Laksa 15

1431 Kata
"Lika, hey? Bangun yuk, makan dulu, kamu belum makan kan dari tadi siang." Laksa berusaha membangunkan Lika dengan mengguncang tubuhnya dengan pelan, dia menatap sosok yang sejak tadi terlelap di dalam pelukannya. Hari sudah semakin sore, dan Lika masih saja terlelap setelah kelelahan menangis dan menyesali diri. Sejak saat itu jika Laksa tidak beranjak sedikit pun dari kursi yang dia duduki, terlebih dengan Lika yang terlelap di dalam pelukannya membuat Laksa merasa tidak tega membangunkan wanita itu. Sekarang, mungkin sudah saatnya untuk Lika bangun, terlebih Fira sudah melewati masa kritisnya, dokter yang menangani Fira tadi sempat memberitahukan dirinya saat Lika terlelap tadi. Fira memang mengalami luka yang cukup serius di bagian pinggang akibat terkoyak benda tajam yang belum diketahui apa itu, hingga membuat dia puluh satu jahitan di berikan untuk menutup luka itu. Lalu, kakinya yang patah akibat benturan mengharuskan Fira untuk memakai gips agar mempercepat kesembuhannya. Selebihnya Fira hanya mengalami luka ringan. Wanita itu sedikit mengalami trauma hingga membuat dirinya tak sadarkan diri cukup lama. Kini Fira sudah dipindahkan di dalam kamar inap yang sudah di pesan oleh Laksa. Jangan tanya bagaimana Laksa bisa mengurus semua keperluan Fira, tentu saja semua diurus oleh orang kepercayaannya, karena sejak tadi Laksa tidak bisa bergerak, terlebih saat Lika terlihat begitu nyaman terlelap di dalam pelukannya, melupakan beban yang dia rasakan walau hanya sebentar. Tidak peduli bagaimana kebas, seolah mati rasa di bagian d**a dan p****t yang laksa rasakan, dia tetap bertahan dengan posisinya. Semua hanya untuk membuat Lika merasa nyaman. Laksa bersyukur, setidaknya Fira tidak mengalami luka yang cukup fatal, hingga Laksa tidak perlu lagi mencemaskan bagaimana perasaan Lika saat mengetahui kabar tersebut. Seutas senyum terbit di bibir Laksa saat melihat Lika menggeliat dengan tampang polosnya, dia baru saja bangun dari tidurnya, dan kini wanita di hadapannya itu terlihat terkejut, menjauhkan tubuhnya dari Laksa dan melarikan tatapannya pada Laksa. "Kak...." Suara parau dengan raut penuh tanya itu membuat Laksa tersenyum tipis. Tangannya bergerak keatas, mengelus puncak kepala Lika dengan lembut. "Bangun dulu, makan yuk. Kamu udah dari siang loh belum makan." Laksa meraih plastik berisi bubur ayam dari tokoh langganan yang beberapa hari ini menjadi favorit Lika, lalu seterofoam berisi bubur ayam yang sengaja dia pesan tadi, kini sudah ada di tangannya. Dengan telaten Laksa membuka kotak berisi bubur di tangannya, lalu menuangkan kuah dan beberapa bumbu lainnya. Kasa mengaduk pelan. Setelahnya dia memberikan seterofoam itu untuk Lika. "Fira...." Lika termenung di tempat, tidak peduli dengan laksa yang sudah sibuk melakukan sesuatu untuk dirinya, di kepalanya hanya ada Fira dan Fira, dia masih takut jika terjadi sesuatu hal pada sahabatnya itu. Laksa tersenyum kecil lalu mengulurkan satu botol air mineral pada Lika, "minum dulu, terus makan." Lika hanya menurut, meneguk air mineral dalam diam sembari memperhatikan Laksa yang terlihat sibuk dengan kegiatannya, laksa menarik bubur di tangannya sebelum menjawab pertanyaan Lika. "Fira udah di pindahkan ke ruang inap. Nanti kita kesana, sekarang kamu makan dulu," ucap Laksa dengan lembut dan terkesan sabar. Laksa mengulurkan satu sendok bubur kearah Lika, membuat wanita itu terpaku sejenak sebelum menurut dan melahap bubur yang disiapkan Laksa. Dia khawatir dengan Fira, tapi perutnya tidak bisa diajak berkompromi untuk itu. Jangan hujat Lika, dia hanya berusaha memberi nutrisi untuk anaknya, jika Lika sampai membuat bayi di dalam kandungannya kenapa-kenapa, Fira akan marah nantinya. Terlebih, bukankah Laksa sudah mengatakan jika Fira sudah dipindahkan di ruang inap, itu berarti Fira sudah lebih baik sekarang. Satu suap berubah menjadi beberapa suap, Laksa dengan telaten dan penuh kesabaran terus menyuapi Lika, hingga perutnya merasa mual seketika, Lika merasa kenyang, Lika menolak saat Laksa berusaha menyuapinya lagi. "Kenyang," ucap Lika dengan nada sendu dan memilih untuk menundukkan wajahnya. Laksa memaklumi itu, dia menyisihkan kotak seterofoam, lalu meraih satu kotak kecil jus apel dan mengulurkan pada Lika, yang langsung di terima oleh Lika. Laksa beranjak, membereskan semua sampah bekas bubur tadi dan membuangnya pada kotak sampah yang tersedia. Semua yang dilakukan Laksa tidak lepas dari perhatian Lika. Pria itu menunjukan sesuatu yang tidak pernah Lika dapatkan selama ini. Sekeras apapun Lika menolak kehadiran Laksa, nyatanya pria itu malah semakin gencar mendekatinya. Lika tidak tahu apa yang dia rasakan sekarang, Laksa seolah cahaya redup yang memberi setitik terang di dalam kegelapan yang tengah dia rasakan, kehangatan yang samar-samar menyelimuti Lika. Entah apa yang membuat pria itu begitu peduli kepadanya, bahkan saat dia berada di saat posisi seperti ini pun, Laksa seolah selalu ada untuk dirinya. Lika tidak meminta untuk itu, tapi Laksa yang memberikannya sendiri. Dan sekarang Lika tidak tahu harus seperti apa menanggapi rasa aneh yang perlahan menyusup masuk tanpa Lika sadari. Hatinya menghangat, ada debar kecil yang berhasil menghidupkan sesuatu yang sudah lama mati. Semua hanya karena Laksa. Lika memejamkan matanya, mencoba meresapi sesuatu yang baru di sana, dia sudah begitu lama merasa kosong, kesendirian dan penolakan dari orang yang begitu berarti untuknya mengurung dirinya dalam sebuah kehampaan, hingga kini Laksa merubah sesuatu hal itu, debar aneh kian dia rasakan tiap kali Laksa ada di sisinya. Bahkan pria itu seolah memberikan sesuatu yang nyaman untuk dia singgahi, mengijinkan Lika untuk menikmati sebuah ketenangan walau hanya sebentar. Lika akui, entah apa yang bisa membuat Laksa terasa begitu nyaman dan tenang untuk dirinya, berada di dalam dekapan pria itu berhasil membuat sesuatu yang bergejolak di dalam hatinya perlahan memudar, Laksa membuatnya merasa terlindungi hingga bahkan dia sampai terlelap begitu damai di dalam dekapan pria itu. "Udah yuk!" Lika terkesiap, dia mendongak, menemukan sepasang tatapannya pada Laksa yang juga menunduk menatapnya dengan senyum tipis tapi terkesan begitu mempesona. "Ke ruangan Fira." Ah iya, Lika bahkan sampai melupakan sahabatnya itu, hanya karena memikirkan Laksa, dasar Lika. Dia beranjak lalu melangkah lebih dulu dan meninggalkan Laksa, seolah Lika sudah tahu di mana keberadaan kamar Fira. Hingga sampai di pertigaan koridor rumah sakit, langkahnya melambat dan Lika berdiri terdiam di tengah-tengah koridor. Dia meratapi kebodohannya yang sok t**i dimana keberadaan kamar Fira. Sesuatu yang berhasil membuat Laksa terkekeh pelan, dia beranjak mendekat, lalu menepuk pelan puncak kepala Lika dan berlalu kearah kiri. Lika dengan segera mengikuti Laksa, dengan wajah menunduk dia merutuki diri karena sok tahu dan itu membuat dirinya begitu malu. Lika hampir saja terpekik jika dia lupa di mana dia berada, tepat saat kepalanya tertantuk punggung keras milik Laksa saat pria itu secara tiba-tiba berhenti mendadak. "Kak!" Geram Lika seketika membuat Laksa menoleh sembari terkekeh. Semua kelakuan Lika selalu saja menggelitik hatinya. Lika dengan segala kecerobohan yang terkadang membuat dia seolah memiliki sisi lain di dalam sosok yang terlihat begitu tegar dan kuat. "Kita udah sampe." Lika menoleh pada pintu tepat di hadapan Laksa. Matanya mengernyit saat mendapati ruangan yang ada di hadapannya kini. VVIP? Sejak kapan Fira mendapat sesuatu yang sepesial seperti itu, bahkan selama ini saat sahabatnya itu sakit dia seolah enggan untuk berobat, tapi kini? Apakah pihak yang menabrak Fira yang memberi fasilitas ini? Tapi bukankan pelaku penabrakan itu kabur? Lalu siapa. Lika menoleh dan menatap tajam Laksa yang sejak tadi berdiri di hadapannya. Satu pelaku yang patut di curigai oleh Lika adalah Laksa. "Ini ruangan Fira?" Tanya Lika mencoba memastikan, jika benar ini ruangan Fira maka habis sudah tabungan wanita itu yang sudah susah payah dia kumpulkan hanya untuk sebuah kamar yang harganya saja entah berapa, yang pasti mahal, itu yang Lika tahu. Laksa mengangguk, lalu membuka pintu itu dengan pelan dan mempersilahkan Lika untuk masuk. Dengan langkah ragu, Lika beranjak, menutup tiap ubin dengan nata mulai berkaca lagi. Hingga tatapannya menemukan Fira sahabatnya tengah terbaring lemah tak berdaya di atas tempat tidur, dengan kaki di gips, perban yang memilih bagian tangan, dan entah di bagian mana lagi luka uang di dapatkan sahabatnya itu. Lika duduk lemah di atas kursi tepat di sebelah sisi kanan Fira, dia ingin menyentuh dan menggenggam erat telapak tangan sahabatnya, hanya saja melihat perban yang melilit di sana Lika urung dan memilih untuk mencengkram seprai berwarna putih bersih. Tatapannya tertuju pada wajah Fira, terdapat beberapa luka lecet dan ada satu luka yang tertutup kapas putih di sana. Lika berpikir luka itu akan membekas nantinya. Ada rasa sesal yang menyusup masuk kedalam d**a Lika. Hatinya terasa di remas, begitu ngilu apa yang dia rasakan sekarang. Perlahan air mata itu luruh membasahi wajah putihnya. Laksa hanya diam untuk kesekian kalinya, dia ingin merengkuh wanita di hadapannya, membawa tubuh lemah itu kedalam pelukannya, lagi. Hanya saja Laksa menahan untuk itu. Membiarkan Lika larut dalam dunianya tanpa gangguan dari dirinya. Jika Lika sudah merasa tidak sanggup maka Laksa akan dengan tulus menyambutnya. Membawa dalam dekapan hangat yang dia harap mampu memberi ketenangan untuk Lika. Hanya itu yang mampu Laksa berikan, perlindungan, ketenangan, dan kenyamanan, Laksa berharap banyak untuk itu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN