"Setelah melakukan pekerjaan dengan baik bagaimana mungkin hanya dibayar dengan pujian. Kata-kata manis tidak bisa membuat orang kenyang, bukan?" Serra masuk ke dalam mobil dan sengaja memancing Max.
Max menaikkan alisnya dan cepat mengerti maksud ucapan Serra. "Apa yang kamu inginkan? Tas? Sepatu? Atau pakaian mewah?"
Ekspresi Serra langsung berubah dingin ketika mendengar hal ini. Tapi dia tetap mempertahankan senyumnya yang indah dan bicara padanya dengan lembut. "Aku tidak menginginkan hal seperti itu. Lemari di vila sudah penuh dengan barang-barang mewah."
"Jadi apa yang kamu inginkan?"
"Tender. Kamu bisa mempercayakan audit tahunan Blue Diamond pada Starlight,"
Max terdiam. Dia melambaikan tangan meminta Stefan menjalankan mobil lalu memalingkan wajah ke samping. "Blue Diamond memiliki sistem sendiri untuk menentukan perusahaan yang dapat dijadikan mitra. Yang layak mendapatkannya pasti akan mendapatkannya."
Serra menghembuskan nafas pelan. Dia tahu akan jadi seperti ini akhirnya. Max tidak akan menyetujuinya dengan mudah. Tapi dia sudah punya rencana.
"Stefan, bisakah menepi sejenak?"
Stefan mengangkat kepala melihat dari kaca spion. Dia mengangguk dan segera melakukannya.
Tidak cukup di sana, Serra meminta Stefan pergi sejauh dua puluh meter dan dia pun kembali mengikuti ucapannya.
"Apa yang kamu rencanakan?" tanya Max tiba-tiba menjadi tertarik dengan permainan Serra.
Serra diam, kemudian mengeluarkan lip balm sebelum mengoleskannya ke bibirnya.
"Apa kamu sedang berusaha menggodaku?" tanya Max sambil menatap Serra.
Namun bukan menghentikan aksinya, Serra malah mendekatkan wajahnya ke wajah Max. "Menggoda suami sendiri tidak melanggar hukum kan?"
Setelah itu Serra berpindah ke pangkuan Max. Terus mendekat hingga dapat merasakan tubuhnya yang hangat.
Tidak dapat dipungkiri Max merasakan gejolak dalam dirinya. Menghirup aroma feminin yang pekat dan menatap bibir Serra yang begitu menggoda.
Wanita ini, satu tahun yang lalu Serra juga melakukannya. Saat itu Max dalam pengaruh alkohol jadi tidak bisa mengendalikan diri. Namun sekarang dalam situasi yang agak berbeda, Max tidak dalam pengaruh alkohol, tapi tubuhnya tetap tidak dapat menahan pesonanya.
Serra semakin berani, dia meraih kerah kemeja Max dan melepas kancingnya satu persatu. Saat d**a bidangnya tak lagi terhalang oleh apapun, Serra tersipu dan diam beberapa detik. Namun tangannya tak berhenti untuk menjamahnya.
Berputar lalu berhenti sesaat sambil menatap matanya. "Kamu setuju untuk membantu istrimu ini kan?"
Serra bersikap manja. Melihat Max tak bereaksi dia pun ingin melepas pakaian Max. Tapi pada saat itu dia tiba-tiba menahan tangannya, membanting tubuhnya kemudian mengungkungnya di bawah jepitan dua lengannya yang kokoh.
Tidak cukup sampai di sana, Max langsung mendaratkan ciuman yang ganas membuat Serra hampir kehabisan nafas.
"Kamu yang memulainya. Jadi jangan menyesal." Setelah itu Max kembali duduk dalam posisinya. Tangannya masih dengan menggenggam tangan Serra. Dia memanggil Stefan yang merokok di depan memaksanya kembali untuk mengantar pulang ke vila.
"Kita lanjutkan di rumah,"
Bulu kuduk Serra berdiri ketika mendengar kalimat ini. Dia sungguh tidak tahu benar atau salah apa yang ia lakukan ini. Namun ia kembali berpikir, Max adalah suaminya, jadi meminta bantuannya bukan hal ilegal.
Tiga puluh menit perjalanan terasa seperti dua jam. Sangat lama. Dan ketika mobil memasuki halaman Max langsung menggendong Serra masuk ke dalam vila.
Pengurus rumah dan tukang kebun yang melihat kedatangan sang tuan pun segera berdiri berbaris di di depan pintu untuk menyambutnya. Tapi Max pergi ke lantai dua tanpa mempedulikan mereka.
Max masuk dan melempar Serra ke atas ranjang. Menindih tubuhnya dan menjepit dengan tangan kekarnya.
"Kamu belum menjawabnya. Bagaimana dengan tender itu?" Serra berusaha bicara, tapi baru selesai ia mengatakannya Max langsung mengunci mulut Serra dengan bibirnya.
Tidak sampai di sana. Tangan Max yang semula hanya diam mulai menarik pakaian Serra hingga robek.
Max benar-benar tidak melepaskan Serra. Dia baru berhenti setelah dirinya terpuaskan, lalu masuk ke kamar mandi.
...
Keesokan paginya. Serra terbangun dan merasakan tubuhnya seperti dilindas truk. Kepala pusing dan kakinya mati rasa.
Sungguh tidak disangka Max akan begitu tidak berperasaan dalam menyiksanya.
Serra menggeser tubuhnya dengan susah payah lalu mengambil ponselnya. Melihat jam masih pukul 07.30 dia punya waktu setengah jam sebelum berangkat bekerja.
Serra mengambil satu tablet pill kb dari laci lalu menelannya satu butir. Kemudian dia menarik selimut pergi ke kamar mandi.
Sepuluh menit berlalu dan Serra sudah mengenakan blouse hitam setelan kerjanya. Dia turun ke lantai pertama untuk sarapan.
"Nyonya, Tuan menunggu Nyonya untuk sarapan."
Serra yang baru keluar dari ruangan langsung tercengang. Dia menahan Bibi Yuna--kepala pengurus rumah--yang akan kembali turun ke lantai satu dan bertanya kepadanya. "Apa dia menginap di sini?"
Bibi Yuna, wanita setengah baya berusia empat puluh tahun itu tahu siapa yang dimaksud Serra. Tapi bukannya menjawab dia malah kembali bertanya dengan bingung. "Apa Nyonya kemarin dalam keadaan mabuk? Padahal kemarin malam Nyonya pulang digendong Tuan. Setelah itu tidak keluar lagi hingga pagi tadi dan berolahraga di tempat latihan."
Serra kembali tertegun. Jadi mereka tidur satu ranjang. Ini belum pernah terjadi sebelumnya. Biasanya Max akan pergi setelah mereka berhubungan.
Namun kali ini bukan hanya tidak pergi, tapi juga menunggunya sarapan. Apa ada suatu tragedi yang mengubah pandangannya? Ini benar-benar aneh.
"Baiklah Bi Yuna, aku akan ke sana." Serra segera berlari karena tak ingin membuat Max menunggu. Tapi baru beberapa langkah pertama dia mendadak berhenti sambil meringis.
Bibi Yuna yang melihat bereaksi cepat segera menahan tangan Serra. "Nyonya baik-baik saja?"
"Alangkah baiknya Nyonya tidak menggunakan sepatu hak tinggi. Bagaimana jika Bibi ambilkan sepatu yang lain?" tanya Bibi Yuna dengan perhatian.
"Tidak perlu. Aku bisa."
Serra hanya tersenyum kecut sambil menjawabnya. Ini bukan salah sepatu hak tinggi. Tapi salah Max yang keterlaluan tidak bisa menahan diri. Max benar-benar tidak mengampuninya. Sekarang, dia pun kesulitan untuk berjalan.
Membutuhkan kesabaran untuk sampai di ruang makan. Serra duduk di depan Max, memperhatikan bentuk wajahnya yang sempurna.
"Bagaimana dengan tendernya?" tanya Serra sambil mengambil roti di piringnya.
Namun Max bergeming seolah tidak mendengarnya.
Tentu saja Serra tidak menyerah dan terus membahasnya. Bahkan sampai mereka berangkat kerja bersama, Serra tidak melupakan tujuannya.
"Kamu tidak turun?" tanya Max setelah sampai di depan gedung perusahaan.
"Jika tidak, kamu ingin pergi denganku ke Blue Diamond?"
Mata Serra membulat sempurna. Dia cepat-cepat turun setelah memastikan tidak ada orang di sekitar.
Ikut dengannya ke Blue Diamond?
Yang benar saja. Dia tidak mau kehidupannya yang tenang menjadi penuh masalah karena berita atau semacamnya.