PART 7

1152 Kata
 Pembicaraan dengan Orlando melalui ponsel tidak menghasilkan apapun selain kegalauan yang semakin merajai perasaan Callia. Makan malam sedikit terasa hambar karena untuk alasan lelah, ibunya berpamitan untuk makan di kamarnya membuat Callia semakin dilanda kecemasan. Callia melirik keberadaan ayahnya. Pria itu tersenyum padanya. Masih sama seperti hari-hari lalu. Pria dengan sejuta pesona itu memberinya senyum terbaik yang mampu membuat hati Callia bagai tersiram air dingin yang menyejukkan. Makan dalam diam. Bahkan Calista terlihat lebih tenang di samping Dale. Sepertinya perang dunia di antara mereka tengah memasuki fase gencatan senjata. Callia melirik Ayahnya. Dan ayahnya itu...entah mengapa tersenyum lagi dan menaikkan sebelah alisnya. Penuh teka teki. "Cal..." Callia mendongak. Ayahnya baru saja menyelesaikan makan malam dan memanggil namanya. Callia meletakkan sendok dan mendorong piringnya perlahan. Perasaannya campur aduk. Dia menoleh ke arah Calista dan Dale yang ikut mendongak. "Nenek menelponmu dan ponselmu sibuk sangat lama." "Oh...itu...aku sedang menelpon teman." Callia merasa dia harus berbohong. Tidak mungkin dia bilang dia menelpon Orlando dan menghabiskan waktu hampir empat puluh menit untuk berdebat. "Nenekmu ingin bicara. Bisa kau luangkan waktu untuk ke sana?" "Tentu saja." Callia mengangguk berulang kali. Canggung. Tangannya bahkan meremas serbet yang ada di pangkuannya. "Aku akan ke sana sekarang. Aku...akan menyetir sendiri." "Dad...kapan giliranku membawa mobil sendiri? Callia bahkan sudah mendapat izin mu." Terdengar tawa Ethan Jefferson. Ke irian khas saudara kembar. Sepertinya Ethan sudah bersiap dengan segalanya. Termasuk menghadapi rajukan Calista kali ini. "Segera Calista. Setelah Dad lupa bahwa kau menabrak gerobak bunga..." Calista mengangkat tangan. "Baiklah." "Aku sudah selesai. Boleh aku pergi sekarang?" "Tentu saja. Silahkan." Callia beranjak dan mengedipkan matanya ke arah Calista. Semua orang sepertinya akan sangat sulit melupakan kejadian itu. Saat Calista justru menabrak gerobak penuh bunga di jalanan saat dia nekat membawa mobil sendiri. Dan Callia tertawa saat mulut Calista mengerucut kesal. Ooh...sungguh gadis kecil yang ingin menikah... Dan... Callia menghela napasnya perlahan. Dia melajukan mobil dengan kecepatan sedang sambil terus berpikir. Dipanggil ke kediaman Jefferson bukanlah hal main-main. Neneknya jarang melakukan hal itu. Terakhir kali anggota keluarga dipanggil adalah Calista dan Dale tentang rencana pernikahan mereka. Sesuatu yang penting. Dan kali ini? Kenapa Neneknya memanggil? Apakah intuisi neneknya yang sangat kuat membawanya mengetahui sesuatu? Dan sesuatu itu adalah tentang dirinya dan Orlando? Dua puluh menit. Callia mematikan mobil dan turun perlahan. Dia menoleh ke seorang penjaga yang baru saja membuka pagar rumah. Dan Callia tersenyum kecil. Entahlah. Tapi Callia bahkan tidak ingin terburu-buru masuk. Kengerian yang seharusnya tidak ada, masuk ke relung hatinya. Dia berpikir yang tidak-tidak. Dan dia tak kuasa mencegah pikiran buruk menghantui kepalanya. Callia menapak lantai dingin teras rumah rumah kakek dan neneknya. Lalu perlahan mendorong pintu. Kucing berbulu hitam yang menurut Callia tak bertumbuh menjadi lebih besar dari saat terakhir dia melihat binatang itu, menyambutnya dengan mengeong kecil dan menggesekkan tubuhnya ke kaki Callia. "Hai, Brandon. Apa kabarmu?" Callia mengangkat kucing itu dan menggendongnya melintasi ruang tamu. Nenek dan kakeknya pasti sedang berada di ruang makan. Callia mengelus bulu halus Brandon. Kucing yang seharusnya dia bawa ke kediaman orang tuanya tapi urung mengingat kesehatan Calista yang tidak memungkinkan ada binatang berbulu di dalam rumah. "Hai..." Callia melongok ke dalam ruang makan dan mengucap salam. Dan entah mengapa suaranya menjadi tercekat. Dua orang yang disayanginya menoleh. Dave Jefferson jelas segera tertawa menyambutnya. Tapi tidak dengan Betty Jefferson. Neneknya itu memberinya tatapan aneh. "Apa kabar sayang. Kau menginap bukan?" Callia memeluk kakeknya erat. Matanya menelisik neneknya yang membenahi gelas di atas meja makan. "Tentu saja aku menginap." "Kau sudah makan?" Callia mengangguk. "Baiklah. Ayo kita main catur." Sekali lagi Callia mengangguk dan mengikuti kakeknya yang menggandeng tangannya menuju ruang bermain catur dan kartu. Callia menoleh dan melihat neneknya yang berdiri dan menatapnya dengan tatapan aneh. Dan malam kian larut saat Callia beranjak ke kamar. Kamar bibinya. Dulu sekali sebelum dia menikah dan memiliki rumahnya sendiri. Kaki Callia menapak karpet bulu berwarna putih. Brandon terus saja mengikutinya. Kucing hitam legam itu segera saja menemukan tempat yang nyaman untuk dirinya bergelung. Di kursi single dekat pintu yang menuju balkon. "Bibimu sudah seperti ibumu sendiri bukan? Dia menyayangimu seperti dia menyayangi anak-anaknya sendiri." Bahu Callia luruh. Dia mendapati nenek nya sudah duduk di tepi ranjang sambil membenahi selimut. Callia bergeming. Rasanya...punggungnya terasa panas oleh rasa bersalah. Dan dia yang kini tengah berdiri di pintu menuju balkon kamar itu, tidak mempunyai nyali untuk berbalik dan menghadap ke arah neneknya. "Aku sudah terlalu tua untuk menggunakan intuisiku, Dear. Tapi aku belum terlalu tua untuk tahu bahwa ada yang salah denganmu." Callia mengambil napas panjang dan menghembuskannya perlahan. "Kau ingin bicara sendiri dan kita akan membahasnya panjang lebar atau kau ingin mengakhiri semuanya sendiri dan kita sudahi pembicaraan ini, sayang?" Suara neneknya sangat lembut. Tapi nada penuh penekanan jelas terdengar dari suara yang nyaris seperti patah hati. Tentu saja seperti itu. Dia...cucunya, membuat ulah yang bisa disebut aib bagi keluarga besar mereka! Callia merutuki kebodohannya. Tak perlu menunggu lambat laun untuk seorang Betty Jefferson mengetahui hal itu. Airmata Callia menetes. Dia berbalik. Menemukan neneknya yang membatu menatapnya. "Kami...aku dan Orlando...kami tidak bisa menemukan sebuah kesepakatan, Grandma...maafkan aku." Helaan napas terdengar dari neneknya. "Tidak akan ada kesepakatan yang bisa diambil kalau itu mengenai cinta, Callia. Kalian hanya akan berpikir tentang sebuah kebersamaan dan menolak sebuah kemungkinan yang bernama perpisahan. Cinta seperti itu, Callia. Tapi...semua ini tidak benar. Kalian harus memikirkan banyak perasaan." Callia menggeleng. Dia tidak akan sanggup meneruskan pembicaraan itu. "Bibimu terlalu sibuk dan dia belum tahu. Tapi...dia akan tahu segera tanpa aku harus memberitahunya. Kau mau itu terjadi?" "Aku harus bagaimana, Grandma?" "Pergi menjauh." Dan lagi. Callia merasakan lagi rasa itu. Sebuah penolakan atas dirinya. Seperti dulu. Walau pada kenyataannya dia tahu keluarganya menyayanginya sebesar mereka menyayangi Calista...rasa itu tetap ada. Rasa terpinggirkan. Rasa itu menjadi bagian yang selalu didengungkan oleh para iblis ke telinganya ketika suatu hari Callia merasa bahwa hidupnya penuh ketidakadilan. "Aku akan melakukannya Grandma." "Oh, Callia sayang. Kau selalu tahu aku mencintaimu sangat dalam, darling..." Benarkah seperti itu? Kalimat itu berdengung di telinga Callia. "Aku akan melakukannya..." Callia kembali berbisik lemah dalam pelukan neneknya. Dia tentu saja akan melakukan apapun itu keinginan keluarganya. Sama seperti dulu. Dia yang akan selalu menjadi sang penurut dalam keluarganya. "Setelah pernikahan Calista dan Dale." "Tidak bisakah aku tidak bertemu dia,  Grandma?" Pernikahan Calista tentu saja akan menghadirkan Orlando di dalamnya. Lalu, bagaimana dia harubersikap?  "Tidak akan terjadi apa-apa. Aku akan mengurus semuanya." Callia bergumam tak jelas ketika neneknya mengusap rambutnya perlahan. Dia seperti merasakan patah hati yang menyakitkan. Patah hati untuk sebuah kebenaran yang seharusnya berjalan semestinya. Dia dan Orlando bersaudara. Satu ikatan darah keluarga Jefferson--Leandro yang seharusnya memang seperti itu. Tidak membuat aib pada sebuah kebesaran yang selama ini selalu gemilang. Bayangan Orlando datang dan pergi. Muncul lalu tersapu airmata yang mengembang di pelupuk mata Callia. Tekad saja tidak akan pernah bisa mengakhiri semuanya. Callia tahu betapa keras hati seorang Orlando selama ini. Maut! Mungkin sang maut mampu mengambil alih semuanya? Terputus yang sebenarnya putus. Lalu mereka akan berbatas garis tipis dunia nyata dan keabadian. Dimana Orlando tidak akan pernah sanggup melihatnya lagi dan hanya dia yang akan melihat. Melihat Orlando mengalami sebuah siklus patah hati. Lalu siklus melupa akan dirinya. Lalu dia akan menemukan hati yang lain dan Callia melihatnya bahagia. "Jangan pernah berpikir untuk melukai atau membunuh dirimu, Callia. Kau terlalu pintar kalau harus melakukan hal konyol seperti itu." Bahkan neneknya selalu tahu apa isi kepalanya... --------------      
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN