan kesal. "Cih, Kak Serra tidak asik main rahasia-rahasiaan," keluhnya. "Cindy! Jika kamu terus bicara saya akan diam. Apa kamu mau gantikan saya di sini?" Cindy sontak mengangkat wajahnya mendengar suara Pak Denny. "Saya kan tidak tahu apa yang akan Pak Denny sampaikan. Bagaimana mungkin saya akan menggantikan Pak Denny bicara," ucapnya. "Makanya kamu diam. Jangan bicara sendiri," tegur Pak Denny yang membuat Cindy beringsut. "Dibilang dengarkan saja tidak percaya. Sekarang dimarahi Pak Denny kan." Serra tertawa lirih melihat nasib Cindy. Mendengar hal itu Cindy mengerucutkan bibirnya lalu kembali memalingkan wajahnya. Ehem.. Pak Denny berdehem agar semua tenang. Setelah itu dia kembali mengatakan akan mentraktir divisi assurance dan memberi waktu istirahat lebih awal. Hal itu karena keberhasilan mendapatkan tender besar Blue Diamond. Ketika tim divisi assurance mendengar hal ini. Pandangan mereka langsung tertuju pada Serra. Mereka tahu sebelumnya Serra membuat proposal untuk mengikuti tender Blue Diamond. Siapa yang menyangka Starlight benar-benar mendapatkannya. Bukankah ini luar biasa? "Selamat untuk Pak Denny dan Kak Serra!" seru Cindy dengan raut wajah bahagia. Dia bahkan sudah membuat wajah kesalnya yang sekarang diganti dengan senyum kebahagiaan. Setelah Cindy, Lilya dan rekan tim satu divisi ikut memberi selamat. Pak Denny menghentikan ucapan selamat itu dan berharap mereka semua dapat bekerja lebih keras untuk kedepannya. "Aku juga ingin mengucapkan selamat untuk kalian karena ini pencapaian yang luar biasa. Namun aku harap kedepannya kalian bekerja lebih bekerja keras." Sementara yang lain saling memberikan selamat, Serra memandang layar ponselnya dan melihat pesan yang baru saja dikirim oleh Max. (Tunggu aku di rumah) Singkat dan padat. "Aku pikir dia hanya akan melihatnya tanpa membalasnya seperti biasa. Tapi apa maksud kalimatnya?" Serra tersenyum sambil menggoyangkan ponselnya, dia mengamati kalimat itu, dan semakin memperhatikannya semakin merasa ada yang tak beres dengan hal itu. "Apa dia akan pulang malam ini?" Mata Serra membulat sempurna. Dia hampir menjatuhkan ponselnya ke lantai karena terkejut memikirkan hal itu. "Kenapa dia pulang malam ini? Bukankah dia pulang setiap akhir pekan?" batin Serra. Bukan dia tak menyambut kedatangan Max jika pulang setiap malam. Hanya saja dalam setahun ini Max tidak pernah kembali selain akhir pakan. Kemarin adalah pengecualian, kemarin adalah pertama kali Max pulang pada hari biasa, juga untuk pertama kalinya Max menginap di vila. (Ok) Serra membalas pesan Max lalu pergi mengikuti Pak Denny dan rekan satu divisi yang sudah berjalan menuju kantin. "Serra, sini duduk di sampingku!" seru Lilya setelah keluar lift dan berlari menempati meja di kantin. Karena pada saat ini adalah jam kerja, kantin masih sepi dan mereka bebas duduk di manapun. Tapi karena ada Pak Denny yang bergabung mereka memilih meja besar utama yang terdiri dari banyak kursi. Lima belas menit kemudian makanan yang dipesan datang. Seorang kurir membawa tas kresek besar berisik kotak-kotak makanan berjalan cukup kewalahan tapi masih profesional. "Ini dia, akhirnya datang juga. Saya memesan ayam bakar saus pedas dari restoran langganan. Rasanya sangat enak, kalian pasti menyukainya." Pak Denny menjelaskan dengan bangga. Semua orang langsung bersemangat. "Saya dengar harga setiap porsinya mencapai tiga ratus ribu. Pak Denny mengeluarkan banyak uang untuk satu kali makan. Kami jadi merasa sungkan," "Tak sabar ingin mencicipi rasanya, pasti enak." Saat semua orang mulai membagi kotak makanan, Lilya berkata, "Serra, bukankah kamu tidak suka makanan pedas?" "Apa? Serra, kamu tidak suka makanan pedas?" tanya Pak Denny. Serra menggelengkan kepala samar. "Saya sungguh tidak tahu jika kamu tidak menyukai makanan pedas. Jadi bagaimana, apa saya perlu memesan menu lain untuk kamu?" tanya Pak Denny lagi. Serra yang melihat kebingungan di wajah atasannya itu segera menenangkannya. "Tidak perlu memesan lagi, saya akan memakannya." "Tapi Serra, ...." Kalimat Lilya langsung dipotong oleh Serra. "Hanya tidak suka, bukan berarti tidak bisa kan? Aku akan menyisihkan sausnya." Mendengar ini Lilya menghela nafas. Pak Denny yang melihat Serra sudah membuka kotak nasinya pun menjadi lebih tenang. "Sekarang kalian makanlah." Serra menatap menu makanan yang full warna merah. Dia menyisihkan sausnya menggunakan sendok lalu mulai makan seperti yang lain. Semua berjalan baik sampai selesai. Pak Denny kembali ke ruangannya setelah berpesan pada divisi assurance untuk menikmati waktu istirahat dan kembali bekerja setelah jam istirahat berakhir. "Serra, kau baik-baik saja?" tanya Lilya setengah berbisik. Serra yang baru menutup kotak makanan perlahan menengadahkan wajahnya. "Memangnya aku kenapa?" "Entahlah, aku hanya merasa wajahmu terlihat pucat," kata Lilya. Namun Serra hanya menanggapinya dengan santai. "Itu hanya perasaanmu saja. Aku merasa baik dan tidak ada yang salah dengan tubuhku." Setelah mengatakan itu Serra bangkit dari kursinya. Cindy yang melihat sontak bertanya dengan heboh. "Kak Serra, kau sudah pergi? Ayo kita pergi ke mall untuk bersenang-senang. Masih ada empat jam yang dapat kita gunakan." "Ya, ayo Kak Serra ikut dengan kami," seru yang lain. Akan tetapi Serra bukan tipe orang yang suka pergi ke mall. Jadi dia lebih memilih untuk tetap di kantor. "Kalian saja, aku masih harus menyelesaikan proyek dengan perusahaan Golden Weis sebelum menangani proyek baru dengan Blue Diamond." "Ah, Kak Serra selalu sibuk. Terpaksa kita pergi tanpanya. Kak Lilya, kau ikut dengan kami kan?" tanya Cindy. "Aku tahu bekerja itu penting. Tapi memanjakan diri juga penting. Jadi aku ikut dengan kalian." Sembilan gadis lajang itu bersorak cukup keras sebelum pergi. Serra juga sudah kembali ke ruangannya, dia benar-benar harus menyelesaikan proyek yang sudah setengah jalan dan hanya perlu menyerahkannya. Golden Weis sendiri adalah client tetap Starlight. Mulai dari audit laporan tahunan sampai dengan konsultasi keuangan, kedua perusahaan sudah bekerja sama cukup lama bahkan sebelum Serra bergabung. Oleh karena itu, bahkan jika proyek dengan Golden Weis tidak sebesar Blue Diamond, tapi tidak kalah penting jika membandingkan keduanya. Setelah mengoreksinya sedikit dan memastikan sudah sesuai dengan data, Serra hendak menunjukkan pada Pak Denny. Namun dia merasakan kepalanya sedikit pusing saat pertama kali berdiri dari kursinya. Serra memegang kepalanya, melihat dalam pantulan cermin wajahnya yang agak pucat. "Kenapa bisa seperti ini? Padahal aku sudah menyisihkan sausnya." Serra pergi ke toilet untuk membasuh wajahnya. Akan tetapi hal itu sama sekali tidak berhasil menghilangkan rasa pusingnya. "Serra, kamu kenapa?" Pada saat itu kebetulan Pak Denny sedang berjalan di lorong. Melihat Serra yang baru keluar dari toilet sambil berpegangan pada dinding dan terlihat lesu membuatnya penasaran lalu bertanya padanya. Ketika melihat lebih dekat Pak Denny menyadari wajah Serra yang pucat. Dia pun menjadi gelagapan dan panik. "Serra, kamu sakit? Apa ini karena ayam panggang saus pedas sebelumnya?" "Pak Denny, bisakah saya pulang lebih awal? Saya sudah menyelesaikan audit Golden Weis." "Kamu perlu saya antar?" tawar Pak Denny merasa bersalah. Akan tetapi Serra menggelengkan kepala. "Saya masih bisa. Terima kasih atas tawarannya," Setelah itu Serra benar-benar meninggalkan kantor mengendarai mobilnya. Meski sedikit pusing tapi dia bisa pulang dengan selamat. Bi Yuna pada saat itu sedang menyiram tanaman. Melihat mobil Serra memasuki halaman dia segera mematikan kran air dan berjalan ke arahnya. "Nyonya, kamu sudah pulang?" Serra keluar mobil sambil memegangi kepalanya. Bi Yuna yang melihat situasi ini dengan cepat kenapah Serra. Dia sangat terkejut saat merasakan badan Serra hangat. "Nyonya, kamu sakit?" "Bantu aku ke kamar dulu," ucap Serra. Bi Yuna mengantar Serra ke kamar. Setelah itu menyiapkan teh hangat dan suplemen. "Nyonya sakit, apa Bibi perlu memberitahu Tuan?" Namun Sera dengan cepat menolaknya. "Ini hanya pusing biasa. Setelah istirahat pasti lebih baik." Meskipun begitu Bi Yuna masih mengkhawatirkan Serra. Dia berjalan keluar sambil menutup pintu, lalu mengeluarkan ponsel genggamnya. "Apa aku seharusnya tetap memberitahu Tuan?" gumam Bi Yuna, ragu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN