Nothing's Fine | 1
“Dave!!” Teriakan nyaring itu terdengar di kantin mahasiswa yang cukup ramai, gadis yang mempunyai wajah semanis gulali itu melambaikan tangannya pada pria yang tengah menikmati makan siangnya di pojok kantin.
Pria itu melihat ke arah gadis yang sukses membuat dirinya dan gadis itu sekali lagi menjadi pusat perhatian, membuat sang pria menghembuskan napasnya panjang dan menatap jengah pada gadis yang kini menghampirinya dengan senyum lebar.
“Dave, bagaimana jika nanti kau menemaniku ke toko buku? Aku membutuhkan referensi untuk skripsiku,” gadis itu sudah duduk di depan pria yang selama setahun ini telah menjadi kekasihnya, salah satu pria yang masuk dalam jajaran most wanted di kampusnya. Pria yang kini berada dua tingkat di atasnya. Saat ini Dave sedang mengambil Magister Bisnis di kampusnya, sama seperti kakak perempuannya. Sedangkan dirinya berada di tingkat akhir Strata untuk studi arsitektur.
“Tidak bisa Lynn, aku harus menunggu Prof. Bruce untuk bimbingan thesis-ku, bagaimana jika nanti malam? Aku akan menjemputmu,” Dave mencoba tersenyum, memberikan pengertian pada kekasihnya.
“Hemm, baiklah, nanti malam aku akan menunggumu ya,”
“Ya, sekarang pesanlah sesuatu untuk makan siangmu,”
“Lynn,” panggilan itu membuat Dave dan Lynn menoleh ke sumber suara, dan seketika senyum manis terpatri di wajah pria itu, menatap gadis yang kini berjalan mendekatinya.
“Kate.” Lynn berteriak riang, menghampiri sang kakak dan memeluk lengannya manja, “Kau akan makan siang juga?” Lynn mengajak Kathrine atau yang biasa dipanggil Kate, untuk bergabung bersama dirinya dan Dave.
Kate tersenyum dan mengusap puncak kepala adiknya dengan lembut, membuat semua pria yang ada di kantin terpesona oleh senyuman Kate, gadis yang dinobatkan sebagai dewi aprodhite kampus mereka, dengan wajah yang nyaris sempurna tanpa cacat, Kate selalu berhasil membuat pria bertekuk lutut hanya karena melihat wajahnya, beberapa wanita yang iri bahkan menganggap jika wajah Kate adalah kutukan, kutukan kecantikan yang suatu saat akan melukai dirinya. Namun dengan wajah yang secantik itu, Kate hingga saat ini belum pernah menjalin hubungan dengan pria mana pun, gadis itu terlalu misterius, dingin dan tertutup untuk semua hal pribadinya, dan hal itu justru semakin membuat pria-pria penasaran akan dirinya.
“Hallo Dave, bolehkah aku bergabung dengan kalian?” Tanya Kate membuat Dave mengangguk cepat mengiyakan pertanyaan gadis itu.
“Kau ingin memesan apa? Aku akan memesankannya untukmu,” Lynn lagi-lagi tersenyum manis.
“Sandwich saja Lynn, terima kasih ya,” Lynn mengangguk dan langsung menuju counter di kantin, gadis itu tersenyum pada siapa pun yang dijumpainya.
Berbeda dengan Kate yang selalu dingin pada orang, Lynn memiliki sifat yang membuat semua orang jatuh cinta, kepedulian gadis itu pada sesama, senyum gadis itu untuk semua orang dan sikap ramahnya pada siapa pun membuat Lynn disukai oleh semua orang, wajah Lynn yang sangat manis sekaligus cantik walau tidak secantik Kate juga menambah nilai plus gadis itu, ia juga selalu menunjukkan ekspresi bahagianya, dia gadis yang ekspresif, berbeda dengan Kate yang terlalu kaku, namun Kate dengan pesonanya tetap saja mampu membuat kaum adam tersihir oleh kecantikannya.
“Here. makan siang untuk kita siap.” Lynn kembali dengan dua potong sandwich, ia duduk di sisi Dave, sedangkan Kate duduk di depan keduanya.
Lynn dan Kate menikmati makanan mereka dalam diam, dan kedua wanita itu tidak mengetahui jika pria yang ada di antara mereka tengah menatap salah satunya dengan tatapan memuja.
Dave menatap Kate dengan penuh kekaguman, sungguh Kate selalu terlihat sempurna di matanya, kakak dari Lynn itu selalu sukses menyihir para kaum adam termasuk dirinya, sudah cukup lama Dave mengagumi Kate dalam diamnya, gadis yang bisa dibilang nyaris sempurna di segala bidang itu.
“Apa kau tidak lapar hanya makan sepotong sandwich, Kate?” Pertanyaan Dave membuat Kate yang sedang menikmati makanannya seketika mendongak dan tersenyum tipis pada Dave, pria yang ia ketahui sebagai kekasih adiknya itu.
“Aku hanya menginginkannya hari ini, bukan masalah besar.” Dave hanya mengangguk, sangat sulit rasanya membangun obrolan yang panjang dengan Kate, pertanyaannya selalu gagal untuk membuat gadis itu balik mengajukan pertanyaan, sama seperti saat dirinya datang ke rumah Lynn dan bertemu Kate di sana, yang terjadi hanya obrolan ringan yang terkesan datar, sebelum akhirnya Kate lebih memilih untuk kembali ke kamar dari pada tertahan lebih lama bersama Dave.
’Apa aku tidak semenarik itu hingga sulit untuk menggapaimu?’ Dave menggumam dalam hati, menatap intens Kate yang tetap saja terlihat cantik saat melakukan apapun.
“Dave, kau bilang kau ada bimbingan dengan Prof. Bruce, apa itu artinya kau tidak bisa mengantarku pulang?” Tanya Lynn dengan mulut yang masih penuh makanan, membuat Dave menggeleng-gelengkan kepalanya dan mencubit hidung gadis itu.
“Habiskan dulu makananmu baru berbicara,”
Lynn hanya tersenyum tanpa dosa, mengunyah beberapa kali makanan itu sebelum menelannya, gadis itu mengambil lemon tea dan menenggaknya hingga tersisa setengah.
“Jadi kau tidak bisa mengantarku? Yahh,” Lynn masih melanjutkan pertanyaannya yang diakhiri dengan nada lesu di akhir saat tahu jika ia tidak bisa pulang bersama Dave hari ini, memang semenjak menjadi kekasih Dave, pria itu jarang sekali absen untuk menjemput dan mengantar Lynn, namun akhir-akhir ini karena thesis pria itu, Dave menjadi lebih sibuk.
“Kau bisa pulang bersamaku Lynn,” Kate menengahi melihat ekspresi Lynn yang kecewa, adiknya itu memang selalu berlebihan dalam menanggapi sesuatu, “Kau sudah dewasa, jadi berhenti bertingkah kekanakan karena hal kecil, kau masih bisa mengatasi masalah itu.” Kate berujar tegas membuat Lynn mengerutkan bibirnya kesal, kakaknya memang orang yang keras dan kaku, dan Lynn tau kakaknya tidak menyukai sifatnya yang kadang terlalu kekanakan, Kate juga pernah mengatakan padanya untuk berhenti terlalu peduli dengan orang lain dan bersikap terlalu ramah.
Kate merupakan tipe penganut idealis yang harus mengutamakan keselamatan diri sendiri sebelum menyelamatkan orang lain, berbeda dengan Lynn yang terlalu peduli dengan orang lain dan lebih sering mengabaikan dirinya, seperti dirinya yang membantu masalah temannya hingga ia melupakan waktu makan, dan Kate membenci itu, baginya Lynn terlalu bodoh karena menjadi orang yang terlalu baik.
Dalam diamnya Dave mengamati bagaimana Kate yang berbicara pada Lynn dan menyuruh kekasihnya itu berhenti bertingkah kekanakan, Kate benar-benar wanita idaman, ia mandiri, tegas dan dewasa.
~***~
Butir-butir salju yang turun saat petang menuju gelap itu membuat seorang gadis yang tengah berdiri di halte kampusnya semakin merapatkan sweater cokelat miliknya, tubuhnya sudah menggigil karena udara sangat dingin, berkali-kali netranya menatap layar ponselnya, masih tidak ada jawaban dari orang yang diharapkan datang menjemputnya, membuat gadis itu sekali lagi mendesah.
Lynn menyugar rambutnya, kembali menatap ke jalanan yang terlihat semakin sepi, salju yang turun membuat siapa pun pasti enggan untuk keluar rumah, dirinya saja yang terlalu bodoh, menolak ajakan temannya dan lebih memilih menunggu Dave yang berjanji akan menjemputnya.
Tadi setelah makan siang dirinya sudah berniat untuk ikut pulang bersama Kate. Namun, Jenie, teman dekatnya mengingatkan jika dirinya harus mengerjakan tugas rancang bangun yang merupakan proyek dosennya, dia dan dua rekannya dipilih oleh dosen itu untuk membantu mengerjakan proyek tersebut, dan hal itu membuat Lynn mau tidak mau harus bertahan di kampus hingga malam hari.
Tadi Jenie dan Charlie sudah menawarinya tumpangan, namun Lynn menolaknya mengingat saat sore tadi ia mengirimi pesan Dave untuk menjemputnya di kampus saja lalu ia akan langsung ke toko buku bersama Dave, namun hingga malam menjelang yang ada nomor pria itu selalu sibuk.
“Dave, kau di mana?” Lynn menghempaskan tubuhnya di bangku halte, ia tidak ingin menghubungi kakaknya atau orang tuanya karena ia yakin ibunya pasti akan sangat khawatir. “Yahh, sebaiknya aku naik bus saja jika sampai bus selanjutnya dia belum juga datang,” ujar Lynn final dan kembali memasukkan ponsel pada tasnya.
~***~
Kate menatap nanar salju yang turun dengan derasnya dari balik jendela kafe, tadi sore dirinya sengaja menghabiskan waktu di kafe favoritnya, Cafepedia, kafe yang mengusung tema kafe dan buku sebagai hiburan untuk pengunjungnya, Kate yang memang memiliki hobi membaca selalu menjadikan kafe itu tempat tujuannya saat ia memiliki waktu luang, di sana ia gratis membaca buku ditemani dengan suasana yang mendukung, bukan hanya karena konsep perpustakaan dengan balutan kafe yang menarik perhatiannya, namun suasana di kafe itu juga menjadi daya tarik Kate dia bisa memilih tempat di belakang kafe yang memiliki taman yang sanggup menyegarkan mata, atau dirinya juga bisa berlama-lama di ruang baca dengan secangkir latte-nya, semua itu selalu berhasil mengalihkan pikiran Kate dari suntuknya kehidupan mahasiswa semester akhir.
“Ah, apa sebaiknya aku terjang saja salju ini? Sepertinya tidak akan reda dalam waktu cepat,” Kate menimbang masih dengan gumaman, dirinya memiliki ketakutan tersendiri jika harus mengemudi di tengah derasnya salju yang turun, dua tahun lalu dirinya dan Lynn pernah mengalami kecelakaan saat salju turun dengan lebatnya, di mana Lynn yang mengendarai mobilnya, dan sejak kecelakaan itu orang tuanya melarang Lynn untuk membawa mobil.
“Ooh Kate, apa yang kau lakukan di sini?” Suara itu menyentak Kate dari kegamangannya, gadis itu mendongak dan mendapati Dave yang berdiri di depannya dengan senyum tipis, senyum tipis yang mampu menghipnotis semua gadis termasuk Kate.
Dave tadi sengaja mampir ke kafe itu untuk membeli dua cup coffee untuk dirinya dan Lynn, dia pikir coffee baik untuk menghangatkan tubuhnya, ia juga yakin Lynn pasti kedinginan menunggunya.
“Aah, Dave, kau di sini juga? Aku sedang menunggu salju reda untuk pulang, tapi sepertinya hujan salju masih belum mau berhenti, padahal aku harus menyelesaikan revisi thesis-ku malam ini,” Kate melemaskan bahunya, menyandarkan punggungnya pada kursi.
“Ayo, aku akan mengantarmu, kebetulan aku akan menjemput Lynn di kampus, kita searah kan? Jadi kau bisa ikut.” Dave sekali lagi tersenyum menatap Kate, gadis itu langsung menegakkan tubuhnya dan menatap Dave dengan tatapan berbinar, hal yang sangat jarang Kate lakukan, dan hal itu membuat Dave terpaku untuk sejenak sebelum akhirnya ia mengangguk kaku.
“Hemm, aku tau kau takut jika harus mengendarai mobil saat salju seperti ini,”
“Apa Lynn yang memberi tahu?”
“Ya, adikmu itu memberi tahu semua hal padaku,” Dave terkekeh mengingat bagaimana Lynn yang selalu antusias dalam menceritakan semua hal yang dialami gadis itu.
“Lynn memang selalu ekspresif ya?”
“Iya, dia cukup menggemaskan.”
Dave membukakan pintu kafe untuk Kate, lalu pria itu melepas jaketnya dan memayungkannya pada Kate dan dirinya.
“Kita berlari sebentar ke mobil tidak apa-apa kan?” Dave bertanya, menatap Kate yang kini berada cukup dekat dengannya, berbagi jaket untuk menutupi kepala mereka dari butiran salju.
“Ooh, tidak apa-apa Dave, ini lebih baik dari pada aku harus terjebak lebih lama di sini,” Dave terkekeh dan mengangguk, meminta gadis itu untuk berlari kecil bersamanya menuju mobil.
~***~
Lynn sekali lagi menatap layar ponselnya berharap Dave membalas pesannya, namun sekali lagi gadis itu mendesah pasrah, ia berdiri saat melihat bus terakhir yang akan membawanya pulang datang, dengan langkah kesal ia menaiki bus itu dan memilih tempat duduk paling belakang.
Semua perasaan kesal, sedih, marah dan kecewa bergumul menjadi satu dalam hati Lynn, mengingat jika ini bukan yang pertama bagi Dave, akhir-akhir ini pria itu sering menolak ajakannya untuk keluar bersama, selalu melupakan janjinya dan Lynn merasa jika Dave semakin sibuk dengan hal lain yang Lynn sendiri tidak tau itu apa, bahkan semenjak menjadi kekasih pria itu Lynn merasa jika hanya dirinya yang mencintai Dave, hanya dirinya yang menikmati hubungan itu, nyatanya Lynn baru menyadari jika Dave tidak pernah benar-benar tertawa lepas saat bersamanya, tidak pernah mengucapkan kata cinta untuknya.
Ya, Lynn tau cinta memang terkadang tidak perlu diucapkan, ada beberapa pria yang lebih suka menunjukkannya dengan tindakan, namun yang Lynn tau Dave tidak melakukan dua hal itu, pria itu tidak pernah mengatakan mencintainya atau melakukan sesuatu untuk Lynn sebagai bukti cinta pria itu untuknya.
Hanya dirinya yang selalu mengajak Dave untuk kencan, dirinya yang selalu bercerita panjang lebar tentang hari-harinya, dirinya yang selalu mengajak Dave untuk menemaninya, dan respon yang Dave berikan hanya iya, pria itu melakukannya seolah-olah seperti robot, tersenyum tipis seadanya, menjemput Lynn setiap hari seolah sudah menjadi rutinitas pria itu ala kadarnya tanpa ada hati yang menyertainya, dan Lynn baru menyadari semua itu sekarang, bahwa hubungannya terasa hambar, hanya dirinya yang selalu memberi dan meminta, dan Dave hanya sebatas mengiyakannya saja.
“Kenapa aku baru menyadarinya? Apakah, apakah sebenarnya Dave tidak mencintaiku? Lalu untuk apa ia memintaku menjadi kekasihnya?” Lynn mengusap wajahnya frustasi, merapatkan sweater-nya untuk menghalau udara yang semakin dingin.
“Tidak, tidak, Dave mencintaiku, dia bersikap manis walau itu hanya di awal-awal hubungan kita dulu, dia tidak pernah menolak keinginanku dulu, mungkin akhir-akhir ini dia sibuk dengan thesis-nya jadi tidak bisa mengiyakan semua keinginanku, ya pasti seperti itu.” Lynn kembali bermonolog, mencoba berpikir positif tentang Dave.
~***~
Dave tiba di halte depan kampus seperti yang dikatakan Lynn melalui pesannya, gadis itu mengiriminya pesan tepat sebelum ponselnya mati, namun yang Dave lihat tidak ada Lynn di sana. Dave yakin Lynn tidak mungkin pulang sendirian, gadis itu pasti lebih memilih menunggu Dave.
“Dimana adikku, Dave?” Kate bersuara saat melihat di halte sudah tidak ada siapa pun.
“Dia mengatakan jika dia menungguku di halte, tidak mungkin dia pulang kan Kate?” Dave menatap Kate dengan harap-harap cemas, entah kenapa hatinya begitu cemas saat tau Lynn tidak lagi menunggunya, ia merutuki dirinya sendiri, seandainya ia lebih cepat tadi pasti Lynn sudah aman bersamanya kini.
“Mungkin dia sudah terlalu lama menunggu, Dave. Udara juga semakin dingin, dia pasti lebih memilih pulang terlebih dahulu dari pada harus menunggu di tengah dingin yang mencekik ini lebih lama. Mungkin dia sudah di rumah Dave, sebaiknya kita juga bergegas untuk memastikannya,” Kate juga harap-harap cemas dengan keadaan Lynn.
“Ya, dia gadis yang ceroboh, aku takut sesuatu terjadi padanya,” Dave berujar dalam kepanikan dan kembali menstarter mobilnya.
Sudah sekitar lima menit gadis itu turun dari bus dan hanya menatap nanar pada jalanan lengang di depannya, salju turun semakin lebat, dan Lynn gamang apakah harus menunggu atau menembus salju dan berjalan sekitar seratus meter untuk mencapai komplek perumahannya.
Ia melirik arloji di tangan kirinya yang sudah menunjukkan pukul sepuluh, malam semakin pekat dan salju semakin lebat, rasa takut Lynn pun semakin besar, ia benci harus sendirian di tengah malam, bagaimana jika ada orang jahat yang akan merampoknya? Membunuhnya? Memperkosanya? Lynn menggelengkan kepalanya dengan pemikiran-pemikiran buruk itu, ia mendekap tasnya di depan dan langsung berlari kencang demi secepatnya tiba di rumah, butiran-butiran salju mengenai kepalanya dan seluruh tubuhnya begitu cepat, Lynn terus merapalkan doa-doa keselamatan, berharap hal-hal buruk yang ada dipikirannya tidak akan terjadi.
“Aahh,” Lynn mengaduh, rasa takut dan panik membuat gadis itu tidak menyadari jika ada batu yang cukup besar menyandung langkah kakinya, Lynn meringis menatap lutut kirinya yang berdarah, ia menoleh ke belakang dan hanya ada gelap dengan suasana mencekam yang membuat bulu kuduknya meremang, dengan langkah pincang ia kembali berlari.
“Kenapa jalanan sepi sekali sih?” Lynn menggumam kesal sambil sesekali meringis sakit karena luka di lututnya. “Tentu saja sepi. Siapa orang bodoh yang mau keluar di tengah salju seperti ini,” Lynn menjawab pertanyaannya sendiri sambil mengumpat kesal.
~***~
“Tunggu Kate, biar aku yang membuka pintu, hanya ada satu payung di sini,” Dave menunjuk payung yang diambilnya dari jok belakang, membuat Kate hanya mengangguk dan menunggu Dave untuk membukakan pintu untuknya.
Di halaman rumah sudah ada Adam Lawrance dan Allie Lawrance yang tengah menunggu kepulangan anak-anaknya dengan hati cemas, Allie langsung berlari lebih mendekat ke arah teras saat melihat Dave yang keluar dari mobil, wanita paruh baya itu bisa sedikit bernapas lega saat melihat salah satu anaknya telah kembali dengan selamat.
“Lynn,” Allie sudah akan berlari untuk menghampiri anaknya, namun Adam menahannya dengan kepala menggeleng.
“Honey, biarkan Dave dan Lynn yang menghampiri kita, kau bisa sakit, lagi pula mereka sudah di depan mata, tidak ada yang perlu kau khawatirkan,” Adam berujar penuh kelembutan seperti biasanya, membuat Allie hanya bisa menurut.
“Ooh, Kate,” Allie terkejut karena dugaannya salah, bukan Lynn yang keluar dari mobil Dave melainkan Kate.
“Mommy, Daddy,” Kate dan Dave langsung tersenyum pada kedua paruh baya itu begitu tiba di teras.
“Di mana Lynn? Mommy pikir kalian pulang bersama,” pertanyaan Allie membuat Kate dan Dave seketika kembali dihinggapi rasa cemas.
“Lynn belum pulang?” Kate bertanya dengan nada lirih.
“Yakk! Bagaimana kau tidak tau kabar adikmu? Astaga! Di mana Lynn?” Allie panik begitu juga yang lain.
“Tadi kami menjemputnya di kampus seperti yang ia katakan padaku di pesan, tapi saat kami tiba, Lynn sudah tidak ada, kupikir ia sudah di rumah,” Dave menjelaskan, “Sepertinya aku harus menyusuri jalan untuk mencarinya.,” ujar Dave dengan mimik cemas, Allie dan Adam hanya mengangguk dan menyuruh Dave untuk segera bergegas.
~***~
Gadis itu bernapas lega saat tiba di depan rumahnya, dengan langkah yang terpincang-pincang ia memasuki halaman rumahnya, lututnya terasa semakin perih, ia menunduk untuk memperhatikan sejenak lukanya yang terasa semakin sakit.
“Kenapa saat berlari aku tidak terlalu merasakan sakitnya?” Lynn terlihat mengerutkan keningnya, “Ahh pasti karena aku ketakutan,” Lynn kembali menjawab pertanyaannya sendiri, ia kembali berdiri tegak, rasa-rasanya tubuhnya sudah menggigil sampai ke tulang-tulang. Namun baru saja Lynn akan melanjutkan langkahnya, pemandangan di depannya sukses membuat tubuhnya semakin menggigil, menggigil oleh rasa sakit dengan hati yang terasa di remas-remas.
Pria itu, pria yang sejak tadi ditunggunya dengan penuh pengharapan, pria yang ia harapkan menjadi orang pertama yang memeluknya dan menenangkannya karena rasa takut, kini justru tengah berlari dengan terburu-buru, membukakan pintu mobil, dan sekali lagi membuat hati Lynn mencelos saat melihat siapa gadis yang turun dari mobil Dave.
Lynn seketika merasa lututnya melemas, air matanya jatuh begitu saja, melihat bagaimana pria itu yang ternyata justru bersama kakaknya, ia merasa Dave lebih memilih mengabaikannya dan bersama kakaknya, pemandangan macam apa yang ia lihat kini? Di saat dirinya berharap Dave datang dan masih berpikiran positif saat pria itu lagi-lagi melupakan janjinya.
Dave mengkhianati kepercayaannya dengan pergi bersama kakaknya, Lynn tidak tau bagaimana mereka bisa bersama dan Dave lebih memilih mengabaikan pesan-pesannya demi kakaknya.
Lynn hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya saat spekulasi-spekulasi itu berkeliaran di otaknya, “Tidak Lynn, mungkin mereka hanya kebetulan bertemu, jangan menyimpulkan sesuatu begitu cepat.” Lynn membatin, berusaha menghilangkan pikiran-pikiran buruknya.
“Tidak, pria yang mencintaimu pasti akan memprioritaskan dirimu di atas segalanya bahkan jika ada badai sekali pun, dia tidak akan membiarkanmu menunggu, apalagi menunggu begitu lama, dia bahkan mengabaikan pesan-pesanmu, dia tidak peduli kau kedinginan atau tidak, dia tidak peduli kau baik-baik saja atau tidak, kau harus kembali mempertanyakan apa pria itu benar-benar mencintaimu?” Sisi batinnya yang lain mempengaruhi Lynn, membuat gadis itu semakin keras menggelengkan kepalanya, dengan langkah gontai Lynn berusaha menguatkan hatinya untuk bergabung bersama keluarga dan orang yang dicintainya.
_to be continue_