13. Tak Pernah Benar-Benar Mengenalmu

1056 Kata
(Belum keluar? Aku sudah di depan) Seketika mata Serra membulat sempurna melihat pesan dari Max. Dia berjalan ke arah kaca lalu melihat mobil Max sudah ada di bawah. "Kenapa dia sudah pulang?" gumam Serra. Padahal dia berencana memasak makan malam untuk menyambutnya. Tapi dia kembali lebih cepat, bahkan sekarang sudah di depan perusahaan. (Aku turun sekarang) Karena sudah waktunya pulang Serra membereskan barang-barangnya kemudian meninggalkan ruangan. Lilya, Cindy dan teman satu divisi lain memperhatikan dengan penasaran. "Ada apa dengan Kak Serra? Tidak biasanya dia pulang tepat waktu." "Mungkin dia ingin menyambut suaminya. Kan suaminya akan pulang," kata Feronika mengingatkan tentang surat sebelumnya. Cindy berdecak. "Padahal aku berniat mengajaknya ke supermarket untuk membeli beberapa barang." "Bagaimana jika denganku? Kebetulan aku juga akan mencari kebutuhan dapur," tawar Feronika. "Benarkah? Oke, ayo kita pergi!" Cindy cukup antusias karena punya teman untuk pergi. Meski melakukannya sendiri bukan halangan baginya, tapi jika ada teman tentu suasananya akan berbeda. Cindy dan Feronika pergi menggunakan mobil Cindy. Saat mobil berhenti di lampu merah, Cindy melihat mobil yang tampak tak asing dalam ingatannya. "Bukankah itu mobil Presdir Max?" seru Cindy sambil menunjuk mobil Bentley berwarna hitam yang berhenti di pinggir jalan. Feronika pun dengan segera memutar wajahnya ke arah yang dimaksud. "Benar-benar. Itu mobil Presdir Max. Tapi kenapa dia berhenti di pinggir jalan. Mungkinkah sedang membeli minuman?" Hal itu karena di dekat mobilnya terlihat gerai minuman yang cukup ramai. Mereka pun berspekulasi demikian. Kemudian pada saat ini tampak seorang wanita yang berjalan masuk ke mobilnya. "Siapa wanita itu? Feronika, cepat ambil foto!" Cindy juga mengeluarkan ponselnya lalu mengambil gambar sebanyak mungkin sebelum Bentley hitam itu melaju pergi. "Kau dapat gambarnya?" tanya Cindy pada Feronika. "Aku dapat, tapi tidak bisa melihat wajahnya. Posisinya terlalu miring dan tidak jelas," keluh gadis itu sambil terus menggeser beberapa jepretannya. Tin! Tin! Suara klakson menyadarkan mereka berdua yang masih melihat foto. Mereka lupa jika sedang berada di jalan raya dan dalam antrean lampu merah. Begitu lampu berubah hijau dan mobil tidak segera melaju, puluhan bahkan ratusan pengendara di belakang membunyikan klakson dengan tidak sabar. "Ck ... Kalian ini mengganggu saja. Tidak tahu kah kita dalam urusan genting?" dengus Cindy. ... Di sisi lain. "Ada apa?" Serra menggelengkan kepala mendengar pertanyaan Max. Kemudian dia menyodorkan lemon tea yang dibelinya di gerai minuman pinggir jalan. "Kamu minta berhenti di sini hanya untuk membeli minuman ini?" Max menaikkan alisnya dan menatap Serra lekat. Serra mengangguk dengan lembut. "Jika kamu haus katakan saja pada Stefan. Dia akan menunjukkan tempat yang lebih bagus daripada gerai pinggir jalan," kata Max lagi. "Memang apa salahnya gerai pinggir jalan? Mereka menjual minuman dan makanan yang layak. Terlebih, harga minuman di tempat mewah sangat mahal. Aku tidak mampu membelinya." Max masih diam. Serra yang melihat sikapnya pun kembali membuka mulutnya. "Anggap saja ini sebagai ucapan terima kasihku atas hadiah sepatu darimu." Serra kembali menyodorkan minuman itu, tapi bukannya mengambilnya Max malah menarik tangan Serra dan mencengkeramnya. Tubuh Serra hampir terjerembab, minuman di tangannya hampir tumpah. Dia menatap mata Max yang juga menatapnya. Tidak mengatakan apapun, hanya diam. "Serra! Apa kamu begitu kekurangan uang? Suamimu adalah Max Ricard, kamu bisa membeli semua yang kamu inginkan." Serra meringis merasakan cengkeraman tangan Max semakin erat. "Aku tahu. Tapi aku hanya ingin membelikanmu sesuatu dari uang hasil kerja ku." Kalimat yang lembut ini berhasil meluluhkan Max yang dingin. Pria itu mengambil gelas minuman itu sebelum melepaskan tangan Serra. "Untuk sepatu itu, kamu tidak perlu terlalu memikirkannya. Aku tanpa sengaja melihatnya di sebuah pameran, karena merasa bagus jadi membelinya." Serra memiringkan kepalanya. "Benarkah?" "Tanyakan saja pada Stefan. Dia yang pertama kali menunjukkannya padaku." Max memalingkan wajahnya sebelum menunjuk Stefan yang ada di kursi kemudi. "Seperti yang Tuan katakan. Sepatu itu saya yang merekomendasikannya." Stefan seperti akan menangis saat mengatakan ini. Meski yang dia ucapkan itu benar jika dia yang merekomendasikannya, tapi bohong jika mengatakan tuannya membelinya tanpa niat. Seharian berkeliling di pameran seni untuk mencari hadiah. Stefan yang merasa kasihan dengan kebingungan yang dialami tuannya membantu dengan menunjukkan model sepatu tersebut. "Tuan, kenapa kamu tidak mengatakannya langsung? Dengan begitu Nona Serra akan merasa terharu," keluh Stefan dalam benaknya. "Stefan!" Suara bernada tinggi ini menyadarkan Stefan. "Apa kau membuat kami tinggal di sini seharian? Cepat jalankan mobilnya!" tegas Max pada sekretarisnya itu. Stefan segera mengangguk. "Maaf Tuan, saya akan menjalankan mobilnya." Baru beberapa kilometer Serra terlihat mengantuk. Saat mobil tiba-tiba mengerem dia hampir terjungkal ke depan. Beruntung Max cukup sigap menahannya lalu menaruh kepala Serra untuk bersandar padanya. "Tidak perlu mengebut, pelan-pelan." Stefan melihat dari kaca spion dan segera paham. Perjalanan yang seharusnya bisa dilalui setengah jam tapi karena berjalan lebih lambat mereka sampai dalam waktu satu jam. Namun Serra masih tertidur. Bahkan semakin lelap dengan bersandar di pundak Max. "Tuan, apa perlu saya memanggil Bi Yuna?" tanya Stefan setelah mobil masuk halaman vila. "Tidak perlu. Bukakan saja pintunya," Max menggendong Serra masuk. Sesampainya di kamar langsung meletakkan tubuhnya dengan hati-hati, kemudian memberinya selimut. "Saya sudah mengatur orang untuk membawa mobil Nona Serra kembali. Mungkin akan sampai beberapa menit lagi," lapor Stefan dari ambang pintu. "Baiklah, kau bisa pulang. Jemput aku pagi jam enam tepat." "Baik Tuan," Setelah itu Stefan menutup pintu ruangan sebelum pergi. Dia berpapasan dengan Bi Yuna di lantai pertama. "Apa Tuan akan menginap?" tanya Bi Yuna. Stefan hanya mengangguk kepala. "Entah kenapa akhir akhir ini sikap Tuan berbeda. Dia juga semakin sering menginap bersama Nyonya." Stefan tidak dapat menyangkal. Sebagai sekretaris dia juga menyadari hal ini. Sikap tuannya sebulan terakhir benar-benar berbeda. Dia semakin sering datang ke vila bahkan menginap di vila. "Bibi selalu berharap hubungan Tuan dan Nyonya terus membaik," kata Bi Yuna lagi sambil memejamkan mata. "Bi Yuna, saya harus pulang karena besok harus datang pagi-pagi. Permisi," Stefan pergi dari sana. Bi Yuna yang sebelumnya hendak datang ke kamar Serra pun mengurungkannya karena keberadaan tuannya di sana. ... Di dalam kamar. Max baru saja keluar dari kamar mandi sambil mengenakan pakaian tidurnya. Dia memandang Serra yang masih pulas dalam tidurnya, kemudian duduk di sofa masih memperhatikannya. "Serra, sebenarnya yang mana kamu sebenarnya?" Tatapan Max menjadi dalam. Meski sudah satu tahun mengenal Serra, tapi Max merasa tak pernah benar-benar mengenalnya. Bukankah dia begitu menyukai uang, tapi mengapa tidak ada satupun barang mewah di kamar ataupun vila. Tentu saja hal ini membuat Max bingung. Apa selama ini Serra hanya berpura-pura menyukai uang? Atau ada hal lain yang dia sembunyikan?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN