Sinah berlari menjauh dari Ikbal karena Ikbal terus saja memaksanya untuk masuk ke rumah hantu. Sinah orang yang sangat parno dengan hal-hal mistis.
"Ayo masuk!" teriak Ikbal masih berusaha mengejar Sinah.
"Gue tidak mau!" tolak Sinah masih berusaha menjauh dari jangkauan Ikbal.
Bruk!
"Aw..." rintih Sinah kesakitan ketika kakinya tergelincir dan jatuh.
"Sinah!" pekik Ikbal kaget.
Ikbal berlari ke arah Sinah dan melihat kaki Sinah yang tadi tergelincir.
"Awh... Sakit." rintih Sinah kesakitan ketika Ikbal menekan bagian yang tadi keseleo.
"Tahan, biar gue gendong." Ikbal berdiri dan memosisikan tubuhnya untuk mengambil ancang-ancang menggendong Sinah.
"Enggak!" tolak Sinah cepat.
"Kenapa? Lo tidak bisa jalan." Ikbal menarik tangannya lagi dari kaki dan pundak Sinah.
"Gue bisa sendiri kok." Sinah berusaha bangun meski sakit di kakinya.
"Awh..." rintih Sinah lagi.
"Kata gue juga apa, lo tidak bisa jalan. Sini, biar gue gendong." Ikbal langsung menggendong Sinah begitu saja.
"Eh... Turunkan gue." Sinah memukul-mukul d**a bidang milik Ikbal.
Sayang, Ikbal tak menggubris berontakan dari Sinah. Ikbal masih terus berjalan tanpa menoleh ke Sinah.
"Ikbal, turunkan gue." pinta Sinah lagi.
"Diam, gue tidak mau kaki lo tambah sakit." jawab Ikbal sambil menolehkan wajahnya ke arah Sinah.
Sinah langsung terdiam ketika melihat wajah Ikbal yang serius. Bahkan pelipis Ikbal sudah basah oleh keringat.
"Kok Ikbal bisa ganteng begitu sih?" batin Sinah terus menatap wajah Ikbal.
Sinah mengalihkan pandangannya ke arah langit malam yang sangat cerah. Malam ini tidak seperti malam-malam sebelumnya yang selalu diselimuti oleh awan mendung. Malam ini begitu cerah. Bahkan bulan purnama terlihat jelas di kelopak mata Sinah.
***
"Ini apaan, Kak?" tanya Devi sambil mengangkat gelas dalam genggamannya.
"Itu red wine. Sedikit manis rasanya, cobain deh."
"Tidak ah, nanti gue mabuk." Devi meletakkan gelasnya ke atas meja lagi.
"Cuma satu gelas tidak bakal bikin lo mabuk, Dev." bujuk Nofal menyodorkan gelas itu ke depan bibir Devi.
"Tidak, Kak. Nanti gue dimarahin sama Mama." tolak Devi menjauhkan kepalanya dari tangan Nofal.
"Dikit Dev, lo percaya kan sama gue. Ini tidak bakalan bikin lo mabuk." Nofal lagi-lagi menyodorkan gelas itu ke bibir Devi.
"Yakin tidak bakalan kenapa-napa?" tanya Devi memastikan.
"Tidak, Dev. Malah yang ada, beban pikiran yang mengganggu otak lo bakal hilang." Nofal tersenyum manis pada Devi.
"Dikit saja deh."
Nofal menyuapi Devi red wine di tangannya. Devi memejamkan matanya ketika ujung lidahnya sudah merasakan sedikit red wine itu. Memang benar, bau alkoholnya tidak terlalu menyengat.
"Bagaimana? Enak kan?" tanya Nofal tersenyum miring menatap wajah Devi yang nano-nano.
"Lumayan." jawab Devi mencoba tersenyum.
"Mau lagi?" tawar Nofal berbaik hati.
"Tidak usah deh." tolak Devi.
"Kenapa? Kalau mau lagi tidak apa-apa kok."
"Gue tidak bawa uang cash, Kak." jawab Devi sambil nyengir kuda.
"Ya ampun, Dev. Kan lo jalan yang ngajakin gue. Sudah ah tidak usah sungkan." Nofal mengacak-acak puncak kepala Devi.
"Kan tidak enak, Kak. Kak Nofal kan dapat uang dari orang tua Kak Nofal juga. Buat Kak Nofal kan, bukan buat gue."
"Sudah ah, tidak usah banyak ngomong. Biar gue tambah satu botol lagi." Nofal mencubit hidung bangir Devi masih disertai senyuman manisnya.
Nofal memanggil waiters dan memesan satu botol red wine untuk Devi.
***
Zita mendengar motor diparkir di garasi rumahnya. Zita sudah hafal, pasti Rio. Karena tidak ada siapa-siapa lagi kecuali Hans dan Rio yang berkunjung ke rumah mereka. Dan itu membawa motor, sudah bisa dipastikan bahwa itu Rio.
Cklek!
Terdengar suara pintu utama dibuka. Zita cepat-cepat berlari mendekat ke arah Rio.
"Kak Rio sudah pulang?" tanya Zita manis.
Rio terus saja berjalan menaiki tangga menuju kamar tanpa menghiraukan sambutan dari Zita.
"Kak Rio sudah makan?" tanya Zita lembut mengikuti Rio dari belakang.
Rio sudah membuka pintu kamarnya dan membuka jaketnya. Rio masih saja menganggap Zita tidak ada di sekitarnya.
Zita mengembuskan napasnya sedih karena Rio tak juga meresponnya. Zita kembali membangkitkan semangatnya dan tersenyum manis.
"Kak Rio mau aku buatkan kopi, teh atau s**u?" tanya Zita lebih mendekat ke arah Rio.
"Lo apa-apaan sih?" Rio menangkis tangan Zita kasar ketika tangan Zita ingin memegang tangannya.
"Kak Rio pasti capek kan? Biar aku siapkan air buat mandi ya." Zita membalikkan tubuhnya menuju kamar mandi.
"Heh ayam!" panggil Rio pada Zita.
Zita menghentikan langkahnya ketika Rio memanggilnya dengan panggilan seekor ayam. Hati Zita sakit, sangat sakit.
Zita menegang ketika Rio memegang erat pundaknya. Zita takut Rio akan melakukan hal macam-macam padanya. Namun Zita memantapkan hatinya kalau Rio tidak akan melakukan hal apa pun untuknya. Zita memberanikan diri membalikkan badannya menghadap Rio.
"Iya, Kak." sahut Zita takut-takut.
"Lo bilang ke Kakek supaya mau bikin kita bercerai." suruh Rio dengan nada dinginnya.
Zita merinding melihat mata Rio yang tajam dan tidak ada sorot kelembutan sama sekali di dalamnya. Bahkan suara Rio sampai membuat jantung Zita berdetak berkali-kali lipat karena takut.
"Maaf Kak, aku tidak bisa." jawab Zita dengan suara bergetar. Zita menundukkan kepalanya karena takut.
"Apa lo bilang, ayam?!" tanya Rio sambil menarik rambut panjang Zita.
"Awh... Sakit, Kak." rintih Zita sudah menangis.
"Rasakan, ini lebih sakit dari apa yang gue rasakan. Karena kehadiran lo, hidup gue hancur!" bentak Rio semakin mengeratkan tarikannya pada rambut Zita.
"Kak Rio, sakit..." Zita menangis merasakan perih di bagian kepalanya. Bahkan kepalanya sudah terasa mau pecah karena saking kencangnya Rio menarik rambut Zita.
"Lo memang berengsek! Apa sih yang lo harapkan dari gue?!"
"Aku cinta ke Kak Rio." ucap Zita jujur.
"Lo tidak pantas tahu cinta sama gue! Lo itu cuma sampah masyarakat yang tidak berguna. Dan sampah itu harus dimusnahkan!"
Rio mendorong Zita sampai jatuh. Kepala Zita pun membentur pinggiran lemari yang ada di belakang Zita. Rio membungkukkan badannya lalu memegang rahang Zita dan mencengkeramnya keras-keras.
"Lo siapa berani cinta ke gue hah?! Lo itu cuma w************n tidak berguna!" ujar Rio dengan penuh kilatan amarah di kedua matanya.
"Lo itu benalu dalam hidup gue. Sampai kapan pun gue tidak akan pernah cinta ke cewek macam lo!" Rio melepaskan cengkeramannya pada rahang Zita dengan sekali hempas.
Plak!
Plak!
Rio menampar kedua pipi Zita secara bergantian. Amarnya sudah benar-benar sampai ke ubun-ubun.
"Sakit, Kak..." rintih Zita khas dengan nada paraunya.
Zita terus meneteskan air matanya. Bahkan di kedua sudut bibirnya sudah mengalir darah segar akibat tamparan dari Rio. Bukan hanya kedua sudut bibir Zita, namun dahi Zita pun mengalir darah segar. Tapi ada yang jauh lebih sakit. Ya, hatinya yang sakit. Zita merasa hatinya sudah remuk, hancur lebur lebih dari lembutnya sebuah debu.
"Berengsek!" umpat Rio dan lagi-lagi menjambak rambut Zita.
"Awh... Sak-kit..." rintih Zita lagi.
"Sini lo!" Rio menarik rambut Zita dan menyeretnya menuju kamar mandi kamar mereka.
"Kak... Ri-o... Sak-kit...” rintih Zita.
Rio mengguyur tubuh Zita menggunakan air shower yang dingin.
"Ma-af..." ucap Zita terbata-bata. Karena memang Zita sudah lemah saat ini.
"Gue benci sama lo ayam!" teriak Rio sambil menghempaskan tubuh Zita sampai membentur ke pinggiran bathup dan pelipisnya berdarah. Ya kedua pelipis Zita sama-sama berdarah saat ini. Namun ada yang lebih sakit. Tak berdarah namun sangat membekas dalam relung jiwanya.
"Ma-af... Kak..." ucap Zita berusaha mengatur napasnya.
"Sampai kapan pun, gue tidak akan suka bahkan cinta sama orang kayak lo!" Rio menunjuk-nunjuk wajah Zita tanpa perasaan.
"Sebagai hukumannya. Malam ini, lo tidur di sini!" Rio menendang kencang-kencang kaki Zita lalu meninggalkan Zita yang masih menangis dan basah.
"Kak Rio, maaf." Zita berusaha mengejar Rio namun apalah daya seorang Zita yang lemah. Apalagi ditambah luka di seluruh bagian wajahnya. Kakinya pun sakit karena tendangan dari Rio barusan.
Rio sudah menutup pintu kamar mandi dan menguncinya dari luar.
"Kak Rio jangan kurung aku di sini." ujar Zita lemah.
Zita sudah tidak memiliki tenaga untuk berontak atau berteriak. Semuanya terasa sakit saat ini. Ditambah seluruh pakaiannya basah karena air. Zita merasa kedinginan kali ini. Tubuh Zita lemas dan dia menyandar ke tembok kamar mandi. Badannya sudah bergetar hebat karena sakit, tangis dan dingin.
"Bunda, tolong aku." ucap Zita lirih.
Zita menangis sejadi-jadinya, Zita hanya ingin meluapkan rasa sakit hatinya pada malam ini yang terasa lebih menyakitkan dari malam-malam sebelumnya. Akankah malam-malam selanjutnya juga akan terasa menyakitkan seperti ini.
"Kenapa malam ini begitu kejam untukku, Tuhan?"
"Kenapa harus ada malam ini? Jika rasanya sangat menyakitkan seperti ini." Zita membenamkan wajahnya ke antara paha dan dadanya.
"Sakit, Tuhan." isak Zita meratapi nasib hidupnya.
"Aku ingin menyerah, namun aku cinta." Zita semakin mengeratkan pelukannya pada kakinya. Dingin semakin menyerang tubuh mungilnya. Zita sudah menggigil dan semakin menggigil.
"Aku percaya takdir, Tuhan." ujar Zita lagi.
***
Nofal mendudukkan Devi tepat di ranjang kamarnya. Dari tadi Devi terus saja meracau dan menyebut nama Irfan di setiap katanya. Nofal semakin penasaran, siapa Irfan sebenarnya. Namun, bukan itu tujuan utama Nofal membuat Devi mabuk. Tujuan Nofal malam ini hanyalah Devi sendiri.
"Gue sayang sama Kak Irfan hahaha.. Tapi kenapa Kak Irfan meninggalkan gue?" Devi bahkan sudah berbaring di ranjang Nofal.
"Sayang." panggil Nofal menarik tangan Devi supaya duduk.
"Lo, Kak Nofal kan ya? Kok ganteng sih?" racau Devi lagi sambil menyandarkan kepalanya ke d**a Nofal.
"Pacarnya Devi kan memang ganteng." sahut Nofal sambil membelai wajah Devi.
"Pacar? Lo pacar gue?" Devi mencoba menegakkan kepalanya menghadap ke Nofal.
"Iya sayang, gue pacar lo." Nofal menangkup kedua pipi Devi.
"Lo sayang kan sama gue?" tanya Nofal lembut.
"Hahaha... Iya, gue ingat sekarang. Lo memang pacar gue." Devi bahkan sampai cegukan sekarang.
"Gue sayang kok sama lo." lagi-lagi Devi menghambur ke pelukan Nofal.
"Kalau lo sayang sama gue, lo mau dong menuruti apa mau gue." Nofal mendongakkan kepala Devi.
"Memang apa yang lo mau?" Devi memainkan jari jemarinya di d**a bidang milik Nofal.
"Gue mau, lo malam ini jadi milik gue." ucap Nofal memandang manis ke kedua manik mata Devi.
"Hahaha.... Permintaan konyol." sahut Devi tersenyum sumbang.
Devi menggeleng-gelengkan kepalanya dan mengibas-ngibaskan tangannya ke depan wajah Nofal. Devi masih tetap saja cegukan dari tadi.
"Gue mau." jawab Devi membuat Nofal berbinar menatap tubuh Devi.
"I love you sayang." Nofal mencium bibir Devi sampai mereka benar-benar berbaring bersama.
Entah setan dari mana, Devi bisa masuk ke perangkap seorang Nofal yang hanya memanfaatkannya saja.
Kenapa malam ini begitu kejam untuk keempat gadis yang tak tahu apa-apa. Kenapa malam tak pernah berpihak untuk mereka yang memiliki ketulusan hati namun terkhianati oleh mereka yang bernama lelaki?
***
Next...